Flowing Time

231 20 24
                                    

Dengan gerak perlahan, perempuan itu menutup pintu rumah. Merasa aman, dia melangkah cepat untuk sampai pada tujuan.

Halaman yang luas, juga bangku besi bercat putih masih seperti baru. Satu laki-laki duduk di sana, kemudian mengembangkan senyum kecil kala sosok yang ditunggu akhirnya mendekat.

"Kau membuatku seperti istri yang diam-diam main di belakang suaminya tahu!" Tanpa izin, Minjoo memukul bahu kiri Ilhoon, sehingga laki-laki yang sejak tadi duduk kalem mengaduh. Kepalan tangan Minjoo tidak main-main.

"Nuna selingkuh?" Ilhoon menggoda atas balasan pukulan tadi.

"Berselingkuh denganmu," sahut Minjoo. Dia mendesis untuk menampilkan rasa kesal. "Tengah malam kau memintaku keluar rumah, aku mesti hati-hati meninggalkan kamar, belum lagi saat membuka pintu rumah."

"Kakak ipar tidak akan marah bidadarinya selingkuh bersama pria paling tampan," kata Ilhoon berkelakar. Namun, Joo cukup tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu sang adik.

"Jung yang tampan, kau belum pernah merasakan bagaimana sepatu tinggiku mengenai kepalamu, 'kan? Mau coba?" Jung Minjoo tersenyum menawan, yang artinya akan ada bagian menyakitkan. Ilhoon paham, mereka pernah berbagi tempat, dalam perut sang ibu maupun rumah. Mereka tumbuh bersama, bertengkar adalah hal wajar bagi mereka sepasang saudara.

Meski tahu ada kegundahan dalam relung si adik, Joo belum mau mempertanyakan. Biar Ilhoon sendiri yang menceritakan, biasanya begitu.

Beberapa saat setelah jenaka yang terlontar, hanya hening. Ilhoon yang tadinya menatap mata Joo—seolah berbicara melalui telepati, menyerah. Ia menunduk.

"Nuna, sudah membaca postinganku?"

Tepat. Intuisi Joo tak pernah meleset jika berhubungan soal adik satu-satunya.

"Sebelum membaca itu aku sudah tahu lebih dulu. Kenapa? Kau mau mengundurnya?"

Ilhoon menggeleng. Adalah hal tergila jika Ilhoon sampai menunda berangkat militer, anggotanya yang lain sudah lebih dulu berjuang. Ini saatnya, bukan?

"Besok, Nuna." Ilhoon masih menunduk. Beruntung bahwa kedua telinga Joo masih berfungsi secara baik, sehingga deru angin tidak mampu untuk menghalangi Joo mendengar kalimat Ilhoon.

"Seperti aku yang melepas Nuna menikah, apa yang Nuna rasakan sama?"

"Memang apa yang kau rasakan ketika melepasku menikah?" Joo bertanya balik. Itu berhasil membuat Ilhoon mendongak, menoleh arah sang kakak yang berada di samping—menghadapnya. Ilhoon selalu merasa istimewa jika Joo sudah memusatkan seluruh perhatian kepadanya.

"Ada segumpal rasa tidak rela, sedih...."

"Aku tidak merasa begitu."

Lantas helaan napas terdengar berisik dari angin—bagi Joo. "Apa begitu caramu memperlakukan adik tampanmu? Tega sekali, astaga."

Sok tersakiti, pikir Joo.

"Aku merasa bersalah sebetulnya." Ungkapan Joo berhasil memancing ribuan rasa penasaran dalam diri Ilhoon. Laki-laki itu menyimak baik-baik, memaknai tiap kata yang dilontarkan.

"Aku tidak bisa seperti penggemarmu. Iri menyerangku, mereka bisa mengekspresikan banyak kesedihan sebagai tanda bahwa mereka betul menyayangimu, tapi aku tidak bisa terlalu sedih melepasmu pergi militer. Mungkin karena aku kakakmu, atau... karena aku tahu, kau pergi untuk kembali? Dibanding satu setengah tahun yang panjang, waktumu akan lebih banyak setelah kau kembali. Itu yang kupikirkan, juga menjadi sumber rasa bersalahku."

Tatapan Ilhoon kian lekat, Joo mencair pada akhirnya. Tidak mungkin dirinya bersikap seperti es terus, bagaimana pun, Ilhoon memang membutuhkan dukungan.

By Your Side BTOB [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang