60. Denting EKG

7.9K 747 94
                                    

Kata orang-orang berjas putih itu, operasi berjalan dengan cukup lancar,  pendarahan bisa ditangani, tapi operasi tidak cukup ampuh untuk membuat wanitaku membuka mata.

Ada trauma di kepalanya. Aku yang hanya bisa melihat di balik dinding kaca, meratap menatapi wanita cantik yang hampir sepertiga wajahnya tertutup perban putih. Juga gips di tangan kiri untuk menahan frakturnya. Aku tidak bisa membayangkan sehebat apa benturan itu. Hanya denting alat EKG yang menunjukan kondisi stabil yang bisa membuatku cukup kuat untuk berdiri.

Anin mendekatiku, mengusap bahuku sebentar sebelum berkata sesuatu hal yang tak terdua. "Mas, Mbak Alana meninggal."

"Innalillahiwainailahirojiun," ucapku lirih. Aku mengusap wajah dengan gemetar. Dua orang dari dalam mobil itu meninggal, belum lagi korban yang lain, dan aku tidak ingin — jangan sampai Zela ikut pergi meninggalkanku.

Alana, dia wanita yang baik. Keceriaannya yang membuatku bangkit. Aku tidak pernah membencinya, walaupun sempat terbersit hari kemarin. Namun, aku lebih menyalahkan diri sendiri. Jika saja aku tidak membuat harapannya terkabul lalu aku juga yang mematahkan harapan itu, kejadian ini tidak mungkin terjadi. Ini bukan salah Alana, Azalea, mobil truk, dan jalan tol yang landai, namun ini adalah salahku yanh egois.

Aku merenung pilu menatap wajah pucat itu yang perlahan tertutup dengan kain putih. Orang tuanya menderu histeris, memeluk erat. Anin yang juga tak tahan menangis, memeluk sisi tubuhku yang kuyu.

Brankar itu didorong, beberapa orang tergopoh-gopoh mengikutinya. Ibu Alana menatapku nyalang, ada dendam di dalamnya, aku hanya bisa menunduk. Ini semua salahku. Pilihanku yanh fatal membuat banyak orang pergi.

"Saya tidak akan memaafkan kamu!" desisnya tepat di depan wajahku. Anin semakin memelukku takut. Sebelum Mama bertindak untuk membelaku, suaminya sudah lebih dulu membujuk ibu itu untuk tidak membuat masalah.

"Ya Tuhan, kenapa jadi begini." keluh Mama, menjepit kepalanya sambil berjongkok. "Kenapa cepat sekali kebahagiaan menghilang."

Semua tampak syok. Ayah Azalea termasuk orang yang sangat terpukul, dari kemarin aku tidak mendengarnya berbicara. Hanya duduk melamun, dengan air mata yang tak henti mengalir.

Di saat Anin dan Mama masih menangis, aku yang masih berdiri kuyu menghela napas panjang melihat Papa datang dengan beberapa orang berseragam.

"Selamat pagi, Pak Keanu. Bisa ikut kami sebentar? Nama Anda ada di log panggilan terakhir di ponsel korban."

Aku mengangguk, Mama mencekal tanganku takut.

Kupeluk tubuh Mama sebentar, "Aku cuma sebentar. Titip Azalea ya, Ma."

***

Proses hukum itu berjalan cukup rumit, beberapa perwakilan korban juga turut hadir, meminta keadilan dan tanggung jawab. Setelah beberapa diskusi dan negosiasi, tetap ditemukan yang salah adalah mobil yang dikendarai oleh Alana. 

Meskipun hukum tetap berjalan, untunglah para keluarga korban tidak menuntut suatu hal yang fatal, menerima proses secara kekeluargaan asal diberi kompensasi yang cukup. Itu bukan masalah besar bagi keluarga Alana, dan jelas aku dan keluarga ikut membantu membayar ganti rugi.

Aku, Papa, dan Pak Broto sudah keluar dari ruangan itu. Beliau dan papaku adalah teman baik, termasuk Pak Broto juga kolegaku, kuharap pertemanan mereka tidak akan rusak karena aku yang secara tidak langsung turut membuat putrinya meninggal.

Namun di luar dugaan, orang tua itu menepuk bahuku dua kali. Menatapku sedih. "Tolong maafkan anak saya, ya?"

"Tentu Om. Saya juga minta maaf."

Azalea✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang