Bagi Niguel, bisa bertemu dengan Hinatq merupakan kado terbaik dan tidak disangka-sangka. Padahal tak ada hal istimewa yang terjadi di awal perjumpaan mereka. Namun ketika senyum di bibir Hinata terlepas, ada sebentuk gejolak aneh singgah di dada, mendorong dirinya ingin dan teringin lagi untuk dapat menyaksikan senyum si gadis pemikat.
Sudah ke tujuh kalinya Niguel berkunjung. Jam kedatangannya pula tak pernah berubah. Ia akan tetap tiba sebelum kafe dibuka. Seperti sekarang, ia kembali bersandar di pagar bambu, menanti kehadiran Hinata.
"Niguel, menunggu Hinata?" sapa Shion kala dia dan Hinata baru saja tiba di depan kafe. Ucapannya menyebabkan pria itu tersenyum sipu. "Maafkan Hinata ya, pagi ini dia terlambat bangun. Untung saja aku bangun lebih cepat, jadi bisa membantunya menyiapkan sarapan untuk kami," kata Shion berbasa-basi, ulahnya langsung mendapat pelototan tajam dari Hinata.
"Jangan bohong! Jelas-jelas Tenten yang masak kok." Niguel tertawa ringan menyaksikan perselisihan lucu di antara keduanya. Seakan dia memahami percakapan itu.
"Hidupmu memang datar, Hin. Sudahlah lupakan saja. Omong-omong, hari ini kafe bakal ramai 'kan? Maksudku anak sekolah yang datang kemarin, kalau tidak salah dia booking beberapa meja untuk acara hari ini, iya 'kan?" Hinata membuka pintu kafe dan mereka masuk secara bersusulan.
"Iya sih. Memangnya kenapa?" tanya Hinata sembari menaruh tasnya di samping meja barista. Dia beringsut ke barisan meja pengunjung untuk menurunkan kursi-kursi.
"Let me!" seru Niguel, dia menawarkan diri dan sigap meraih kursi sekaligus menatanya agar tersusun rapi.
"I bothered you again," Hinata mendesah pelan karena sungkan. Niguel tampak tak segan-segan membantunya.
"It's rude to let your own friend do the work." Niguel menjawab santai sambil membereskan semua meja-meja dan kursi.
"Akhirnya kamu menemukan pria idamanmu, Hin. Dia manis sekali," Shion menggeleng-geleng gemas, tindakan Niguel selalu membuat dia terpesona.
"Kecilkan suaramu! Nanti dia dengar." Hinata menghardik kecil sebelum dia menyiapkan kopi favorit si pria asing.
"Lamban! Pantasnya kamu yang disebut nenek siput. Mending dia sama aku, boleh 'kan?"
"Memangnya dia suka padamu?"
"Kamu lupa kalau aku ini adalah idaman para lelaki?"
"Dalam mimpimu!"
"Kamu lihat saja, aku yakin pasti berhasil mendapatkan perhatiannya." Shion seakan menantang Tami, sengaja memanas-manasi temannya itu. Padahal ia tak serius terhadap pengakuannya barusan. "Ayolah, Tam ... aku 'kan belum punya pacar dan dia begitu tampan.Gadis mana yang tidak bangga berdampingan dengannya."
"Kenapa kamu tanya aku?!"
"Eh,iya juga. Kenapa ya? Tapi dia pengunjungmu. Karena dia datang ke sini setiap hari, kalian bakal selalu ketemu. Aku perlu bantuanmu untuk mendekatinya." Rencana Shion memancing emosinya berhasil, Hinata praktis jadi kelihatan kesal.
"Terserah! Minggir! Nanti kopi panas ini tumpah dan mengenaimu." Seketika Shion menyingkir lalu dia mendengkus.
"Dasar kaktus! Suka tapi berlagak tidak mau. Enggak ada gadis yang menolak pria tampan, aku yakin itu." Berujung Shion menggerutu dan mencebikkan bibirnya. "Labil."
"Siapa yang labil?"
"Tentu saja dirimu."
"Enak saja, kamu yang labil. Suka pria yang ini, lalu yang itu, kemudian yang sana, terus Niguel juga. Pria seantero Jepang sekalian." ketus Hinata tanpa memperhatikan ekspresi Shion yang saat ini cekikikan dalam diam.
"Berat ya Hin bilang suka?!"
"Apaan sih? Minta diusir?"
"Agar kalian bisa berduaan ya? Akuilah Hin, aku langsung pulang sekarang kalau kamu mengaku." Hinata membuang napas kasar saat Shion tak juga berhenti mengusiknya. Salahkan dirinya sendiri. Masalahnya ketika berada di apartemen, Hinata terus-menerus membicarakan Niguel. Ada saja yang dibahas olehnya menyangkut pria itu. Mulai dari negara asalnya, caranya berbicara, tatapannya. Dan hal itu kontan menjadi bahan bagi Shion dan Tenten untuk menggoda Hinata. Buruknya lagi, Shion adalah tipe yang kukuh dalam menjahili.
-----
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa, sudah hampir pukul satu siang sekarang. Jam kerja gadis itu pun habis dan akan diteruskan oleh rekannya yang lain.Tampak risau, Hinata bolak-balik melirik arloji di tangan Shion. "Ke mana si Kiba? Lama sekali dia." keluh Hinata dengan wajah kusut dan kening berkerut. Sedangkan Shion, dia menguap berulang kali. Mukanya lesu menahan kantuk.
"Aku malas ke kampus. Kamu sendiri saja ya, aku mau pulang."
Decak kekesalan terdengar, Hinata memandang Shion lekat-lekat. "Dosen pembimbingku datang jam dua nanti. Kamu pikir malasmu lebih penting? Kiba belum juga tiba, padahal anak-anak remaja itu akan sampai sebentar lagi." Hinata mendesah pelan, kian suntuk akibat memikirkan kuliahnya.
" ... hey, what's up? you look confused?" Niguel menginterupsi. Ia baru saja berniat berpamitan setelah hampir setengah hari penuh membantu Hinata di kafe. "Are you okay?" tanyanya lagi, saat gadis itu tak juga menyahut. Dia terjebak di dalam kebingungan.
"Teman yang menggantikanku belum juga datang. Takutnya aku telat ke kampus, dosenku tidak akan menunggu," tanggap Hinata cepat dengan pandangan yang kurang fokus, ia benar-benar gusar. "Ada banyak pelanggan yang segera berkunjung ke kafe. Aku sungguh tidak tahu harus melakukan apa sekarang."
"Have you tried calling your friend?" tanya Niguel seraya menyelipkan tangan-tangannya ke saku celana.
"Nomornya tidak aktif, aku sudah coba berulang kali."
"Temanmu yang satu itu memang tidak waras." kata Shion menyela, namun Hinata hanya menghiraukannya.
"Adakah yang bisa kubantu? Kamu mau aku tetap di sini?" Niguel mengajukan dirinya untuk menggantikan Hinata di kafe sampai rekannya datang. "Mustahil jika aku yang menemui dosenmu 'kan?" Seringai Niguel menegaskan leluconnya.
"Aku benaran bingung sekarang," jawabnya seraya tersenyum segan. Detik-detik kemudian dia mengamati Niguel, bergulir ke Shion, lalu kembali ke Niguel lagi. "I'm bad for bothering you again, but may I accept your offer?" Hinata tersenyum canggung saat dia mengatakan ingin menerima tawaran si pria asing. "Akan kuminta Shion menemanimu."
"Tentu." Keramahan di raut Niguel menghapus kebimbangan Hinata, kini tatapannya bergulir ke Gina.
"Kamu 'kan tidak mau ke kampus, kalau begitu bantu aku untuk menemani Niguel di kafe. Aku harus ke kampus sekarang juga. Skripsiku, kamu tahu 'kan?" Shion refleks memutar bola matanya, seperti dia hendak menolak permintaan Hinata. "Aku mohon ... janji cuma sampai Kiba datang." Hinata memelas, berupaya membujuk Shion.
"Ok, kali ini saja. Itu pun karena ada Niguel. Kalau tidak, aku pilih pulang," jawab Shion dan Hinata mendadak memeluknya.
"Kamu memang teman terbaikku. Tapi, kamu tidak boleh mengganggu Niguel. Dia tamu kita." Masih juga Hinata memperingatinya.
"Pergilah selagi aku belum berubah pikiran."
"Baik, baik, aku tahu." Hinata beralih ke Niguel. "Aku sungguh berterimakasih, kamu selalu membantuku. See you later, Niguel."
"Good luck, Hinata." Keduanya berbalas senyuman, Niguel membuang kasar kegugupannya dari pernapasan. Di sebelahnya Shion terkikik geli sebab dapat merekam sikap seadanya yang kerap diperlihatkan oleh Niguel.
"Kamu sangat menggemaskan." Niguel terdiam, tak memahami perkataan Shion. "Terserahlah, kemampuanku minus dalam Bahasa Inggris."
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Espresso & Beauty Barista✓
ChickLit"Señorita, qué dijo? Solo pido café." Niguel menginginkan secangkir kopi, namun Hinata tak jua mengerti ucapannya. Mereka terjebak dalam perbedaan bangsa dan bahasa,namun saling jatuh cinta.