☕-8

703 165 79
                                    

Perbincangan di sore kemarin menyebabkan interaksi di antara mereka menjadi makin akrab. Hinata berani terbuka dan menceritakan beberapa hal mengenai dirinya. Tentang orang tua juga kampung halaman dan ternyata Niguel bukan hanya teman yang baik, dia pendengar loyal untuk lawan bicaranya. Sikap tenangnya itu menularkan aura positif bagi orang lain, Hinata mengakui jika dia pun telah merasakan dampaknya.

Tapi sosok Niguel masih asing. Entah karena terlampau asyik menunjukkan identitasnya, hingga dia lupa mengatakan pertanyaan yang sebelumnya dia persiapkan. Kenyataan tersebut membuat Hinata tak puas dan sedikit menyesal.

Diam-diam dia terus memperhatikan gerak-gerik Niguel. Selagi lelaki itu membantunya merapikan meja-meja berikut kursi, Hinata juga menyibukkan diri dengan mengelap semua meja, kemudian menyapu lantai. Hin, si pria Amerika bukan pacarmu 'kan? Aku ingin mengajaknya keliling. Ucapan Kiba tiba-tiba terngiang hingga memengaruhi suasana hatinya. "Dengan perempuan mau, pria juga mau. Ternyata kamu makhluk hermafrodit."

"Apa yang membuatmu kesal? Kamu tampak marah." Niguel muncul di hadapannya dan lelaki itu bisa melihat kejengkelan di muka Hinata.

"Tidak." Senyum kakunya membuat kening Niguel berkerut. "Duduklah, akan kusiapkan kopinya untukmu." Hinata menarik lengan lelaki itu dan memintanya duduk menunggu.

Kopi yang sebelumnya sudah diseduh terlebih dahulu dia bawa di atas nampan, lengkap dengan sebungkus roti kacang merah. "Roti?"

"Aku membawanya dari rumah. Maaf ya, jamuan yang terlambat. Padahal setiap hari kamu selalu membantuku, tapi aku tidak pernah berterima kasih," kata Hinata menyesali ketidakpekaannya sembari dia mengambil duduk di samping lelaki itu.

"Setiap hari kamu mengatakannya." Niguel membuka bungkus roti, mencubit dan menggigit bagiannya. "Makan juga untukmu." Cubitan kedua Niguel berikan kepada Hinata. Gadis itu menyampirkan sisa rambutnya yang tidak terikat ke belakang telinga. Dia akan seperti ini di kala gugup.

"Bukan itu maksudku," sahut Hinata sebelum menerima suapan Niguel. "Rasanya lumayan, aku sempat ragu saat membelinya. Minggu depan kutraktir ya, kamu suka makan apa?" tawar Hinata blak-blakan dan Niguel menyahutnya dengan anggukan singkat. Dia masih menikmati kopi beserta roti kacang merah. "Omong-omong, bagaimana dengan bahasa Jepangmu? Kalau mau aku bisa mengajari." Niguel tersedak saat baru saja menyesap kopinya. "Astaga, pelan-pelan saja." Hinata menepuk-nepuk punggung Niguel walau sebenarnya tak membantu. Lelaki itu terkesiap ketika mendengar perkataannya, hingga langsung ingat jika kebenaran akan hal tersebut masih dia sembunyikan. Sampai sekarang jati dirinya belum terbongkar dan tidak ada alasan apapun yang memperkuat Niguel untuk memberitahu, termasuk bahwa dia bisa dan memahami Nihongo.

-----

Kafe pasti ramai di waktu-waktu menjelang siang. Hinata tetap fokus menyiapkan ragam pesanan yang datang. Mulai dari latte, espreso, kapucino juga minuman lain yang tersedia. Dua rekan lain pun tampak sibuk mengerjakan bagian mereka masing-masing. Ada yang mondar-mandir membawa nampan berisi pesanan, ada pula yang bertugas menuliskan permintaan para pelanggan. Sementara Niguel, dia sedang duduk di kursi yang sudah dua minggu ini menjadi tempat favoritnya.

Di tengah-tengah berlangsungnya kerepotan, sebuah insiden kecil terjadi. Seorang pramusaji tanpa sengaja menabrak Niguel dan menumpahkan espreso ke baju lelaki itu. Spontan dia berdiri dan buru-buru membuka sweternya akibat rasa yang menggigit dari si kopi panas.

"Maafkan saya." Cepat-cepat pramusaji itu membungkuk. Raut wajahnya terlihat cemas saat menyaksikan ruam merah yang membekas di punggung Niguel, kulitnya terbakar.

"Ada apa, Tomoyo?" rasa penasaran dan heran membawa langkah Hinata bergegas menghampiri. "Punggungmu!" Kedua tangannya refleks membekap mulut karena terkejut, kelopak matanya pun ikut melebar.

"Hin, aku benar-benar tidak sengaja. Kakiku terpleset dan aku hilang keseimbangan." Agak takut, pramusaji itu pun mengucapkan permohonan maafnya dengan terbata-bata.

"It's okay," kata Niguel sambil menahan ringisannya.

"Ayo, aku punya salep untuk lukamu ini. Kalau tidak cepat diobati, kulitmu bisa melepuh." Tak ada penolakan dari Niguel, dia mengikuti langkah Hinata ke meja barista. "Duduklah! Kuambil dulu salepnya." begitu duduk Niguel mengamati tumpahan noda kopi di bajunya. "Kamu punya tato?"

"Ya."

"Maaf soal baju juga punggungmu. Biar aku yang mengurus semuanya. Lukanya tidak akan bertahan lama jika sudah dioles menggunakan salep ini. Kalau bajumu ... aku bingung. Aku bisa membawanya pulang untuk dicuci, tapi kamu pasti tidak membawa pakaian ganti."

"Tidak apa-apa, aku tetap pakai baju ini sampai di rumah."  Dia menjawab selagi Hinata beringsut ke belakangnya, lalu melumurkan salep ke permukaan yang terbakar.

"Kamu yakin? Atau kamu mau aku mencucinya di apartemenmu saja? Maksudku, pulang dari sini kita pergi ke tempatmu."

"Hasilnya tidak berubah, tetap menyusahkanmu." Hinata tersenyum kala lagi-lagi Niguel menunjukkan sikapnya yang gentle.

"Anggap saja sebagai penebusan. Bisa dibilang secara tak langsung aku yang menyebabkan insiden ini terjadi, karena kedatanganmu untuk membantuku."

"Tepatnya untuk menikmati kopi buatanmu."

"Sudahlah, aku merasa tidak enak bila kamu menolaknya. Sepuluh menit lagi shift kerjaku habis."

"Aku tidak bisa menghindar kalau kamu memang memaksa," anggukan Niguel membuat Hinata tersenyum lega. Sadar tidak sadar, dia justru terlihat berusaha untuk mempertahankan kebersamaannya dengan lelaki itu.


-----

Barangkali kenyamanan itu tak akan pergi ketika ia berhasil singgah. Banyak orang melewatkan sinyal ini, akibat terbuai keadaan. Contohnya Hinata. Meskipun ia tak sepenuhnya memahami, namun bahasa tubuh gadis ini jelas mengisyaratkan perihal semacam, dia menyukai kebersamaannya dengan Niguel dan lama-kelamaan menginginkan jika momen tersebut dipertahankan.

"Ini cokelat panas, minumlah! Diluar cuacanya sedang dingin. Tapi aku hanya punya wafel, tidak ada makanan lain yang mengenyangkan. Biasanya aku memesan delivery food atau pergi keluar untuk mencari makanan enak." Niguel membawa satu mug minuman cokelat beserta sepiring wafel. Mereka duduk di ruang minimalis yang hanya dilengkapi sebuah sofa panjang dan meja berukuran kecil.

"Ini sudah cukup. Kecuali jika perutku lapar, aku pasti akan meminta banyak makanan kepadamu." Niguel tertawa ringan, serempak dengan Hinata yang mulai menyesap cokelat panas itu perlahan-lahan.

"Aku baru menyadari ada serbuk kopi di wajahmu." Ibu jari Niguel menyapu lembut pipi Hinata, menyebabkan dua pasang netra indah beradu dalam sunyi. Suasana dingin kini mengelilingi keduanya di mana musim salju baru saja bermula. Butiran es pun berjatuhan, tampak dari jendela di sisi kanan ruangan. Keheningan pun timbul akibat rasa canggung yang tidak terelakkan.

Bersambung...

Espresso & Beauty Barista✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang