Hinata menarik napas dalam-dalam, kemudian naik ke ranjang dan duduk menyandarkan punggungnya di tumpukan bantal-bantal.
"Ada apa? Nyengir-nyengir terus, gigimu bisa kering." Tenten menginterupsi selagi dia membaca majalah lama di kasur yang sama dengan Hinata.
"Paling karena Mister N, dia lagi berbunga-bunga itu," sela Shion berlagak tahu. Dia baru saja masuk ke kamar dan telinganya langsung menangkap ucapan Tenten.
"Jangan dengarkan Shion, dia sesat!" Cibiran sekian kontan memancing gelak Tenten. Enggan mendengar cemoohan berkepanjangan dari kedua sahabatnya itu, Hinata memilih diam. "Tugasku selesai, tinggal menunggu jadwal sidang." Hinata merentangkan kedua tangan seraya meraup udara sebanyak-banyaknya, "Akhirnya ..."
"Syukurlah, sekarang aku punya teman menunggu." Tenten berterus terang. Serupa Hinata, dia pun tengah menanti datangnya waktu sidang. "Skripsimu bagaimana, Shion? Aku enggak pernah melihatmu mengerjakannya."
"Kalian yang tidak tahu, justru punyaku selesai lebih awal daripada kalian." Spontan Hinata dan Tenten saling berpandangan dengan tatapan heran.
"Kapan kamu mengerjakannya? Kita selalu bersama di kampus, apalagi di rumah. Tapi aku memang tidak pernah melihatmu sibuk dengan laptop atau buku-buku bahan riset." Begitu turun dari ranjang, Tenten melanjutkan pertanyaannya, tak satupun dari mereka mau percaya pengakuan Shion barusan.
"Kita akan bertemu di persidangan yang sama, maksudku sidang meja hijau." Cepat-cepat dia meralat akibat salah bicara. Hinata terkikik geli, sedangkan Tenten menggeleng-gelengkan kepalanya. "Omong-omong, Hin, kamu harus membagi upah kerjamu loh. Rombongan remaja itu sangat merepotkan. Untung ada Niguel di sana, dia benar-benar bisa diandalkan. Aku tidak mau tahu, kamu harus membayar kami berdua. Kaki-kakiku masih pegal sampai sekarang, mereka membuatku mondar-mandir berulang kali." Tiba-tiba Shion mengeluh secara dramatis, dia bahkan sibuk memijat betisnya pelan-pelan.
"Astaga! Aku lupa menanyakan itu. Padahal sudah kupikirkan sejak pulang dari kampus. Bagaimana dia? Wajahnya, apakah terlihat marah? Besok aku akan meminta maaf padanya. Tiba-tiba saja Kiba tidak masuk kerja karena mengantar ibunya ke rumah sakit, jam 4 tadi dia mengirim pesan padaku."
"Temanmu gila. Di mana-mana, orang yang meminta izin cuti pasti memberitahu lebih awal, bukan malah terakhir. Memangnya kafe itu milik kakeknya apa? Kerja sama orang, tapi perilakunya semena-mena. Bikin kafe sendiri, atur sendiri dan dia bisa libur setiap hari, suka-suka dia."
"Shion, kenapa jadi kamu yang sewot?"
"Ya jelas dong! Gara-gara dia kencanku jadi gagal. Padahal Madara sudah janji akan membelikan ponsel terbaru juga baju-baju bagus untukku." Shion mengumumkan alasan yang membuat dia begitu jengkel. Tak lama perempuan itu bangkit, lalu mengambil tasnya yang dia gantung di balik pintu.
"Madara, siapa dia?!"
"Dosen baru di kampus sebelah," jawab Tenten cepat.
"Kamu ganti pacar lagi?!" Hinata betul-betul tercengang mendengar kabar ini.
"Hidupmu memang membosankan ya, Hin. Jangan pandang dari sisi buruknya. Kamu harus pikirkan ini, tidak masalah jalan dengan beberapa pria asalkan bisa menguntungkan dirimu. Apalagi kita masih muda." Penjelasannya terbilang lancar, walau Hinata dan Tenten terang-terangan menatapnya heran.
"Teman Tenten jauh lebih baik, kenapa kamu tidak coba pacaran serius?Apa-apaan itu dosen baru di kampus sebelah? Kamu tidak takut skandal? Atau jiwa dan otakmu benaran rusak gara-gara kebanyakan menjalin hubungan dengan pria random." Kening Hinata berkerut, tidak menyetujui cara berpikir Shion yang terlalu menggampangkan segalanya. "Kamu harus hati-hati Shion, siapa tahu pria-pria yang sudah kamu tinggalkan malah berniat balas dendam." Hinata mendesah pelan seraya menatap lelah kepada temannya yang satu itu.
"Perkataanmu buruk sekali, Nenek siput!"
"Makanya hentikan kebiasaan burukmu itu. Nanti orang-orang yang tahu pada mencibir bagaimana?Apa kamu tidak malu?" Dua meter dari mereka, Tenten tetap diam mengamati perdebatan keduanya. Alih-alih melerai, dia justru terkekeh di sana.
"Aku cuma sekadar bersenang-senang sama mereka. Mereka yang selalu mendekat, aku tidak pernah merayu siapapun. Jadi buat apa orang-orang mengejekku, selain karena iri?"
"Nenek siput itu julukanmu, kamu lamban dan malas."
"Begini-begini aku lebih cerdas darimu, Hin. Awas saja, ya! Tidak akan kuberikan nomor ponsel Niguel kepadamu." Suara Shion terdengar lantang. Dia melengos ke samping sembari bersedekap.
"Apa? Nomor ponsel?! Kau memintanya dari Niguel?"
"Bakal kusimpan sendiri nomornya, tidak mau kubagi denganmu."
"Sudah malam, kalian tidak cape apa? Aku sudah sangat mengantuk. Sebaiknya kalian juga segera tidur. Pertengkaran bisa disambung besok setelah mengisi amunisi." Berujung Tenten menarik selimutnya sampai ke leher dan tidur, mendahului Hinata dan Shion yang masing-masing masih menunjukkan kekesalan di wajah mereka.
-----
"Strike!" Niguel berteriak ketika semua pin berjatuhan tanpa sisa."Sial! Katakan rahasianya, kamu bermain curang?" Shikamaru mengembus kasar napasnya seraya berkacak pinggang. "Tiga kali strike dan aku hanya bisa mendapatkan satu sphare, ini tidak adil. Coba lihat tanganmu. Mungkin kamu menyimpan sesuatu di sana." Niguel tertawa ringan ketika pria berambut top knot itu ingin meraih tangannya.
"Kamu hanya kurang beruntung, coba lagi di lain waktu," sahut pria bertubuh jangkung itu, kemudian dia mengambil duduk di pojok kanan arena.
"Jadi kamu sengaja berpura-pura tidak mengerti Nihongo?"
"Ya,"
"Untuk apa?"
"Melupakan kenangan pahit yang sudah terkubur lama."
"Tapi, puluhan tahun berlalu. Mustahil ada yang peduli dengan kisah lama semacam itu tanpa tujuan jelas."
"Kenangan itu terlalu buruk. Aku tidak mau ada dari mereka yang mengenalku sebagai keturunan kakek. Aku suka hidupku yang sekarang, lebih damai." senyum Niguel tampak tenang. Dia yakin dengan ucapannya, hingga Shikamaru merasa cukup dan tak perlu mengorek-ngorek lebih dalam lagi tentang temannya.
"Baiklah! Kita ulangi. Aku tidak akan berhenti sebelum mendapatkan satu strike." Niguel berdiri dan tampak mengamati saat Shikamaru mengambil bola bowling. Lelaki itu tengah mengancang-ancang gaya dan bunyi dentum terdengar begitu bola bowling mengenai barisan pin. "Kamu lihat itu?! Aku hampir melakukannya. Satu pin lagi, harusnya aku menang."
Niguel lagi-lagi tergelak, kemudian dia meraih bola bowling hitam. Bila diamati, tampak dia mengembus pelan napasnya. Lantas mengayunkan bola ke belakang dan boom, strike! "Ayo, kita pulang."
"Tidak! Aku lupa memeriksa bola yang kamu pakai. Lakukan ulang!" Senyum Niguel mengembang bagai ledekan bagi Shikamaru. Dia tetap diam mendengarkannya menggerutu karena tak puas akan permainannya sendiri.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Espresso & Beauty Barista✓
ChickLit"Señorita, qué dijo? Solo pido café." Niguel menginginkan secangkir kopi, namun Hinata tak jua mengerti ucapannya. Mereka terjebak dalam perbedaan bangsa dan bahasa,namun saling jatuh cinta.