Waktu itu perjamuan besar disambut antusias oleh Hinata dan Shion. Keduanya dapat bernapas lega, kala hari bahagia bagi sang sahabat akhirnya tiba dan tak seorang pun dari mereka berpikir akan menunjukkan air mata lagi di depan Tenten. Sudah jelas bahwa resepsi pernikahan mampu menciptakan suasana ria yang tak bisa terbantahkan. Dekorasi warna warni nan indah, pakaian pengantin mewah, nuansa glamour berikut adanya band lokal untuk mengisi acara dan menghibur para tetamu undangan.
Meskipun masih duduk di kursi roda, Tenten tetap terlihat cantik dan elegan dengan gaun putih panjang yang desainnya terbilang sederhana. Rambut cokelatnya dibiarkan tergerai, ada sebuah jepitan mutiara yang menghiasi gulungan rambutnya.
Lalu si pengantin pria, wajah tampannya sangat khas garis-garis asia. Sikapnya cukup tenang, cocok dengan profesinya sebagai seorang dokter. Mengimbangi penampilan anggun Tenten, lelaki yang diketahui bernama Utakata itu mengenakan sepaket jas berwarna senada dengan pengantin wanita. Keduanya tampak cocok karena ciri visual yang saling mendekati. Sama-sama berambut cokelat, wajah khas asia dan ekspresi tidak berlebihan, tampak pas di segala aspek.
Senyuman terulas tipis, memancarkan kelegaan di paras keduanya kala netra mereka saling berpapasan. Baru saja janji suci terucap dan selagi orang-orang menanti sebuah momen kecil yang manis, si pengantin pria berjongkok di hadapan pengantin wanitanya. Dia merapatkan jarak di antara mereka, kemudian ciuman lembut itu mendapat sahutan meriah dari seluruh tamu yang hadir.
"Romantis sekali." Mata Shion berkaca-kaca, jari-jarinya saling bertaut di dadanya. Dia tengah mengagumi kemesraan di antara pengantin dengan penuh rasa haru.
"Hapus air matamu," kata Hinata cepat-cepat setelah dia menyikut pelan lengan temannya itu. "Kamu bilang kita tidak akan menangis di sini. Jangan sampai Tenten menyadarinya, kamu lihat 'kan ... dia sangat bahagia sekarang."
"Iya, aku tahu. Menangis bahagia 'kan tidak apa-apa. Aku ikut senang karena Tenten juga mendapatkan pangeran tampan untuknya. Lalu bagaimana denganku? Kamu juga sudah punya Niguel," keluh Shion dengan wajah tertunduk, sikapnya menyebabkan Hinata mendesah pelan di sebelahnya.
"Kamu sendiri maunya begitu. Dari awal 'kan sudah kubilang, Shino itu juga pria yang lumayan. Tapi, kamu tetap saja mengatai dia culun. Belum kenalan sudah berpikiran negatif. Dicoba dulu, daripada menuduh yang tidak-tidak." Ocehan Hinata terdengar panjang.
"Kamu saja yang tidak tahu," balas Shion ringkas bersama ekspresi yang berbeda di mukanya. Mendadak dia tersenyum sambil memandang lurus ke depan.
"Shion, kamu lihat siapa? Kening Hinata berkerut saat menyaksikan perubahan di wajah temannya, "Eh, siapa pria itu? Kamu kenal, ya? Sepertinya menuju kemari."
"Sudah kutebak, kamu pasti tidak akan mengenalinya. Dia pangeran tampanku." Shion mengumumkan dengan bangga. Wajahnya kian berseri-seri ketika lelaki yang sedari tadi merebut fokusnya telah berdiri di hadapan. "Lama sekali, aku sudah menunggu." Dia bertutur manja saking senangnya menyambut kedatangan Shino.
"Ini Shino? Kamu tidak bercanda 'kan?" Hinata jelas sangat heran karena menyaksikan perbedaan signifikan dari penampilan Shino. Lelaki itu tampak gagah dengan wajah oriental yang kental. Jelas saja orang-orang akan dibuat kaget, sebab selama ini penampilan yang kelewat tertutup berhasil menyembunyikan jati diri dia yang sebenarnya.
Kelopak mata Hinata melebar tatkala Shino menggangguk ramah, membenarkan ucapannya. "Halo, Hin. Bagaimana kabarmu?" Shino menyapa santun berikut seulas keramahan di garis wajahnya.
"Aku baik--kamu banyak berubah ya sekarang, makin tampan." Hinata menuturkan rasa takjubnya, sementara Shion menarik tangan lelaki itu lalu menggandengnya.
"Shion membantuku, semua ini karena dirinya."
"Aku tidak melakukan apa-apa, kamu hanya terlalu lama menutup diri."
"Tapi kalau bukan karena dukunganmu, aku tidak akan seperti ini. Aku suka sikapmu yang selalu berterus terang dan bersemangat, itu membangkitkan aura positif terhadap orang lain."
"Jangan berlebihan, aku jadi malu."
"Kamu menggemaskan sekali." Kejujuran Shino barusan membuat Shion salah tingkah. Lain hal Hinata yang justru kehabisan kata-kata, cuma bisa menonton interaksi saling merayu, memuji di antara keduanya. Sejenak ia menunduk, lalu kesedihan muncul di sudut mata dan dia langsung menyekanya sebelum Shion memergoki.
Kebahagiaan pasti datang untuk siapa saja yang percaya dan tidak berputus asa. Entah bagaimana caranya tiba, namun sejatinya siapa pun dia akan dapat mencicipi euforia serupa dengan jalan yang beragam. Manis, getir, pilu dalam kehidupan juga ada bagi setiap cerita sebagai pengantar sebelum tibanya sukacita.
-----
Hinata menjauh perlahan-lahan dari Shion dan Shino. Dia memilih ke meja Hidangan untuk menyantap penganan ringan yang tersaji di sana. Kue tar mini dengan berbagai krim warna-warni, ada juga potongan buah-buahan segar dan puding bermacam rasa. Dia mengambil piring ceper berukuran kecil, mengisinya dengan masing-masing satu jenis kue dan puding. Sedikit cemberut, saat satu suapan kue masuk ke mulutnya. Segera dia menyeka ulang air mata kerinduan di pipi, mengalihkan tatapannya ke kerumunan orang-orang yang sedang bersalaman untuk memberi selamat kepada mempelai. Raga dan jiwanya berdiri tegak di sini, tak selaras terhadap hati dan pikirannya yang melayang ke tempat lain.Rasa iri dalam sekejap mengusik di benak, hingga perasaannya pun mulai kacau. Menyaksikan kedua sahabatnya bisa tertawa gembira, tentu dia ikut merasa senang atas mereka. Tapi jauh di dalam sudut hatinya, dia tak dapat berbohong jika ketiadaan Niguel membuatnya gelisah. Berharap agar sang kekasih juga berada di sini dengannya, melenyapkan kerinduan yang berbulan-bulan dia pendam.
"Apa kuenya tidak enak? Rasa kue tar yang manis bisa membuat orang gembira saat memakannya. Kenapa kamu justru menangis?" Spontan Hinata menoleh ketika bariton yang dirindukannya itu kembali menyapa telinganya.
"Kamu datang?!" Kelopak mata berlinang, tanpa ragu dia langsung memeluk tubuh jangkung lelaki di depannya.
"Taruh dulu piringnya, takutnya malah jatuh. Jangan menciptakan keributan di pesta temanmu sendiri." Niguel meraih piring yang berada di balik punggungnya, kemudian meletakkannya ke atas meja.
"Kupikir tidak datang, aku hampir pulang karena bosan."
"Aku tidak mungkin mengecewakanmu lagi. Kunjunganku kali ini bukan untuk urusan bisnis atau sekadar liburan. Aku ingin membawamu ikut bersamaku."
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Espresso & Beauty Barista✓
ChickLit"Señorita, qué dijo? Solo pido café." Niguel menginginkan secangkir kopi, namun Hinata tak jua mengerti ucapannya. Mereka terjebak dalam perbedaan bangsa dan bahasa,namun saling jatuh cinta.