• • •
"Ah...Jadi artis sama aktor itu beda ya? Baru tau gue." ucap gue yang saat ini berjalan santai bersama Erick sesuai permintaan dia pas awal masuk tadi.
Erick mengangguk. "Bokap lo kan vocal coach. Masa lo nggak tau bedanya apa?" ujarnya yang gue tanggepin dengan gelengan kepala.
"Gue nggak pernah mau belajar dari apa yang keluarga gue kerjain. Makanya gue nggak tau apa-apa." ucap gue jujur mengingat keluarga gue yang punya bakat masing-masing dan terkadang fokus pada bakat mereka hingga pada akhirnya mengabaikan gue yang selalu punya waktu luang.
Tapi walau begitu gue tetep sayang sama keluarga gue. Apalagi Bang Dirga. Dia yang paling peduli di banding Emak sama Bapak gue sendiri. Dia selalu ada buat gue saat gue butuh, bahkan susah senang pun selalu bareng waktu dulu. Kalo sekarang sih udah agak jarang, selain karena semester Bang Dirga yang udah bertambah tinggi. Kesibukannya menulis novel membuatnya jarang keluar dari kamarnya.
"Nah disini nih perpustakaannya. Lo kalo mau baca-baca bisa kesini. Emang agak jauh sih jaraknya dari kelas kita. Tapi kalo niat mah pasti mau-mau aja kesini." ucap gue setelah langkah gue udah menginjak ke perpustakaan.
Erick nggak membalas ucapan gue dan sedang menatap sekitar perpustakaan yang terlihat sepi dan hanya di datangi oleh para kutu buku yang mengincar nilai tinggi.
"Mau masuk?" tawar gue padanya karena dirinya terlihat sangat tertarik sama ruangan itu.
Tapi tiba-tiba ingatan gue langsung mengarah akan kejadian dimana gue jatoh dari tangga dan meyebabkan Daniel pingsan selama satu jam. Mengingatnya ngebuat gue menggeleng pelan lalu menepuk bahu Erick untuk menyadarkannya dari fokusnya.
"Ayo kita lanjut. Waktu istirahatnya sisa 10 menit lagi." ucap gue.
"Tapi lo tadi nawarin gue buat masuk." balasnya.
"Tadi gue belum liat jam. Dan lupa kalo masih banyak yang belum gue tunjukin ke elo, termasuk gudang untuk ngambil meja sama kursi lo nanti." ujar gue padanya, lalu tanpa menunggunya gue berjalan lebih dulu dengan langkah sedikit cepat.
"Ayo!" ajak gue yang udah berjarak beberapa langkah dari posisi Erick berada.
Erick terlihat berpikir sebentar, namun setelahnya dia berlari kecil menyusul gue untuk melanjutkan tur sekolah yang kembali gue mulai dari ruang guru, kantin, uks, dan lainnya. Sampai akhirnya bel masuk berbunyi, gue dan Erick mempercepat langkah kami untuk menuju gudang yang jaraknya sudah dekat.
Gue masuk lebih dulu, dan menekan sakelar lampu untuk menyalakannya karena gudang itu terlihat gelap saat gue masuk tadi. Setelah lampu menyala, gue bisa melihat dengan jelas apa saja isi gudang itu yang terlihat sangat rapi dan bersih dibanding beberapa waktu yang lalu saat gue mampir kesini untuk mengambil kursi baru.
"Nah itu meja sama kursinya." unjuk gue setelah menangkap dua benda yang gue cari yang ternyata terletak di pojok kiri dan hanya tersisa dua pasang aja.
Erick berjalan mendahului gue untuk mendekati meja itu yang terlihat baru, hanya saja ada sebagian debu yang menempel di atasnya sehingga Erick dengan mudahnya mengelap debu itu menggunakan telapak tangannya. Gue yang melihat itu berkerut jijik karena gue nggak pernah melakukan hal itu sama sekali seumur hidup gue.
"Bisa-bisanya lo ngelap debu sebanyak itu pake tangan." ucap gue begitu melihat telapak tangannya yang kotor dan penuh debu.
"Nggak ada waktu lagi. Kita udah 3 menit ngabisin waktu di gudang daripada buang-buang waktu buat ngelap, lebih cepet begini kan?" ucapnya yang gue balas dengan gelengan kepala nggak habis pikir dengan jalan pikirannya yang sangat menghemat waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me and That Fakboy [END]
Teen FictionIntinya, gue benci sama cowok yang namanya Daniel. Si Fakboy sialan yang hobinya nikung gebetan gue! Anjing kata gue teh! • • •