☕-9

674 160 50
                                    

Ciuman pertama mengubah bentuk jalinan di antara mereka. Segalanya menjadi lebih jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Bukan lagi sekadar hubungan samar-samar atau mengambang. Hinata tak akan lupa setiap kata yang Niguel ucapkan malam itu. Terjadi begitu saja, keduanya terhanyut akan suasana sepi nan dingin. Tanpa sadar tubuh dan wajah makin mendekat, hingga keintiman pun tidak terhindarkan. Saling berciuman lembut, baik Niguel maupun Hinata seolah-olah memiliki sinyal untuk mereka sendiri.

"Aku ingin bersamamu. Apa kau mau menerimaku?" pernyataan cinta yang terungkai dari mulutnya bagai tiupan halus menggelitik telinga dan menggetarkan jiwa Hinata, bulu romanya pun turut menegak. "Begini, tidak perlu terburu-buru. Kau bisa menjawabnya di saat kau merasa sudah siap. Aku pasti menunggu." timpal lelaki itu lagi tanpa ada keraguan. Hinata benar-benar memperhatikan, mencari maksud lain di balik matanya yang indah. Namun tak ada seberkas tipis pun kebohongan di sana. Cara bicara, gerak-gerik tubuhnya, bisa dipastikan bahwa dia lelaki yang amat berhati-hati dalam bertindak.

"A-aku... aku..."

"Nanti saja. Kau punya banyak waktu untuk berpikir. Tenanglah! Aku juga tidak akan memaksa andai kemudian kau menolak, kita bisa tetap berteman baik seperti sebelumnya."

"Tidak!" Hinata buru-buru menggelengkan kepala. Berteman biasa setelah mereka berciuman layaknya orang-orang memadu kasih? "Maksudku, aku menerimamu." Tautan alis-alis Niguel mengendur saat mendengar ucapan Hinata. Kelopak matanya melebar, masih ragu akan kebenaran tersebut.

"Kau yakin?" ada penekanan pada nada ucapannya. Niguel cukup terkejut kala Hinata menyatakan kesediaannya. Dan perempuan itu tidak keberatan untuk sekadar menghapus kebimbangan yang tampak di tatapan Niguel, dia mengangguk sekali lagi.

"Yang tadi itu adalah--ciuman pertamaku. Aku tidak pernah menduga-duga untuk melakukannya bersama seorang teman biasa." Hinata terlihat agak kikuk. Awal baginya berada sedekat ini dengan lelaki. Merasa malu karena kenyataan yang terucap, dia pun menundukkan wajahnya.

Senyum Niguel terlepas, dia menarik pelan tubuh Hinata ke dalam pelukannya. "Aku akan berusaha untuk tidak membuatmu kecewa karena sudah memberiku kesempatan."

"Tetaplah seperti ini dan jangan bersikap berlebihan," ujar Hinata berterus terang, berharap agar Niguel benar-benar memahami dirinya. Oleh sebab itu dia mencoba selalu terbuka sejak dini. Berujung lelaki itu mengeratkan dekapan di antara mereka dan mengutarakan terima kasihnya dalam kecupan kecil di pelipis Hinata.

-----

Sebagaimana hari-hari yang telah berlalu, kini pun tak ada yang berubah. Niguel tetap berkunjung ke kedai kopi di tempat Hinata bekerja. Walau keduanya resmi menjadi pasangan kekasih, tapi kebiasaan-kebiasaan lama itu tak mengalami perubahan. Seperti Niguel yang masih betah menunggu kedatangan Hinata di depan pagar bambu. Dan saat Hinata tiba, senyum tampannya akan menyambut sang kekasih dengan sukacita.

"Bagaimana tidurmu?" tanya Niguel sewajarnya demi membangun kedekatan di antara mereka. Dia berdiri di belakang Hinata, menunggu perempuan itu membukakan pintu untuk mereka.

"Selain Shion, tidak ada hal lain yang bisa menggangguku." Hinata berujar apa adanya. Memang Shion tergolong ribut saat tidur. Tak jarang perempuan itu meracau panjang karena mengigau.

"Dia? Benarkah?"

"Uhm, berisiknya sudah mendarah daging. Tidur sekali pun mulutnya tidak akan berhenti mengoceh." pengakuan Hinata membuat Niguel tergelak dan Hinata ikut cekikikan. Begitu berada di dalam kafe, masing-masing dari mereka mengambil posisi berlainan. Niguel langsung membantu menuruni kursi-kursi sekaligus menata seluruhnya dan Hinata yang bertugas mengelap semua perabotan kayu tersebut, kemudian menyapu lantai.

"Wah! Asyiknya pasangan baru. Apa yang kalian bicarakan? Aku tidak mengerti. Kenapa harus menggunakan bahasa Inggris segala?" keluh Shion dengan wajah memberungut. Dia tiba-tiba muncul dan langsung menyambut dengan tanggapan aneh.

"Shion?! Kau masuk dari mana?" Hinata dibuat bingung karena kedatangan si perempuan berambut pirang. "Kakimu masih menapak 'kan?" ia menengok ke bawah, lalu membuang napas bagai seseorang yang melepas kelegaan. "Aku tidak dengar pergerakanmu. Ish, kau ini! Makanya bersuara. Kebiasaan muncul mendadak, lama-lama kau mirip sadako." gerutu Hinata panjang dan Niguel hanya diam mengamati interaksi kedua perempuan tersebut. Sesekali tawa ringannya lepas kala obrolan di antara Hinata dan Shion mengundang percekcokan seperti yang sudah-sudah.

"Astaga! Kau yakin menyebutku Sadako? Jelas-jelas kau yang lebih mirip dengan boneka hantu itu. Warna rambut kalian sama, matamu juga..."

"Rambutku ikal, justru kau lebih pantas. Terkadang para hantu bisa dengan mudah mengubah warna rambut mereka. Sadako juga begitu, rambutnya jadi pirang saat mengamuk." Sambil menuang kopi ke cangkir, Hinata membalas sindiran Shion secara santai, namun tak kalah menohok.

"Aku tahu kau pandai mengarang, Hinata. Tapi sejak kapan hantu-hantu dapat berubah warna? Kau pikir mereka serupa bunglon?" Shion menghampirinya ke meja barista, lalu dia membuat latte untuk dirinya sendiri.

"Jika hantunya kau, mungkin iya," balas Hinata lagi seraya mengantar secangkir espresso ke meja Niguel.

"Gracias mi amor." Pipinya langsung merona gara-gara ucapan Niguel, sekejap dia mengalihkan wajahnya. Jika hanya gracias dan amor aku paham artinya. Kata perempuan itu dalam hati. Lalu dia kembali memandang Niguel dan segera mengembangkan senyum di bibirnya, agar tidak ketahuan sempat melamun.

"Kau mau camilan? Ada biskuit rubah, persis tato milikmu," tawar Hinata sebelum dia beranjak untuk meneruskan pekerjaannya.

"Boleh, kebetulan aku memang belum sarapan. Stok makanan di rumah sudah habis."

"Waffle itu? Aduh, aku malah memakan semuanya. Sorry ..." Ekspresi Hinata kentara menyesal, dia mendesah pelan.

"Itu bukan masalah. Harusnya kita singgah dulu di mini market untuk membeli makanan dan beberapa perlengkapan. Karena turun salju, aku jadi tidak enak membiarkanmu berlama-lama di luar." Niguel memaparkan kejadian sebenarnya, hingga raut kecewa di muka Hinata perlahan sirna.

"Lain kali, apa pun yang ingin kaulakukan bilang saja padaku. Apalagi hal-hal semacam itu bukan perkara yang berat." usai menyesap kopi panas dengan hati-hati, Niguel mengangguk tanpa bicara lebih. "Ya sudah, sandwich dan kitsune-cookie akan kubawa untukmu."

"Hei, Niguel! Kau harus mentraktirku, kau dan Hinata 'kan sudah meresmikan hubungan kalian. Si Nenek siput tidak mau, jadi kau saja..."

"Shion, berkali-kali kubilang padamu jangan mengganggunya." Hinata menyela selagi dia menghampiri, lalu menyajikan sepiring sandwich dan sepiring biskuit di atas meja. Tindakannya barusan menyebabkan bibir Niguel tersungging.

"Reaksimu berlebihan sekali. Aku cuma mau memperjuangkan bagianku. Kalau bukan karena diriku ini, mungkin kau masih menjomlo sampai sekarang." Dengan lancang dia mengambil sepotong sandwich tanpa permisi, hingga perilakunya mendapat delikan sinis dari Hinata.

"Tidak usah dengarkan dia. Shion memang suka asal bicara." Hinata mengusap-usap pundak Niguel, masih melempar pelototan tajamnya kepada Shion. Sementara perempuan itu, memilih tak peduli dengan mengedikkan kedua bahunya seraya tetap mengunyah sandwich.

Bersambung...

Espresso & Beauty Barista✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang