☕-7

665 160 79
                                    

Kejadian kemarin belum juga bisa terlepas dari pikiran Hinata. Bangun tidur, di saat mandi, selagi makan, pesan yang dikirim Niguel terus menghantui, berputar-putar di kepalanya. Kuharap kamu juga baik-baik saja. "Ayolah, itu bukan kata-kata yang spesial. Jika masih begini, aku tidak akan sanggup menerima kata-kata manis darinya. Apa mungkin ada yang salah denganku? Berhari-hari dia di kafe, tapi aku tidak merasakan ada yang berbeda. Bukan! Aku yang memang lamban. Kalau tidak suka, bisa saja aku mengusirnya, atau memintanya pulang secara halus. Banyak hal bisa dijadikan alasan. Dan aku malah Membiarkannya berlama-lama di kafe, membantuku, lalu pulang bersama-sama. Aku gila!"

"Excuse Me!"

"Bagus sekali. Julukan Nenek siput cocok untukku." Sambil berjalan meninggalkan gerbang kampus, Hinata menggerutu seorang diri. Saking seriusnya berpikir, ia tak menyadari ada lelaki yang mengikuti langkahnya di belakang.

"Permisi, Nona ..." lelaki itu menepuk beberapa kali pundak Hinata. Ia menggaruk-garuk pipinya karena bingung. Padahal suaranya cukup keras, tapi kenapa gadis di depannya ini tak juga menyahut sapaannya. "Selamat sore, Nona!" Hinata terperanjat dan ia langsung menghadap ke belakang.

"Apa yang kamu ...!" Dia berdeham singkat, seketika bersikap formal dengan membungkukkan badannya. "Maaf, saya tidak mengenali suara Bapak." katanya cengengesan. Masalahnya dia baru saja membentak dosen pengajar di kampusnya. "Ada yang bisa saya bantu?" basa-basi Hinata kepada sang dosen. Takut jika perilakunya tadi menyebabkan dia mendapat penilaian buruk.

"Tidak, terima kasih." Lelaki paruh baya itu menjawab datar. Ia menggeleng-gelengkan kepala seraya mengamati Hinata sejenak. Raut mukanya terlihat sinis, dia pergi dengan tatapan tajam. Sementara, Hinata mencelus di tempat, tulang-tulangnya mendadak terasa lembek.

"Hari yang buruk." Desahnya pelan, lalu memutar badannya ke depan dengan malas.

"Hi!" Suara ini membuatnya kaget setengah mati sampai dia spontan terlonjak. "Are you ok?"

"Ka-kapan kamu datang? Dari mana?" Jantung Hinata mendadak berdebar-debar, bicaranya pun jadi gagap. Bukannya menjawab, yang ditanya justru memerhatikannya dengan tatapan bingung, sebelah alis si pria menungkik. Dia sempat menoleh ke belakang sebelum mengamati ulang wajah si gadis.

"Kamu melihat sesuatu? Kenapa melotot?"

"Huh?! Are you kidding me? Kamu mengagetkanku." Hinata menghembus napasnya secara perlahan sambil mengusap-usap dadanya.

"Sorry, aku tidak sengaja--kenapa kamu melamun di tengah jalan?"

Kening Hinata berkerut gara-gara pernyataan itu. Jika bukan karena dia, Hinata tidak akan mengalami rentetan kejadian tak mengenakkan seharian ini. Mulai dari keluhan pelanggan di tempat kerja gara-gara dia salah memberikan pesanan, lalu mengoceh sendirian di jalan dan yang terparah dia baru saja mendamprat dosen bahasa asing.

Usai mengulang kesialan tadi, senyum paksa muncul di wajah Hinata, "Sudahlah, lupakan!"  Dia mendahului Niguel. Sikapnya yang cuek membuat pria itu keheranan. 

"Wait! Kamu mau ke mana?"

"Bukan urusanmu!"

"Apa aku melakukan kesalahan?"

"Banyak!"

"Apa itu?" Langkah Hinata terhenti, dalam hati dia merutuki kelancangan mulutnya sambil menapuk-napuk kepala.

"Bagaimana ini ...?" Ketika dia masih memikirkan jawaban untuk diucapkan, Niguel justru merasa bila kehadirannya telah mengganggu ketenangan gadis ini.

"Maaf, barangkali aku datang di waktu yang salah. Baiklah, sampai nanti."

"Tunggu!" seru Hinata dengan cepat, hingga langkah Niguel sontak berhenti. "Mau aku traktir kopi?" tawar gadis itu setelah tak juga mendapatkan kata-kata yang tepat untuk diucapkan. "Aku yang bayar kali ini." Sekarang Hinata menjadi sungkan, menyesal akibat telanjur menghardik. "Sebenarnya, banyak yang kupikirkan.Tiba-tiba kamu muncul, aku benar-benar terkejut. Jadi, aku tidak sengaja membentakmu." Hinata menunduk saking bingungnya.

"Ayo!Sudah seminggu ini aku tidak menikmati kopi buatanmu," kata Niguel sambil dia mendahului Hinata, gadis itu mematung sejenak. Untunglah Niguel bukan orang yang sulit diajak bicara baik-baik. Dia mau memaklumi, meski Hinata sempat berlaku kasar padanya.

-----

"Hin, bukankah jam kerjamu sudah habis. Buat apa datang lagi?" Kiba menghampirinya di bingkai pintu dan Niguel tetap diam di belakangnya. "Dia?!seminggu absen, akhirnya kamu mampir juga." Cukup lama Kiba mengamati si pria bertubuh jangkung dan berambut karamel itu.

"Kita mau bersantai sambil mengobrol. Kamu harus melayani kami, Kib. Espreso dua, ya." Hinata berujar, lalu meneliti ke sepenjuru ruangan, mencari tempat yang pas untuk berleha-leha. "Kalau di sana bagaimana?" Menoleh ke belakang,dia meminta pendapat Niguel dan pria itu mengangguk sambil memberi senyum tampan. Seketika pipi Kiba memerah, terpikat ketampanan yang tercetak jelas di wajah Niguel. "Jangan macam-macam Kib, kamu sudah punya pacar tahu!" 

"Memangnya apa yang kulakukan? Aku 'kan cuma melihat dia Hin. Apa salahnya, sih?" ketus Nao karena jengkel, hingga Tami mendelik sinis kepadanya.

"Kau tertarik pada Niguel, aku bisa melihatnya Kiba. Pikirkan Tamaki yang sudah mau menerimamu apa adanya."  Hinata memperingati rekannya itu sebelum menyusul Niguel ke meja yang dia pilih.

"Kamu baik-baik saja 'kan?" Begitu duduk, Niguel seketika menginterogasinya.

"Aku?!"

"Kamu berbeda dari biasanya. Masalahmu sangat berat, ya?"

"Bukan! Anu ... reaksiku yang keterlaluan. Tugas-tugasku di kampus banyak sekali, aku jadi lelah." Terpaksa Hinata berbohong agar bisa mendinginkan ketegangan di antara mereka.

"Ada pekerjaan yang harus diselesaikan, maaf karena tidak mengunjungimu." Niguel mengatakan alasan yang menyebabkan dia absen ke kafe.

"Aku tidak menanyakannya." Kejujuran Hinata memancing tawa Niguel. Malahan pengakuannya itu membuat dia kelihatan seperti pencuri yang ketahuan.

"Terima kasih," senyum Niguel menyapa Kiba selagi dia menurunkan dua cangkir espreso di permukaan meja.

"Hati-hati! Kiba bisa salah mengartikan senyumanmu." 

"Jangan dengarkan dia! Hinata suka bicara yang aneh-aneh." Kiba membalas dengan mengata-ngatai juga. Mereka saling mencerca, balas-balasan dalam mengucapkan kata-kata ejekan. Di sisi lain, Niguel mengangkat cangkir dan menyesap perlahan si kopi hitam. Entah apa pemicu senyum kekal di bibirnya, yang jelas tatapan berbeda dari tajam bias matanya dia tujukan kepada si barista amatir mungil dan manis, Hinata Hyuuga.

Bersambung...

Espresso & Beauty Barista✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang