Seperti janji Hinata kemarin, di mana Shion mengatakan ingin ikut dengannya dan saat ini dia menunggu karena kesal, menyandarkan punggung ke lemari pendingin sambil bersedekap. Akibat mulai bosan, Hinata pun mengembus napasnya berulang-ulang.
"Kamu sudah mengingatkan Shion lagi tadi malam?" tanya Tenten selagi dia mengunyah roti isi selai kacang.
"Sebelum turun juga sudah. Kebiasaan buruknya enggak hilang-hilang. Shion memang pantas dijuluki ratu lamban," gerutunya jengkel.
"Ratu lamban ini siap. Apalagi yang mau kamu bilang, Hin?" Sedang menuruni anak tangga, Shion menyahut santai sembari memoles lipstik berwarna nude ke bibirnya.
"Ya, akan ada gelar baru untukmu jika saja kamu belum juga turun. Nenek siput mungkin," kata Hinata sesuka hatinya, hingga Tenten terkikik geli.
"Dan ibu kaktus adalah sebutan yang cocok untukmu. Kamu kaku juga berlidah tajam, persis duri kaktus." Tenten tak bisa menahan tawanya, bahkan nyaris tersedak. "Perlu kuberitahu dirimu, Tenten? Aku punya panggilan yang lebih baik khusus untukmu."
"Tidak, terima kasih." Tenten menjawab singkat, lalu beranjak dan menaruh gelas kosong yang sebelumnya berisi susu. "Sampai ketemu di kampus, ya," ucapnya saat kedua temannya mulai berjalan keluar. "Shion, aku lupa bilang ...kayaknya Shino memang tertarik padamu. Dia terus menanyakan tentangmu. Aku sampai bosan karena harus membalas semua pesannya."
"Wah! Berita baik. Kita harus merayakannya, traktir kami makan malam." Seraya tertawa lebar, Hinata sengaja menggoda Shion.
"Dalam mimpimu. Aku tidak suka pria pemalu, agak menyebalkan ketika sebagai wanita kamu yang justru berjuang mencari perhatian, kalau tampan tidak apa," jawab Shion dengan entengnya sambil mengibas-ngibaskan rambut. Serempak Hinata dan Tenten memutar bola mata mereka.
"Sudahlah, ayo! Aku tidak mau terlambat," seru Hinata seraya menarik lengan Shion. Dan Tenten tiba-tiba saja berjalan cepat ke bingkai pintu.
"Hin! Tetap awasi Shion, ya. Dia berbahaya." Hinata mengacungkan kedua ibu jarinya sambil tersenyum lebar. Sementara Tenten terbahak-bahak karena melihat Shion melayangkan kepalan tangan kepadanya dengan mata melotot.
-----
Cinta itu manis. Orang-orang berasumsi begini karena banyak kesenangan yang hadir di kala hati merasakannya. Cinta itu buta. Ada pula pendapat demikian, boleh jadi disebabkan oleh beberapa alasan klasik. Di mana si penikmat selalu menjadikan kata cinta tersebut sebagai alasan untuk membenarkan perbuatannya. Cinta itu membius, ketika seseorang spontan terbawa ke dalam suasana tenang tanpa ada hal lain yang membuat pikirannya terbagi, sebuah kedamaian hati dan ketenteraman jiwa.Niguel menganggap ia tengah berada di tempat ketiga sekarang. Perjumpaan pertamanya dengan Hinata menciptakan sebentuk keindahan di benaknya. Senyum terakhir Hinata begitu membekas di sudut hati lelaki itu. Meskipun interaksi mereka bukanlah obrolan manis, canda ria atau keakraban lainnya. Namun, tampaknya hal kecil tersebut malah berhasil memengaruhi diri dan perhatian, sampai-sampai wajah tersenyum Hinata menguasai seluruh isi kepalanya.
Kafe belum dibuka, tapi Niguel sudah berada di sana sejak dua puluh menit yang lalu. Dia berdiri, bersandar di pagar bambu. Tangannya bersedekap dengan kaki bersilang. Ia menatap ke bawah, senyum-senyum sendirian. Kata-kata Shikamaru kemarin masih berputar-putar dalam pikirannya.
"Permisi, Tuan. Anda yang kemarin pagi berkunjung 'kan? Sedang apa di sini?" sapaan Hinata sedikit mengejutkan dirinya, tubuhnya spontan tegak dan respons Niguel sedikit gugup. "Mau minum kopi, ya?" tanya Hinata lagi, menggunakan bahasa Inggris. Niguel tersenyum lega, spontan dia mengangguk. "Mari, Tuan," ucap Hinat mempersilakan. Ia menuntun pria Amerika itu ke dalam kafe, melupakan Shion yang masih berusaha menyusul langkahnya di belakang.
-----
"Hin, kamu ini!" Barusan muncul, Shion mengentak-entakkan kakinya. Ia kesal karena Hinata malah meninggalkannya."Mangkanya di jalan jangan menelepon," keluh Hinata sambil mengelap meja-meja. Tak lama Niguel keluar dari toilet yang berada di sebelah kanan. Sosoknya mengagetkan Shion, mata perempuan itu terbelalak. "Loh ada turis ya? Dari mana?" tanya Shion antusias selagi menghampiri Hinata.
"Pengunjung kafe, mungkin dari Amerika. Kemarin dia juga ke sini."
"Buat apa dia datang?"
"Mau tidur! Ya tentu saja minum kopi--tidak usah banyak tanya, cepat bantu aku. Dia sudah menunggu sejak tadi." Daripada mendengarkan Hinata, Shion lebih tertarik mendekati Niguel.
"Selamat pagi!" sapanya ramah. "Aku Shion," ucapnya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. Kemudian Niguel meraba saku celananya dan mengambil kamus kecil pemberian Shikamaru. Dia pikir perlu untuk mencoba bahasa daerah sini agar bisa lebih mudah berbaur dengan orang-orang setempat.
"Selamat pagi, saya Niguel," katanya agak terbata-bata seperti mengeja. Detik sekian, dia menggaruk kepalanya. Pertanda bahwa sekarang dia merasa gugup. "Aku belum terbiasa, maaf kalau perkataanku terdengar aneh," timpal Niguel, tapi kembali dengan logat bahasa Inggris.
"Tidak apa-apa, kamu sudah melakukannya dengan baik. Maafkan temanku ini." Cepat-cepat Hinata menyela di sela-sela obrolan itu dan dia membungkuk sebentar sebagai permintaan maaf. "Espreso, Tuan?"
"Tentu." senyum Niguel mengembang. Reaksinya jadi agak santai dari sebelumnya.
"Silakan duduk! Pesananmu segera kusiapkan." Hinata menyingkir ke meja barista dan kali kedua dia menarik tangan Shion,"Dia tidak mengerti bahasa kita dan akibat ulahmu itu, dia jadi tidak nyaman."
"Aku hanya ingin berkenalan, Hin. Biasanya kafe ini tidak pernah kedatangan tamu setampan dia."
"Dari mana kamu tahu?" sahut Hinata sembari menyediakan cangkir beserta tatakan ke atas meja." Sudut matanya melirik Shion di mana dia masih juga mencuri-curi pandang ke sosok pria berambut sewarna karamel itu. Tempat Niguel duduk cuma beberapa meter dari meja barista.
"Kamu sendiri kok yang bilang. Setiap kutanya ada yang menarik atau tidak di kafe ini, reaksimu buruk sekali. Jadi kupikir selama ini pelangganmu hanya orang-orang tua atau para remaja berisik." tanpa mengalihkan pandang, Shion bicara apa adanya. "Untung hari ini aku ikut denganmu. Kalau tidak, makhluk setampan dia bakal terlewatkan."
"Aku di sini." Hinata menarik kuat wajah Shion, hingga temannya itu menggerutu.
"Mukamu sudah sering kulihat. Kita bertemu dan bersama setiap hari." Tatapannya kembali tertuju ke meja di depan mereka. Kening Shion mengernyit saat mendadak dia kehilangan sosok Niguel. "Hin, dia menghilang, apa dia cuma halusinasiku saja?" Oh ya ampun, dia mulai bersandiwara.
Sejemang Hinata mendesah pelan ketika temannya itu mulai menunjukkan reaksi berlebihan. "Dia di dekat pintu, sedang menelepon." Kemudian gadis itu beringsut guna menghidangkan secangkir espreso ke meja Niguel, sampai situasi berubah kikuk sebab si pria muncul secara tiba-tiba di belakangnya. Tanpa sengaja wajah Hinata menubruk dadanya. Perbedaan tinggi yang lumayan jauh, menyebabkan Hinata mendongak. Netra mereka saling berpandangan, bibirnya gemetar saat mengucapkan kata maaf, "So-sorry, i really ..."
"Thank you."
"Ha?!"
"For this coffee." Hinata sontak tertawa sumbang saat Niguel menjelaskan maksud perkataannya. Dia bergegas bergeser agar pria itu dapat duduk kembali di tempatnya semula. Yang tidak Hinata tahu, kejadian tersebut tak luput dari pengamatan Shion. Jika diperhatikan, seringai licik menghiasi wajahnya. Seolah-olah dia tengah merahasiakan sebuah rencana buat Hinata.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Espresso & Beauty Barista✓
Literatura Feminina"Señorita, qué dijo? Solo pido café." Niguel menginginkan secangkir kopi, namun Hinata tak jua mengerti ucapannya. Mereka terjebak dalam perbedaan bangsa dan bahasa,namun saling jatuh cinta.