Bagi gadis lain, bisa mengalami peristiwa yang terjadi pada Hinata bagai mimpi indah dalam cerita-cerita dari negeri dongeng. Di tempat itu nasib baik selalu datang kepada tokoh utama perempuan. Bertemu peri penolong, lalu diselamatkan oleh pangeran rupawan. Tentu Hinata patut berterimakasih atas takdir baik yang menimpanya. Walau Niguel bukanlah keturunan raja-raja layaknya hikayat cinderella, namun soal ketampanan, nilai terbaik pantas dia dapatkan.
"Kudengar Kirei akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Belum apa-apa, satu kampus sudah heboh karena berita ini." Tenten memulai ceritanya ketika mereka semua berada di dalam kamar. Masih pukul delapan malam dan mereka mengisi waktu dengan ragam perbincangan.
"Anak tahun kedua itu 'kan? Yang waktu itu pernah kita OSPEK." Shion menyambung perkataan tadi, sedangkan Hinata masih membolak-balik lembaran buku di tangannya. Tetapi, telinga tetap menangkap ucapan teman-temannya.
"Oh, yang kurus tinggi itu 'kan? Dia memang populer di kampus, anak-anak di kelas kita juga banyak yang mengejar dia." Hinata menyambung, matanya tak berpaling dari halaman buku yang sedang dia baca.
"Dia cantik dan modis, berasal dari keluarga kaya pula. Siapa yang tidak tertarik sama gadis sempurna seperti dia?" Giliran Tenten yang tak sabar untuk menanggapi obrolan mereka.
"Dia bakal menikah dengan anak Dekan di kampus kita. Kabarnya pria itu tampan, terus sudah mapan. Bisa dibilang mereka pasangan yang serasi. Cantik dengan yang tampan, kaya dan kaya. Wah! Kisahnya lebih baik dari dongeng putri salju." Shion jadi bertambah antusias bicara. Netranya memandang langit-langit seakan ada yang terucap dalam hatinya, seperti sebentuk harapan.
"Berdoalah agar Shino menjadi pemuda impian dalam hidupmu." Tahu-tahu, Tenten menggoda Shion. Pernyataannya menarik perhatian Hinata, dia langsung menunjukkan senyum menyebalkan, senyuman yang tak ingin dilihat Shion sebab mengandung ejekan.
"Tenten benar, Kazuo juga mati-matian mendekatimu. Bayangkan saja betapa susahnya dia saat menuliskan surat cinta waktu itu. Pasti jari-jarinya gemetaran atau mungkin pena yang dipegangnya jatuh berulang kali saat menulis namamu." Tawa keras bergema di kamar mereka. Untungnya, Shion tak mengacuhkan keusilan teman-temannya. Bagaimanapun juga, jika ada seseorang bertanya siapa yang paling menjengkelkan di antara mereka, maka tanpa pertimbangan orang-orang akan langsung menyebut nama Shion sebagai pelakunya.
"Dia perlu melakukan usaha lebih keras untuk mendapatkan perhatianku. Jika pria seperti Gaara bisa kutolak dengan mudah, lalu alasan apa yang membuatku mau menerima Shino?" sambil mengoles lotion ke kaki-kaki dan kedua tangannya, Shion mengatakan kalimat pamungkasnya untuk melawan dua temannya. "Dan kamu Tenten, sebagai teman yang baik harusnya kamu tahu tipe pria yang kusuka. Katakan kepada Shino agar dia tidak cuma bisa bergetar atau bicara dengan bahasa gagap." Lagi-lagi gelak mereka mengudara dengan kerasnya, buku di genggaman Hinata ikut terjatuh akibat fokusnya berhasil teralihkan dan semua itu sebab kata-kata Shion yang kepalang pedas.
"Aku beri tepuk tangan dan penghormatan khusus kepada Shino jika dia kuat bertahan di sampingmu. Kamu bukan cuma cerewet, lidahmu terlalu tajam buat orang-orang yang polos, Shion. Takutnya dia malah pingsan dan kejang-kejang jika benaran pacaran denganmu."
"Sialan! Bicaramu, Hin! Shino tidak seburuk itu. Shion, menurutku kalian perlu bicara empat mata. Aku serius, tempo hari aku iseng-iseng memeriksa tasnya. Ada foto yang mirip sekali dengan dia terselip di buku diktat, tapi di dalam foto itu dia berbeda. Aku berani bersumpah sebenarnya dia tampan." Itu pengakuan Tenten, sayang tidak terlalu mengejutkan bagi dua temannya atau mereka justru meragukan kata-katanya.
"Aku tidak percaya dan tidak mau peduli sebelum melihat buktinya dengan mataku sendiri." Shion menarik selimut. Seperti kebiasaannya, dia mendahului teman-temannya untuk tidur lebih awal. Berbeda dengan Hinata dan Tenten, mereka meneruskan aktivitasnya semula.
-----
Tak ada yang menyangka jika obrolan malam itu merupakan yang terakhir bagi mereka bertiga. Tenten mengalami kecelakaan serius hingga dia harus dirawat dalam waktu lama. Segala kegiatan perkuliahannya pun terpaksa dihentikan.
Peristiwa nahas terjadi di sore hari, tepat di depan gerbang kampus. Shion tak berhenti menyalahkan dirinya atas insiden tersebut. Pasalnya, saat kejadian berlangsung, Shion ada bersama Tenten. Sudah menjadi kebiasaan bagi mereka untuk mengobrol di setiap kesempatan yang ada. Sampai-sampai, Shion beranggapan jika dia adalah penyebab kecelakaan yang dialami si teman karib, mengingat dialah yang memulai perbincangan.
"Tenanglah, bukan dirimu yang bersalah. Polisi sudah menjelaskan fakta-fakta yang menjadi penyebab kecelakaan. Sopir truk itu mengemudi dalam kondisi mabuk dan dia akan dipenjara demi mempertanggungjawabkan kelalaiannya." Di depan ruang ICU, keduanya duduk sambil menangis meratapi keadaan Tenten yang belum juga sadarkan diri.
"Kalau aku tidak mengajaknya mengobrol, Tenten tidak akan ditabrak oleh truk itu dan dia pasti masih bisa duduk bersama kita saat ini." Shion tersedu-sedu. Dua jam berlalu. Namun, dia belum juga menghentikan tangisannya.
"Semuanya karena takdir, Shion. Kita tidak bisa mengelak dari kenyataan." Sambil mengusap-usap punggung temannya, Hinata memaksakan diri untuk tetap terlihat tegar di hadapan Shion. Kendati dia sendiri berupaya menekan kesedihannya supaya tidak meluap-luap.
"Bagaimana jika dia tidak bisa berjalan lagi? Lalu latihan karate? Sidang skripsinya bulan depan 'kan?" Shion lagi-lagi meraung. Fakta ini mendorong Hinata pada batas kesabarannya. Gadis itu berjalan cepat meninggalkan sahabatnya. Dia seakan hendak berlari, terburu-buru melewati koridor rumah sakit.
Kecelakaan fatal tidak terhindarkan. Shion dan Tenten sedang berjalan di trotoar sambil bersenda gurau. Saat tertawa, tanpa sengaja kedua kaki Tenten turun ke jalan. Beberapa orang berteriak mencoba memperingati agar dia menyingkir dari situ. Namun, tak seorang pun dapat menghentikan truk tersebut. Dan Tenten terpental bermeter-meter dari tempatnya. Darah berceceran ke permukaan aspal dan dia pingsan dalam keadaan tergeletak. Shion histeris, berlarian menghampiri dengan kedua lututnya yang juga mendadak lemas—terjatuh.
-----
"Something happened to you? Why are you crying?" larut malam berkunjung ke rumah orang, Hinata melupakan tata krama ketika hati dan pikirannya berkecamuk kian parah. Satu-satunya sosok yang terpikir adalah Niguel, membuat dia nekat mendatangi apartemen lelaki itu. Mukanya sembab, rambut sedikit berantakan, belum lagi gaun pendek di atas lutut. Untung dia memakai sweter, jika tidak cuaca dingin akan menarik kesadarannya di tengah jalan. Pikiran buruk itu meracuni benak Niguel, bergegas dia menarik Hinata masuk ke dalam dan mendudukkannya di sofa. "Biar kubuatkan cokelat panas untukmu, sebentar--"
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Espresso & Beauty Barista✓
ChickLit"Señorita, qué dijo? Solo pido café." Niguel menginginkan secangkir kopi, namun Hinata tak jua mengerti ucapannya. Mereka terjebak dalam perbedaan bangsa dan bahasa,namun saling jatuh cinta.