First love. Orang-orang punya cerita sendiri untuk setiap pengalaman yang pasti pula berbeda-beda mengenai perihal tersebut. Berakhir indah atau menyedihkan, tak ada siapa pun dapat memastikan di lorong mana takdir membawa sepasang pencinta akan berujung. Sama ihwalnya dengan Hyuuga Hinata, walau kisah dia tak pernah semenarik perempuan lain seusianya. Ia bahkan belum pernah merasakan betapa asyiknya romansa berkasih. Mau bagaimana lagi, mahasiswi semester akhir itu justru menanamkan sebuah prinsip kolot untuk dirinya sendiri. No graduation, no lover. Bukan sebatas omong kosong, ia memegang teguh tanpa goyah sedikit pun. Beruntung kini pendidikannya berada di tahap akhir, hanya selangkah lagi. Menunggu jadwal sidang untuk skripsi yang sudah rampung maka ia bersiap menendang jauh prinsip obsolet pembelenggunya.
Pagi yang cerah, saat Hinata disibukkan aktivitas sehari-hari. Bangun pagi, membenahi apartemen dan terkadang memasak untuk sarapan pagi. Selama menjalani pendidikan kuliah, ia memisahkan diri dari ayah ibunya yang hidup pas-pasan. Berakhir ia memutuskan menyewa sebuah apartemen, bersama dengan dua orang sahabat karibnya.
Hari berubah merepotkan sebab kini dialah yang mendapat giliran piket rutin. Tampak kelimpungan, ia keluar dari kamar mandi dengan terburu-buru. Mengenakan pakaian, mengeringkan rambut juga merias wajah ia lakukan dalam waktu singkat. Begitu selesai langkahnya bergegas turun ke dapur dan menyediakan sarapan untuk mereka.
Nasi putih disajikan ke dalam tiga buah mangkuk di atas meja makan. Selanjutnya menghidangkan tamagoyaki berikut kuah kaldu jamur dan menu pun siap disantap.
"Buru-buru sekali, tumben belum jam tujuh tapi kamu sudah berpakaian rapi," ujar Tenten seraya perempuan berambut cokelat itu menuruni anak tangga dengan santai, lalu mengambil duduk di salah satu kursi kosong.
"Shion mana? Terlambat bangun lagi?" Sebab belum melihat Shion, Hinata pun menanyakannya. "Aku yang membuka kedai hari ini, kalau terlambat... bosku bisa marah." Hinata menarik kursi untuk duduk dan mulai melahap makanannya.
"Pantas kamu sudah siap. Shion baru saja mandi, anak itu kalau tidur seperti orang pingsan. Sangat susah dibangunkan." Tenten mulai mengambil nasi dengan sumpit lalu menyuapkannya ke mulut. "Kalau tidak dibangunkan, malah dia yang marah-marah," sambung Tenten lagi.
"Kamu bereskan sisanya, ya? Bisa 'kan? Minggu depan kutraktir nonton, ada film Hollywood terbaru, Love and taste of coffe. Aku sudah baca sinopsisnya, sangat menarik. Kamu tidak akan menyesal." Hinata mengambil tas yang dia taruh di atas sofa ruang tamu, kemudian langsung berangkat menuju kafe tempatnya bekerja.
Seraya menghirup udara pagi nan menyegarkan, Hinata lantas berpikir bagaimana sosok lelaki yang akan ia temui suatu hari nanti. Tampankah? Mapan? Cerdas? Atau justru pria sederhana yang biasa-biasa saja. Sebuah kewajaran, ketika seseorang menginginkan kesempurnaan untuknya, meskipun dugaan tersebut lebih sering menyatu ke alam khayal. Persis dongeng putri salju kala ia menantikan pangeran tampan untuk menyelamatkannya. Kenyataan bahwa Hinata dan putri salju hidup dalam dunia berbeda, tentu pula tak selamanya bayang-bayang menjadi realita.
▪▪▪
Berada di Omotesando, kafe Kitsune merupakan kedai kopi populer di Jepang, terbukti karena tempat ini selalu menjadi tujuan wisata para turis. Kafe ini identik dengan atmosfer Jepang yang kental, perpaduan nuansa modern dan tradisional.
Nama Kitsune itu sendiri merupakan nama brand fashion asal Paris, yakni Maison Kitsune. Brand fashion tersebut membuka first Japan store mereka di Omotesando, Tokyo. Menyusul pula coffee shop bernama Kafe Kitsune, tempat ini menghadirkan kedai kopi ala Jepang dengan konsep yang unik.
Saat pertama kali memasuki Kafe Kitsune, pengunjung akan disambut dengan pohon-pohon bambu yang identik dengan hunian Jepang. Tak cukup sampai di situ, orang-orang akan dimanjakan dengan interior yang terinspirasi dari hunian di zaman Edo, dengan meja-meja kayu dan shoji yang merupakan pintu tradisional Jepang. Keheningan dan nuansa kuno sangat kuat terpancar dari kafe ini, menyebabkan setiap pengunjung akan mendapat pengalaman berlibur yang berbeda.
Kafe ini menyediakan beragam menu varian kopi yang mampu memanjakan lidah para pecinta kopi. Ada pula kitsune cookie yakni kue kering berbentuk rubah yang menjadi ciri khas kafe.
Kedai kopi tersebut merupakan tempat yang tepat untuk dikunjungi bagi penikmat kopi yang ingin bersantai. Namun kafe ini selalu ramai oleh wisatawan, menyebabkan para pengunjung wajib menentukan waktu berkunjung agar tidak kehabisan tempat. Pihak pemilik kafe juga membuat sebuah peraturan bahwa pengunjung tidak diperbolehkan untuk mengambil foto di dalam kafe.
Hinata melirik jarum jam di pergelangan tangannya, setengah sembilan pagi. Berarti masih tersisa waktu setengah jam lagi, benak Hinata saat memikirkan dia punya waktu yang lebih dari cukup untuk beristirahat sebelum kedai dibuka. Mengelap meja-meja berikut kursi, menyapu dan mengepel lantai, kemudian membersihkan cangkir dan mug-mug untuk ditata rapi, terang saja semua aktivitas itu membuat dirinya lelah. Apalagi ia mengerjakan semuanya seorang diri.
▪▪▪
Bunyi ketukan meja menyadarkan Hinata dari tidurnya. Perempuan itu terlelap tanpa sengaja dengan menjadikan kedua tangan sebagai alas kepalanya. Ia terkesiap dan langsung duduk tegak saat mendengar suara tersebut, Hinata menguap seraya mengusap-usap kelopak matanya yang masih enggan untuk terbuka.
"Hola, señorita. Este café ya está abierto?" kata lelaki yang kini sedang berada di hadapan Hinata. Barangkali ia adalah seorang wisatawan yang berencana singgah ke Kafe Kitsune.Di kening Hinata seketika muncul kernyitan tajam. Mulutnya menganga, sorot matanya menatap heran pada lelaki itu. "Maaf Tuan, apa yang kamu katakan?" tanya Hinata.
"Quiero una taza de café, puedes prepararla para mí?" sahut si pengunjung lagi. Sementara Hinata makin bingung di tempatnya. Ia mendengkus kasar akibat tak memahami maksud wisatawan tersebut.
"Tuan, aku sungguh tidak tahu apa yang kamu ucapkan," tutur Hinata lagi, dia nyaris frustrasi berhadapan dengan lelaki yang rambutnya berwarna kuning karamel itu.
"Señorita, qué dijo? Solo pido café." kali ini si turis pun turut putus asa, bukankah yang ia inginkan hanya secangkir kopi? Lalu kenapa Hinata tak juga beranjak untuk menyiapkan kopinya, perempuan itu justru mengatakan hal-hal yang tidak ia mengerti.
"Wait, senorita? Ah, I know. You're from Spain, huh? Can you speak English?" ujar Hinata dalam Bahasa Inggris saat kesadarannya sudah pulih sempurna, dia langsung memahami bahwa turis asing itu kemungkinan berasal dari Amerika latin.
"Nope, i'm in Mexico. Sorry I walked in before this cafe opened. From the information I know, the cafe opens at 9 am," jawab turis tersebut.
Hinata tersenyum kemudian ia berdiri dan bertanya, "It's okay, i overslept. Sorry, what is your name, Sir?"
"Niguel Nicandro." Jawaban singkat si turis asing.
"Ok, Mister Niguel. What is your order?" tanya Hinata untuk memperjelas apa yang diinginkannya.
"Espresso, please."
"Wait a few minutes, I'll be back with your coffee," ucap Hinata ramah, menyertakan senyum cantik di bibirnya.
"Thank you," sahut si turis pula membalas dengan senyum hangat di wajahnya, mengiringi kepergian Hinata yang langsung bergegas ke meja barista.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Espresso & Beauty Barista✓
ChickLit"Señorita, qué dijo? Solo pido café." Niguel menginginkan secangkir kopi, namun Hinata tak jua mengerti ucapannya. Mereka terjebak dalam perbedaan bangsa dan bahasa,namun saling jatuh cinta.