Biasanya dia selalu energik seolah-olah pekerjaan tak bisa membuat dirinya lelah. Tapi sekarang Hinata tampak berbeda. Mukanya lesu dan pergerakan tubuhnya juga lambat. Dia duduk malas, melabuhkan kepala ke atas meja sambil terus memperhatikan layar ponselnya.Sudah tujuh hari Niguel absen berkunjung ke kafe. Entah apa penyebabnya dan Hinata pun tak pernah mencari tahu tentang pria itu, satu-satunya hal yang paling dia sesalkan. Padahal Niguel kerap menunjukkan sikap hangat dan empatinya sebagai seorang teman. Namun sayang, selain nama dan tempat asal, segalanya masih asing bagi Hinata.
"Si nenek siput memang lebih baik dalam hal ini." monolog Hinata di, sekilas dahinya berkerut. "Nenek siput ya?" kata Hinata lagi, lalu meletakkan ponselnya.
"Nenek siput! Kenapa melamun?" Pekikan keras sekian tahu-tahu menarik perhatian Hinata. "Astaga, apa kamu tuli? Dari tadi kupanggil, kamu diam saja."
"Shion! Kamu bilang mau ke kampus, kok malah ke sini?" Kedatangan Shion menaikkan semangat Hinata, dia jadi terlihat lebih ceria.
"Dari kampus aku langsung ke sini."
"Cepat sekali."
"Aku tahu kamu pasti galau. Dia tidak datang juga 'kan?" Hinata hanya mendengkus saat mendengar tebakan benar dari mulut Shion. "Telepon saja, kalau tidak kirimkan pesan."
"Aku ragu. Apa yang harus kubilang padanya? Halo, Niguel ... kenapa kamu tidak datang? Kamu sakit? Begitu?!" Sontak Shion tertawa karena mendengar kepolosan Hinata dalam berbicara dengan pria.
"Dasar bodoh! Cobalah kata-kata yang lebih manis, kaku sekali. Kamu pikir dia ayahmu?" Shion berdeham singkat, lalu kembali berkata, "Pria suka dengan gadis yang lemah lembut juga perhatian. Mereka akan senang saat kamu khawatir dan menunjukkannya. Lakukan yang kubilang ini, dia pasti langsung menghampirimu."
"Aku tidak bisa melakukannya." Hinata mendesah pelan, badannya meluncur lemas ke meja. Sementara Shion, gadis itu memutar bola mata usai mendapati tingkah lebay temannya.
"Sekarang kamu tahu 'kan siapa Nenek siput sebenarnya?" Shion menggeser kursi hingga bersisian dengan meja barista. Ia duduk di sana, kemudian memberi petuah layaknya yang sering dilakukan orang-orang tua. "Apa yang menyebabkan dirimu tidak bisa melakukannya?"
"Memalukan, aku tidak punya keberanian semacam itu."
"Berikan ponselmu!" titah Shion seraya mengulurkan tangannya.
"Kamu mau apa?"
"Sini ... ayo cepat!" serunya lagi dan Hina pun menyerahkan ponselnya. "Apa susahnya sih?! Nah ... sudah terkirim," kata Shion sebelum mengembalikan ponsel iyu.
"K-kamu mengirim pesan padanya?!" Shion langsung menutup kuping dengan kedua tangannya, sementara Hinata tercengang di posisinya. "Mau taruh di mana mukaku, Shion?! Tidak, dia pasti mengira yang bukan-bukan. Kenapa kamu lakukan ini?!" Teriakan Hinata mendayu-dayu seperti irama sebuah lagu. Dia terus menggoncang-goncang lengan temannya. "Apa yang kamu bilang sama dia?"
"Mangkanya dibaca ... heboh duluan kamu. Buatkan latte untukku, aku 'kan sudah membantumu."
"Bikin sendiri." Hinata justru fokus memeriksa ponselnya. Belum sempat membaca apa yang dikirim Shion kepada Niguel, ponselnya tiba-tiba berbunyi. "Ya ampun, dia membalasnya. Cepat sekali." Tangan Hinata refleks meletakkan ponselnya ke meja, dia tidak berani membaca isi pesannya.
"Aku yang baca, ya?"
"Tidak usah! Nanti kamu balas lagi, aku bertambah malu." Buru-buru dia mengambil lagi ponselnya, untuk membaca pesan balasan Niguel tadi dengan separuh kebimbangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Espresso & Beauty Barista✓
ChickLit"Señorita, qué dijo? Solo pido café." Niguel menginginkan secangkir kopi, namun Hinata tak jua mengerti ucapannya. Mereka terjebak dalam perbedaan bangsa dan bahasa,namun saling jatuh cinta.