66. Burung Camar

7.7K 746 149
                                    

Azalea Ravan Arabella

Di dunia ini memang tak ada yang abadi, mau itu sesuatu yang nyata atau perasaan yang tersembunyi di relung dada. Namun keberadaan yang satu ini begitu cepat, bahkan untuk melihat bentuknya saja belum sempat. Aku hanya ingat bagaimana rasanya sesak pada perutku dan bentuk perutku yang besar.

Selama ini kami begitu dekat, sampai bisa saling mendengar detak jantung kami masing-masing. Namun kini kami begitu jauh, bahkan hanya untuk merasakan kehadiran sudah tak teraba. 

Begitu cepat rasa bahagia yang aku rasakan, hidupku memang tak pernah jauh dari kata derita. Aku sudah dipatahkan berkali-kali, berusaha untuk bangkit dan memulai hidup dari awal. Namun, untuk patah yang kali ini, aku tidak yakin apakah aku masih bisa bangkit.

Patah hati terbesar seorang ibu adalah kehilangan buah hatinya. Dia begitu berharga dari semua yang aku punya saat ini. Salah, mungkin aku tak punya siapa - siapa lagi sekarang.

Aku tahu bahwa tak pantas untuk menyalahkan mereka semua yang mungkin juga telah begitu rela merawatku. Tapi aku nggak tahu harus menyalahkan siapa untuk kehilanganku ini, karena pelaku utamanya juga telah pergi menjemput ilahi.

Satu hari sudah aku terjaga dari tidur yang rasanya sangat menyakitkan. Jika tahu bahwa bangun akan membuatku lebih sakit, aku akan berharap bahwa aku tidak pernah bangun.

Aku tidak sempat mengeluh melihat rambutku yang hilang, melihat banyak jahitan yang tentunya akan membekas dalam, merasakan tangan kiriku yang masih kaku untuk digerakkan, kepala yang masih berdenyut-denyut, serta nyeri di bagian perutku. Karena itu semua tidak sebanding dengan perginya anakku.

Memejamkan mata, berdoa bahwa sakit di tubuhku ini bisa mengantarkanku ke tempat anakku berada. Tapi sang matahari malah berlagak mengejek, dia muncul di balik tirai-tirai gorden cascades, menyinariku seperti cahaya ilahi yang menyinarkan kalbu.

Dengan getir, aku mengintip sembulan matahari yang menyilaukan di balik helaian gorden. Diam-diam penuh harapan gila bahwa aku akan melihat sebuah senyuman bayi dalam lingkaran itu.

Matahari semakin tergelincir ke atas, membuatku kembali duduk dengan lemas. Sekarang malah merasa terusik dengan cahaya matahari yang membuat silau tempat tidurku. Semakin lama semakin terasa panas. Ingin menutup gorden agar lebih rapat, tapi aku masih tak mampu untuk berdiri tegap. Apalagi berjalan.

Hingga sebuah tubuh jangkung dengan gesit melewatiku, menarik tali gorden hingga gorden itu tertutup dengan arah yang berbeda. Sinarnya tak lagi bisa mengusik. Pelaku penutup gorden berbalik, tersenyum seperti dewa. Apalagi di belakangnya masih ada untaian cahaya, tapi senyum itu malah membuatku muak.

"Selamat pagi cantik." Begitu sapaanya.

Aku menyeringai sendu. "Nggak usah memuji, aku tahu kamu jijik sama aku sekarang."

Pria mana yang menyukai wanita botak?

Dia tersenyum tipis, lalu berjalan dan duduk di depanku. "Untuk apa aku jijik sama kamu? Bukannya harusnya kamu yang begitu?"

Benar. Ingin rasanya aku berteriak di depan wajahnya bahwa aku benar-benar membencinya. Namun, melihat wajahnya yang tampak lelah dan juga tak kalah sedih, aku ikut merasa iba.

Matanya yang redup menatapku lama, membuatku merasa risih dan memalingkan wajah. Dia terkekeh lirih.

"Aku masih merasa ini mimpi karena melihat kamu membuka mata. Sesuatu yang ajaib. Kamu tahu, hampir sebulan kamu tidur. Satu bulan itu, sudah banyak prediksi dokter yang menyeramkan, tapi melihat kamu sekarang yang terbangun dengan sehat, aku paham bahwa mereka cuma manusia yang tak luput dari kesalahan. Begitu pula dengan aku Zela, dengan Galen, Raja, Sasa, Kanaya, dan kami semua."

Azalea✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang