"Curang. Kenapa berhenti di saat-saat genting. Ayolah, Kak ... aku ingin tahu kelanjutannya." si gadis berambut terakota terus memaksa ketika Hinata sengaja menggantung kisah yang dia ceritakan.
"Suamiku sudah datang, nanti kita lanjutkan lagi. Cepat kerjakan tugas-tugasmu!" Segera Hinata berdiri dari duduknya dan meminta Kimberly melanjutkan pekerjaan. Sedangkan dia, melangkah ke pintu menyambut kedatangan suaminya. "Untung belum hujan. Bagaimana kondisi Bibi Teresa?" sambil menunggu tanggapan suaminya, dia mengambil coat abu-abu yang dikenakan lelaki itu, lalu menggantungnya di stand hanger yang terletak di samping pintu.
"Asam lambungnya kumat, tapi dokter sudah memberikan obat. Sebelum aku pulang, bibi tertidur." Niguel menjawab seadanya sembari masuk ke dalam menuju meja barista.
"Duduklah, biar aku yang menuangkannya." Hinata mengambil alih teko yang hendak dipegang oleh suaminya, kemudian melirik Kimberly dan berkata, "Kim, aku lupa kalau kita belum membuka kedai, pantas tidak ada pengunjung," kata Hinata setelah melihat posisi yang salah pada sign board di pintu. "Kami terlalu serius mengobrol."
"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Niguel, senyumnya menyambut kala secangkir espreso mendarat di hadapannya.
"Dongeng."
"Cinderella?" Sebelum menyesap kopi panas itu dengan hati-hati, Niguel memperhatikan wajah istrinya.
"Lebih baik dari itu." Bibir Hinata tersungging lebar. Dia merangkul leher Niguel sambil menempelkan dahi mereka. Satu dan dua, kecupan kecil singgah di pipi suaminya.
Niguel mengernyit, tak tahu apa yang dimaksud oleh istrinya itu. "Apa yang lebih baik dari kisah cinderella? Semua gadis ingin bernasib sama dengannya. Banyak keajaiban dan ... pangeran berkuda."
"Rahasia, sayang. Bagaimana rasa kopinya?" dia mengusap-usap wajah suaminya selagi mereka membicarakan topik-topik enteng.
"Kenapa?"
"Aku bikin yang spesial." Pengakuan sekian menyebabkan Niguel mengecap berulang-ulang apakah memang ada rasa atau aroma berbeda dari espreso buatan istrinya kali ini.
"Masih sama, maksudku tetap enak dan tidak berubah."
"Minumnya pakai perasaan, resapi di sini kenikmatannya. Ada banyak ramuan cinta yang khusus kuberikan untukmu," kata Hinata sambil menunjuk ke tengah-tengah dada Niguel.
"Apa semua gombalan istri seperti itu?" Niguel tertawa malu-malu, kemudian berpura-pura meminum kopinya ulang. Tapi, kini air mukanya berakhir dengan ekspresi ganjil. Kelopak matanya melebar dan berkedip berkali-kali. "Aku merasa ada sesuatu yang aneh. Tapi ini benar-benar manis, menyenangkan. Aku bisa pingsan karenanya." Justru Niguel tertarik untuk balik menggoda istrinya itu.
"Manis? Aku tidak menaruh gula, kok." Hinata terpengaruh, menanyakan lagi pernyataan Niguel yang dia rasa tidak sesuai dengan rasa kopinya.
"Aku tidak bohong, kemarilah!" Niguel menarik tangan Hinata dan menuntun istrinya agar duduk di kursi di sebelahnya. "Coba cicipi biar kamu tahu kenikmatannya." Hinata bermaksud meraih cangkir demi membuktikan sendiri pengakuan suaminya tadi, alih-alih gerakannya langsung dicegah. "Bukan seperti itu," sela Niguel seraya menyesap sedikit espreso. Sejemang dia menarik tengkuk istrinya untuk berbagi ciuman, "Pahit dari kopi menghilang karena rasa manis di bibirmu."
"Kamu mengerjaiku." Hinata memukul main-main lengan Niguel. Tersipu akibat tindakan refleks itu, sampai dia mesem-mesem sendiri di posisinya.
"Aku tidak menyangka jika rayuan seorang istri bisa demikian hebat atau memang cuma dirimu yang bisa melakukannya?! Kamu terlalu banyak membaca cerita dongeng, lalu tahu soal ramuan cinta." di saat suaminya masih terus mengganggu, Hinata justru tak acuh. Dia lebih tertarik untuk memperhatikan gelagat suaminya dengan muka cemberut.
"Trikmu sungguh licik," kata Hinata selanjutnya, lengkap dengan bibir yang mengerucut.
"Ya Tuhan ... apa kalian tidak bosan menjadi pemain lovey dovey? Semua orang akan iri bila melihat ini." Kimberly menginterupsi ketika dia masih mengelap cangkir-cangkir keramik berikut tatakannya.
Kontan Hinata tertawa atau lebih tepatnya menertawai Kimberly. Saat beringsut, awan mendung pun menumpahkan bulir-bulirnya. Sejenak pandang teralihkan ke pintu kaca, mengamati tetesan air yang jatuh. Begitu tersadar, dia ke meja barista untuk mengambil sebuah amplop dari tas yang ia simpan di dalam laci. Hinata menyerahkan amplop itu kepada Niguel.
"Apa ini?"
"Buka dulu," kata Hinata sembari merapatkan kursi ke samping Niguel.
"Test pack? Positif?" Niguel sempat terdiam sebelum dia mencermati benda itu. "Kamu hamil?!" Nyaris memekik saking senangnya jangka berujung dengan dia yang mendekap erat istrinya, bertukar sukacita.
Lima tahun bukanlah waktu singkat untuk menunggu. Keduanya menjalani takdir yang mereka bawa tanpa keluhan berarti. Saling percaya dan mendampingi adalah cara mereka demi mempertahankan keharmonisan.
Niguel yang tak banyak bicara, namun perhatiannya sungguh luar biasa. Kehadiran Hinata melengkapi sikapnya yang sederhana. Tak selalu perilaku manis itu ada di keseharian mereka, bincang-bincang menghabiskan waktu bersama tak pula jenuh untuk dilakukan. Mereka hidup untuk satu sama lain, mencoba menjadi sosok yang dibutuhkan demi kepentingan keduanya.
"Terima kasih karena sudah bersabar untukku." Hinata begitu menyukai di saat kening mereka menyatu. Haru pun muncul di sudut matanya, turun ke pipi. "Kamu bahagia?"
"Jangan bergurau, apa yang harus kulakukan untuk menyambutnya, kamu ingin sesuatu?" ucap Niguel setelah memberi kecupan halus di pelipis istrinya.
"Aku rindu Tokyo."
"Baiklah, kita akan pergi ke sana. Tiketnya segera kusiapkan untuk kepergian lusa." Sedari tadi Kimberly mengamati interaksi pasangan itu dan dia dapat mendengar sedikit perbincangan mereka. Di mukanya tergambar jelas kelegaan, turut mengenyam secercah kegembiraan yang tengah melingkupi Niguel dan Hinata.
"Tidak ... kita tidak bisa buru-buru. Lusa, ayah dan ibu akan berkunjung. Selama mereka di sini aku ingin mengajaknya berkeliling, itupun bila kamu tidak keberatan."
"Kita bisa mengajak mereka liburan bersama-sama. Jangan cemaskan apapun apalagi ragu! Kamu tahu aku selalu mendukungmu."
"Menyenangkan sekali rasanya menikah denganmu, Niguel. Tuhan begitu baik padaku." Hinata menyamankan kepalanya di dada Niguel, mengeratkan kungkungan lengan-lengannya yang mungil di punggung lebar suaminya.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Espresso & Beauty Barista✓
ChickLit"Señorita, qué dijo? Solo pido café." Niguel menginginkan secangkir kopi, namun Hinata tak jua mengerti ucapannya. Mereka terjebak dalam perbedaan bangsa dan bahasa,namun saling jatuh cinta.