Di luar sedang hujan dan sekarang sudah pukul delapan pagi. Aku menoleh ke samping di mana suamiku tercinta masih tertidur pulas. Aku mengangkat tangan dan membelai pipinya, seketika hatiku haru saat kudapati wajah tampannya begitu damai.
Apa kalian pernah merasakan gemas luar biasa kepada pasangan? Jika iya, maka kita sama. Percayalah, aku tertawa saat mengatakan ini. Wajah suamiku tidak imut-imut seperti dalam pikiran kalian. Tapi saat menyaksikan muka tampannya itu terdiam dengan mata tertutup, aku benar-benar tidak bisa untuk tidak menyerangnya dengan tangan-tangan jahilku. Mengelus rahangnya yang tegas, mencubit hidungnya, juga menjepit bibirnya dengan telunjuk dan ibu jariku. Aku pasti cekikikan saat mulutnya terlihat persis seperti mulut ikan koi. Inilah rutinitasku kala terbangun di pagi hari.
Dia bergumam, gigi-ginya bergemeretak. Aku jadi ikut-ikutan merasa ngilu. Kebiasaan suamiku di sela-sela tidurnya. Waktu kutanya sejak kapan, dia bilang sejak pertama kali ada orang yang memberitahunya yaitu Bibi Teresa. Karena dialah yang merawat suamiku sedari beranjak remaja, tepatnya sepeninggal mertuaku.
Sebelum dia bangun, kejahilanku tidak akan berhenti. Tidak enak rasanya bila aku sendiri yang terjaga. Di rumah besar ini hanya tinggal kami berdua. Ada dua orang asisten rumah tangga yang bekerja lepas juga Paman John. Tetapi beliau sedang berada di Italia demi mengurus bisnis kafe kecil di sana. Sedangkan, para pekerja baru akan tiba jam 9 nanti, itu pun jika hujan reda.
Usahaku membangunkannya berhasil. Kelopak matanya terbuka, mukanya sedikit sembab dan dia masih enggan untuk bangkit. Tanpa suara dia menyapaku dengan sentuhan mesra. Padahal sudah lima tahun menikah, tapi senyumnya tetap menggelitik di hatiku. Aku pernah menanyakan perihal ini juga, bukannya menjawab dia malah tertawa lalu menciumku.
Dia telungkup di depanku, lalu menarik kaus kebesaran yang kupakai. Sambil mengusap-usap perutku, dia juga mengajak calon bayi kami berbicara. "Hola querida. Sal rápido, mamá y papá te están esperando." (Halo sayang, cepatlah keluar, mama dan papa menunggumu). Aku tersenyum saat mendengar ucapan yang keluar dari mulutnya. Dia memeluk pinggangku, lalu memberi kecupan selamat pagi di perutku. Saat matanya yang tajam menatapku, dia kembali berkata, "Kenapa perutmu tidak berubah? Harusnya sudah lebih besar."
"Belum, sayang. Ini masih dua bulan. Kamu harus menunggu lebih lama," kataku berterus terang dan dia mendaratkan kepalanya di atas pahaku. Aku mengerti gelagatnya yang ingin dimanja. Karena itu aku langsung menyapu lembut kepalanya sampai dia merasa cukup.
"Kamu mau makan apa? Biar aku yang memasak." dia bertanya dengan mata terpejam. Dia akan selalu seperti itu ketika tanganku menyentuh kepalanya.
"Tidak, kali ini biar aku. Kamu sudah terlalu banyak melakukannya," jawabku. Aku tidak bermaksud menolak. Sudah hampir dua bulan selalu dia yang mengurusku. Bahkan untuk memasak pun tidak boleh. Bayi pertama dan ketakutannya jauh lebih besar dari yang kurasakan. Jadi sulit bagiku membantah keinginannya. "Aku tidak pernah keberatan dengan masakanmu." Akhirnya aku mengalah. Walau bersikeras, tak akan berpengaruh terhadap keputusan suamiku. "Maaf ya. Kalau begini terus, aku pasti merepotkanmu."
"Aku bisa siap memasak selagi kamu membersihkan diri. Jangan lupa sikat gigi, ya." Kurasa dia dapat mendengar tarikan napasku. Lagi-lagi hanya bisa menurut ketika dia sudah berkehendak. Yang kucemaskan adalah dirinya. Aku takut jika dia tidak merasa puas atas keberadaanku. Ya, aku tahu tak harus berpikir demikian. Mengelak juga tak bisa, pikiran buruk itu muncul dengan sendirinya saat kalian menemukan pria istimewa di sisi kalian.
-----
Tiba waktunya bagi kami menjemput Ayah dan Ibuku di bandara. Kafe juga ditutup hari ini, sebab suamiku tak ingin merusak momen keluarga yang jarang terjadi. Baginya keluarga tidak bisa disisihkan, salah satu poin yang membuatku makin terpikat kepadanya.
Saat dia mengecek mesin mobil, aku masuk ke dalam. Baru saja terduduk, dari kaca depan kulihat Kimberly mendekat ke arah kami.
"Kim! Ah ... mungkin Hinata lupa memberitahumu. Aku menutup kafe hari ini, ada yang perlu aku dan Hinata lakukan, kembalilah besok." Kudengar suamiku menyapa gadis itu dan menyuruhnya pulang. Aku menghampiri mereka, kemudian menjelaskan kejadian yang sebenarnya.
"Sayang, aku sudah bilang kafe ditutup. Aku yang mengajak Kim untuk ikut bersama kita," kataku apa adanya dan Kim terlihat ragu-ragu bicara. Gadis itu memang agak sungkan terhadap suamiku, tapi jika hanya bersamaku dia berlagak seolah-olah bisa dengan mudah mengatasi Niguel.
"Apa kamu keberatan?" Kimberly memberanikan diri menatap suamiku. Dia tersenyum kaku sambil menunggu tanggapan.
"Tidak, aku senang kamu mau bergabung." gadis itu berlonjak-lonjak kegirangan. Dia langsung memelukku dengan kencang, sampai aku nyaris sesak.
"Akhirnya aku bisa santai sejenak. Terus berada di rumah bisa membuatku tua lebih cepat. Ocehan ibuku juga adik-adikku yang sering membuat kupingku sakit. Andai saja aku bisa menjadi salah satu tokoh di dalam ceritamu. Pasti hidupku akan berubah." Batinku sedikit terenyuh ketika mendengar kejujuran gadis ini. Dia mengingatkanku kepada diriku yang dulu. Aku yang sempat ketakutan dan mengkhawatirkan banyak hal dalam hidupku. Pasti merepotkan dan bikin pusing kepala. Untuk menghiburnya aku sengaja tetap tersenyum.
"Yakinlah pada dirimu dan berusaha. Setidaknya kamu perlu tahu bagaimana cara agar hidup bisa lebih baik. Tanpa kamu tahu, sesuatu yang indah akan muncul di waktu yang tepat." Kudengar dia mendesah keras, tapi wajahnya kembali ceria.
"Baiklah ... aku tidak akan melupakan pesanmu ini Tam. Percaya bahwa pangeranku pasti datang menjemput." Kimberly berteriak penuh semangat, sampai suamiku juga ikut tertawa.
"Mesinnya aman, ayo naik!" Seruan Niguel membuat kami semua bergegas ke mobil.
Suasana di dalam mobil menjadi ramai akibat kehadiran Kimberly. Mungkin akibat terlalu gembira, dia pun bersenandung lagu-lagu yang sedang tren di Ibu Kota. Sesekali aku dan suamiku melirik gadis itu dari kaca spion yang ada di tengah-tengah dan tanpa dia tahu kami sama-sama tersenyum oleh tingkahnya yang terlampau girang
"Kita jadi ke Tokyo 'kan? Berangkatnya bisa sekalian saat ayah dan ibu pulang," tanyaku bermaksud mengingatkan suamiku.
"Akan kuatur segalanya agar kita bisa pergi dengan santai." Jawabannya membuatku puas. Dia selalu pintar melenyapkan gundah yang terkadang mendadak singgah di benakku. Sudah dua tahun aku tak berkunjung ke Tokyo. Kerinduanku menumpuk untuk tempat itu, terutama kepada dua sahabatku tersayang.
"Shion akan melangsungkan pernikahannya bulan depan. Aku tidak ingin ketinggalan. Dia dan Tenten juga datang ke pernikahan kita." Aku mengumumkan sebuah kabar baik lagi dari Tokyo. Temanku yang paling cerewet itu akhirnya menikah dengan pangerannya. Aku benar-benar bersyukur, kisah kami bertiga berujung bahagia dan akan selalu kuingat setiap jalan yang pernah kutapaki. Agar aku tidak berhenti berterimakasih atas berkat dari Tuhan.
"Hin, nama temanmu mirip seperti tokoh dalam cerita, ya. Apakah dia ..."
"Kimberly ... itu hanya cerita. Kamu boleh mempercayainya, tapi alangkah lebih baik bila kamu berusaha menggapainya." Aku beralasan demi menutupi kenyataan, walau ekpresi bingungnya membuatku tidak tega. Tapi, biar kusimpan sendiri kisah ini sebagai kenangan terindah sepanjang hidupku.
"Apa yang kamu katakan pada Kimberly, sayang?"
"Tidak ada. Aku cuma menceritakan sebuah dongeng kepadanya. Benar 'kan Kimberly?" gadis itu mengangguk bimbang dan suamiku hanya menanggapi dengan senyum singkat. Aku menarik sejenak telapak tangannya lalu kucium punggung tangannya, biar dia tahu bagaimana rasa sayangku kepadanya.
Semoga kalian juga bisa menemukan pangeran yang selalu kalian idam-idamkan. Tidak perlu takut akan takdir yang sudah kalian punya, segalanya dapat berubah sekalipun itu tidak pernah terpikirkan..
T.A.M.A.T
Terima kasih buat yang sudah membaca kisah sederhana ini hingga usai. Semoga bisa sedikit menghibur kalian ya 🧡
KAMU SEDANG MEMBACA
Espresso & Beauty Barista✓
Genç Kız Edebiyatı"Señorita, qué dijo? Solo pido café." Niguel menginginkan secangkir kopi, namun Hinata tak jua mengerti ucapannya. Mereka terjebak dalam perbedaan bangsa dan bahasa,namun saling jatuh cinta.