Akhir yang Bukan Akhir

238 21 8
                                    

Dengan beraninya, dia mengarang cerita muluk-muluk bahwa kami akan bersama selamanya sebagai Born to Beat. Pengarang itu. Aku memimpikannya, menangis dan bertanya mengapa aku melepaskan semua. Aku tidak bisa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi, aku membiarkan semua orang percaya apa pun yang mereka baca, dan hengkang seolah membenarkan apa yang mereka percaya, atau menentang bagi mereka yang tidak percaya.

"Kau yang mengarang cerita begitu, padahal kau tahu dunia nyata selalu tidak pasti." Aku masih ingat, bagaimana aku mengatakan hal yang membuatnya tambah menangis.

"Aku hanya percaya... kau tidak akan pergi." Suaranya serak, dia berkata di tengah tangisan yang kian meluber.

"Aku tidak kemana-mana. Aku masih di sini, sekaligus membuktikan bahwa aku bisa melebarkan sayap yang lain setelah patah. Aku malaikat, 'kan?"

Tiada sahutan, yang terdengar hanya isaknya.

"Tidak ada yang abadi, kita tidak harus selalu bersama dalam space yang sama. Seseorang bisa saja memilih jalannya masing-masing. Ingat, bahwa pasangan yang sudah terikat janji suci sekalipun bisa berpisah karena memilih jalan mereka sendiri."

"Hidup itu suka bercanda, ya?" Dia menatapku, dan aku tidak tega memandang pasang matanya yang basah. Mengapa aku juga merasakan sakit? Aku ingin bilang bahwa aku pun mengalami masa sulit, bukan hanya dia, bukan hanya mereka. Namun, dalam kondisi ini egoku meluntur.

"Hidup itu, tidak pernah lepas dari sakit, ya?" Kembali, dia mengajukan tanya yang kuyakin tidak perlu jawab. "Tapi walau kita sudah tahu hal demikian, tetap saja tidak bisa menghindar dari kesakitan, selalu masuk dalam candaan dunia yang tidak lucu."

"Kenyataan memang paling menyakitkan. 'Tidak akan ada yang bisa memisahkan', kau pernah menulis itu, bukan? Ayolah, sebaik-baiknya kau bertahan, ada saja hal yang tidak pernah terduga, ada saja orang-orang yang tidak bertanggung jawab menghancurkan orang lainnya. Aku akui memang dunia suka sebercanda itu dengan takdir kita, tapi apakah kau tidak pernah memikirkan, bahwa bisa saja hal menyakitkan adalah jalan keluar terbaik, dan punya satu makna besar?"

"Dengan kau keluar dari BTOB, akankah tidak apa-apa?"

Nyeri. Isi tanyanya mampu menikam keras-keras diriku secara utuh, tidak setengah-setengah. Mengapa sih, bukannya menjawab pertanyaan, dia malah mengganti konteks pembicaraan? Aku sebal. Sisi lain, aku teriris.

"Tidak apa-apa."

Intensitas tangisnya lebih parah dari yang tadi, dia sesengukan seolah dunianya telah berakhir. Seolah dia tidak dapat hidup lagi.

"Lalu apa yang harus kulakukan? Apaaa? Katakan APA?!"

Tercengung, agak tidak disangka-sangka bahwa dia akan berteriak. Konon, seseorang memang akan emosional jika terkait oleh sesuatu yang telah menjadi bagian dari hidupnya, sesuatu yang berpengaruh dalam perjalanan kisahnya.

Mencoba tetap tenang, aku memberikan jawaban yang membuat dia berhenti terisak.

"Memahami, menerima, dan tetap mendukung. Walau aku tidak lagi menjadi bagian BTOB, kau pikir persahabatanku dengan anggota lain yang sudah terjalin sebelum BTOB lahir juga berhenti? Anggap saja, ini sebagai bahan pemulihan diri, untukku, untuk anggota lain guna menjadi lebih baik lagi. Kita berhak menentukan pilihan, bukan? Kau juga, berhak menentukan, ingin pergi, atau tetap bersama dengan konsekuensi menerima sesuatu dari kami meski itu buruk."

Memberi hening beberapa saat, kupikir dia sudah kehabisan kata. Namun, mulutnya kembali terbuka.

"Bagiku, kau tetap bagian BTOB. Tidak peduli jika kau tidak lagi berada di panggung bersama mereka, aku akan menciptakan ilusi optik seakan-akan kau ada di atas sana. BTOB bagiku tetap tujuh. Mustahil menghilangkan namamu dalam urutan ketika fanchant. Terserah jika aku egois, memang iya. Mengapa? Seperti katamu seseorang berhak memilih, aku juga berhak menjadi egois."

By Your Side BTOB [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang