12. Dokter Cinta

10.8K 1.2K 634
                                    

Tanganku menarik kelopak mataku yang rasanya sangat berat melihat layar komputer. Sebentar kulepaskan kacamata anti radiasiku untuk meneteskan obat yang mengandung air mata buatan di mataku. Gejala mata kering sudah biasa aku rasakan, makanya aku selalu membawa ini.

Kalau sudah parah, mataku akan merah sangking seringnya menatap layar. Ini sih salah satu resiko kerjaan aku, resiko lainnya ya seperti masalah Acha kemarin.

Ngomong-ngomong soal anak itu, sekarang dia sedang berjoget-joget ala korea di dapur. Aku selalu gak memahami jalan pikirannya yang masih terbilang sangat childish. Tubuhnya pun masih seperti anak SMA. Gak tahu gimana caranya Mas Keanu bisa nerima dia yang rata-rata dari kami sudah berpemikiran dewasa semua. Dia baru setahun bekerja di sini dengan gelar Sastra Inggris. Masih fresh graduated banget.

Gara-gara Acha juga kami yang gak kenal tentang idol-idol korea jadi ikutan suka. Kecuali aku. Tapi Mbak Maya jadi suka banget sama bias. Gak sadar apa kalau dia sudah punya anak satu dirumah. Tapi, dengan adanya Acha, suasana divisi kami terasa lebih hidup saja.

Tiba-tiba dia berlari dari arah pantry ke mejaku. Dia memberikan sepiring salad lalu mencari kursi untuk duduk dihadapanku.

"Buat ponakan Acha," ucapnya yang membuatku terkekeh. Dengan menikmati aku memakan salad buah pemberian Acha.

"Enak Cha, beli dimana?"

"Woo, enak aja beli, buat tauk! Acha tu bobok sampe malem nyari resep yang enak dan udah bangun pagi-pagi buat nyiapin salad buah buat Mbak Zel," jelasnya menggemaskan, membuatku menatapnya haru karena kebaikannya.

Tiba-tiba mata Acha berkali-kali melirik perutku membuatku merasa risih. "Disitu beneran ada bayi?" tanyanya polos.

Aku terbahak sangking tak percayanya dia bisa sepolos itu. Padahal aku tahu umurnya sudah 21 tahun, masak dia bertanya seperti anak umur 5 tahun.

"Bisa jadi isinya cuma tai, Cha," guyonku mengerjai.

Acha memberenggut. "Mbak ngidam apa? Katanya orang hamil suka ngidam? Katanya juga orang hamil suka mual. Kok Mbak gak pernah nunjukin salah satu dari itu?" tanyanya panjang.

Hmm, aku juga heran, kenapa aku gak nunjukin gejala apapun ya? Padahal sesuai hitunganku sendiri sejak ke dokter waktu lalu, ini seharusnya sudah masuk dua bulan. Apa alat test dan dokter di klinik waktu itu bohong? Bisa jadi perutku yang kini sedikit membuncit cuma karena aku tidak lancar buang air.

Aish, mikir apa aku. Harusnya aku bersyukur jika anak ini tidak merepotkanku. Lalu aku teringat Kana, dia menyuruhku untuk check-up hari ini. Kayaknya harus aku turutin.

Aku menatap Acha yang masih setia di sampingku. "Gak tahu ya, Mbak hari ini baru mau check-up resminya sih," ucapku.

"Sendiri?"

Aku melenguh. Ini tahap yang paling sedih ketika hamil tanpa suami. Pergi ke rumah sakit seorang diri. Huh, menyedihkan. "Acha aja sibuk, mana bisa nemenin Mbak," jelasku.

Bibirnya mengerecut, dia memang sibuk. "Yaudah, Acha jadi orang yang bantu ngidam Mbak Zel aja. Kalo mau apa-apa bilang sama Acha ya Mbak, atau sama yang lainnya. Jangan sungkan, oke?" ucapnya dengan senyum ceria khas Acha.

Aku mengangguk lalu membiarkan Acha yang kembali ke kubikelnya. Lalu aku melirik ruangan Mas Keanu yang pintunya tertutup rapat. Diizinin gak ya?

Aku mengetuk beberapa kali pintu rungan Mas Keanu sebelum masuk dan melihatnya yang kini sedang sibuk menatap laptop.

"Ada apa?" tanya Mas Keanu ketika aku sudah duduk dihadapannya.

"Boleh izin gak, Mas? Aku mau kerumah sakit, cek kandungan," ucapku pelan.

Azalea✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang