Puebla adalah kota tua di Meksiko. Kota kedua yang kucintai setelah Tokyo, kampung halamanku. Kota ini menyimpan banyak sekali bagian sejarah Meksiko. Bagiku Puebla merupakan kota yang unik, ada ragam kejutan lewat warna-warni di beberapa sisi kota.
Sejak lima tahun lalu, saat pertama kali kaki-kakiku berpijak di tempat ini, segala keindahan di sisi kota memanjakan penglihatanku, membuat pikiranku terbuai hingga aku lupa rumitnya polemik kehidupan. Bersama dia yang tercinta, pria bersahaja, namun menyembunyikan banyak rahasia dan kilau dunia. Orang-orang hanya akan menilai sosoknya sebagai lelaki tampan nan menarik dan aku beruntung menjadi salah satu yang mengetahui misteri itu. Dialah Niguel Nicandro, suamiku.
Awal pertemuan kami bukanlah layaknya drama-drama romansa populer pengisi stasiun TV ternama. Perjumpaan biasa, namun di baliknya terdapat makna tersirat. Aku berani bersumpah bahwa peristiwa itu akan selalu kusimpan di ruang istimewa di dalam hatiku. Kalian pasti mengenal bermacam serial animasi disney yang terkenal. Dongeng-dongeng masa kecil, diputar ulang dengan bumbu-bumbu magic, keindahan, taman khayalan, impian setiap gadis-gadis di sepenjuru dunia, termasuk juga diriku. Dan hari perdana itu adalah saat di mana mimpiku menjadi nyata.
Kedatangannya membuatku bingung, tampang dan bahasanya asing bagiku. Lalu kutahu dia berasal dari negeri jauh. Tak kusangka dia begitu santun, tak banyak bicara, tapi rasa pedulinya kepada orang lain amatlah besar.
Tidak hanya sekadar menikmati secangkir kopi, kunjungannya lambat laun menyebabkan kami kian dekat. Dia mengambil alih setengah pekerjaanku dan aku begitu terkejut saat tahu dialah si pemilik kafe.
Ungkapan cinta terjadi tanpa terencana. Alam pun seakan ikut berperan dengan memberikan suasana dingin dan sepi, hingga nuansa romantis tercipta. Sebuah ciuman terindah melukiskan seluruh perasaan yang tertanam di hatiku.
Hari-hari berlalu dan segalanya masih tetap sama. Sempat terpikir kenapa rasa-rasanya semua ini terlalu mudah bagiku? Sampai peristiwa nahas dalam sekejap mengubah euforia dalam sekejap, bagaikan musim semi berganti kelabu mendung.
Kecelakaan tragis menimpa seorang teman baikku, membuat segalanya diliputi pilu. Tahun terakhir kami di kampus justru diwarnai duka, musibah tersebut mengambil kesempatan darinya untuk menjadi bagian dari kandidat lulus di tahun itu, kaki-kakinya tidak bisa digerakkan dan dia mengalami kelumpuhan sementara. Suasana yang mestinya diisi tawa, senyuman, pula tangis bahagia berubah menjadi duka penyesalan bagi Tenten. Walau senyum tipis masih bisa terlihat di wajahnya, menandakan dia mencoba tegar di hadapan kami.
Punya teman senasib, berjuang berbarengan tentu menimbulkan kesan berbeda. Selain keluarga, Shion dan Tenten adalah orang-orang terdekat bagiku. Sifat yang benar-benar berbeda, namun tak mengurangi eratnya tali persahabatan di antara kami. Berbagi cerita, senda gurau, juga saling mendukung. Kehadiran teman dapat mengusir kesepian dan menjadi penghibur di saat lelah maupun lara.
Di hari kelulusan itu, senyum mekar singgah di wajah para wisudawan beserta orang tua yang hadir. Lulus dengan nilai memuaskan dari perguruan tinggi, semua orang punya pengharapan serupa dan aku amat bersyukur karena bisa mewujudkannya. Walau jauh di sanubari, ada kesedihan teramat untuk situasi yang dialami Tenten.
Begitu acara selesai aku dan Shion langsung menemui Tenten di rumah sakit. Rasa bersalah muncul di benakku ketika kudapati senyum lepas di mukanya. Dia memeluk dan mengucapkan selamat kepada kami secara bergantian. Aku ikut bahagia dan bangga untuk kalian, selamat ya. Shion menangis histeris karena kata-katanya itu, terdengar tulus tanpa adanya beban. Lalu dengan kalimat halus dia coba menenangkan Shion sambil mengusap-usap punggungnya.
Takdir memang sulit ditebak. Tak jarang sebagai pemain kita kerap dipermainkan. Namun, sebagai manusia dengan segudang keterbatasan, sudah sepantasnya kita bersiap-siap akan segala kemungkinan. Sebagaimana kenyataan yang terjadi dalam hidup Tenten. Siapa sangka jika kecelakaan itu menyebabkan takdir baik berpihak padanya. Aku dan Shion cukup terkejut atas kabar bahagia yang sungguh tiba-tiba. Dia menikah dengan seorang dokter spesialis ortopedi. Pria yang menangani dan merawat langsung dirinya selama masa pemulihan.
Lalu aku? Aku menikah setelah tiga bulan acara wisuda berlalu. Begitulah, Niguel kembali menghampiriku selepas dia pulang ke Meksiko untuk mengurus bisnis kafenya yang ada di sana. Aku sempat kecewa karena dia tak bisa hadir dalam acara pengangkatan waktu itu, tapi bukankah kubilang takdir sulit untuk ditebak? Tuhan selalu punya rencana yang jauh lebih baik dari harapan kita sebagai manusia biasa. Jadi, jangan berkecil hati hanya karena tidak dapat meraih salah satu mimpi yang kita punya. Teruslah bermimpi agar kita tidak lupa bagaimana caranya menjalani hidup dengan benar lewat usaha dan sebuah keyakinan.
-----
"Kak, ayo lanjutkan ceritamu. Aku penasaran dengan kisah Shion, kurasa kami punya kesamaan." rutinitas biasa di kafe, di mana Hinata ikut mengawasi salah satu kedai kopi, bisnis sang suami. Dan saat ini dia tengah menata cangkir-cangkir di rak, sementara Kimberly duduk seraya bertopang dagu di hadapannya. Tak sabar menunggu kisah yang tempo hari masih digantung oleh Hinata. "Nanti suamimu datang dan kamu beralasan lagi." muka Kimberly tertekuk. Pasalnya, sejak Hinata menghentikan ceritanya di tengah jalan, gadis itu terus dirundung rasa ingin tahu. "Aku sampai bermimpi gara-gara menunggumu." Tiba-tiba Hinata tertawa, reaksinya menjadi penyebab Kimberly berdecak kesal.
"Kamu mimpi apa?"
"Pangeran berkuda memakai topeng." Kimberly menjawab dengan malas saat dia merasa Hinata hanya mencoba untuk mengejeknya.
"Mirip tokoh idolaku di cerita lawas. Maksudku Zorro, tapi dia bukan pangeran seperti khayalanmu." kata Hinata menanggapi dengan santai hingga Kimberly mendengkus di tempatnya,dia membuang muka ke sisi lain. "Sebenarnya apa yang kamu tunggu? Itu hanya sebuah cerita, Kimberly."
"Semua orang juga sepertiku kalau mendengar kisah yang gantung." Kimberly memberengut, masih ngotot agar Hinata mau melanjutkan cerita.
"Apa semua gadis meksiko memang suka memaksa? Berdoalah agar suamiku tidak datang sebelum kisah ini selesai."
"Kamu tenang saja. Akan aku ajak Niguel untuk sama-sama mendengarkan kamu berdongeng sampai akhir." kelopak mata Hinata melebar, terdengar aneh baginya kala membayangkan Niguel ikut duduk di sini sambil mendengarkan cerita yang nyatanya adalah kisah mereka.
"Kurasa kita hampir tiba di ujung cerita." Kimberly mengangguk-angguk, memampangkan binar-binar di matanya.
"Kalau begitu aku harus jadi pendengar yang baik. Aku tidak mau ada bagian yang terlewatkan dari dongeng favoritku ini."
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Espresso & Beauty Barista✓
Chick-Lit"Señorita, qué dijo? Solo pido café." Niguel menginginkan secangkir kopi, namun Hinata tak jua mengerti ucapannya. Mereka terjebak dalam perbedaan bangsa dan bahasa,namun saling jatuh cinta.