Hari ini Daniel masih nggak masuk sekolah. Kursinya masih kosong dan ditempati oleh murid lainnya yang sudah dari beberapa hari kemarin menempati kursi itu. Dan hari ini pula pengumuman kalo Erick akan kembali melakukan pindah sekolah yang nggak gue tau apa penyebabnya karena Erick pun nggak masuk sekolah hari ini karena dia udah pindah ke sekolah yang lain.
"Daniel masih sakit, Vin?" tanya Reno begitu setelah melirik ke belakang. Gue mengangguk sambil ikut melirik ke kursi itu.
"Sebenarnya udah sembuh. Cuma dia bilang masih lemes, terus lidahnya pahit. Jadi ya dia masih izin." jelas gue. Kini giliran Reno yang mengangguk paham. Setelah itu ia merogoh saku celananya untuk meraih ponselnya untuk membaca pesan yang nggak gue tau apa isinya karena Reno langsung menutupi ponselnya agar hamya dia yang bisa membacanya.
"Cih. Pacar aja nomor satu. Gue selalu di nomor dua in." cibir gue melihatnya fokus mengetikkan balasan pesan itu.
Reno melirik ke arah gue sebentar lalu membalas ucapan gue.
"Dimana-mana kalo udah punya pacar pasti prioritasin pacarnya lah. Makanya jangan jomblo mulu." balasnya yang kali ini nggak mempan untuk gue mengingat kejadian semalem saat Daniel mengungkapkan perasaannya.
Gue sebenernya nggak bisa tidur tadi malem karena terus kepikiran. Bukan kepikiran sama perasaan Daniel, melainkan perasaan gue sendiri yang merasa bingung akan semua yang terjadi. Gue bener-bener nggak nyangkan Daniel bakal ngasih penjelasan di luar dugaan gue. Bahkan setelah semua yang dia lakukan ke gue semuanya beralasan dan gue udah dapat jawabannya.
Gue merasa puas dengan jawabannya. Tapi itu nggak menutup kemungkinan kali gue juga bingung sama diri gue yang menerima semua kenyataan itu. Ok, gue akuin, gue suka saat gue ciuman sama Daniel semalem. Bahkan sebelum gue pamit pulang kita ciuman lagi. Tapi di hati gue bener-bener bimbang. Bukan karena ciuman, tapi karena bimbang tentang apa yang harus gue lakukan setelahnya.
Gue nggak pernah pacaran jadi gue nggak tau langkah-langkah yang harus gue ambil untuk meyakinkan gue sendiri akan perasaan gue terhadap Daniel.
"Kok diem. Lo sakit hati?" celetuk Reno yang menyadarkan gue dari lamunan tentang Daniel. Gue menoleh ke arahnya dan kemudian menggeleng pelan.
Tapi karena gue butuh seseorang buat bantu masalah gue saat ini gue pun memutuskan untuk bercerita dan minta pendapat pada Reno walaupun harus sedikit mengubah cerita yang gue alami.
"Ren. Misalnya nih ya. Ada orang yang nyatain perasaannya ke elo dan lo udah kenal lama sama dia. Tapi elo bingung harus nanggepinnya gimana karena elo pun anggep dia sebelumnya cuma sebatas kenalan. Istilahnya kayak secret admirer yang nunjukin wujudnya lah. Apa yang bakal lo lakuin selanjutnya?" tanya gue pada Reno.
Reno terlihat berpikir lalu kemudian menjawab.
"Tergantung perasaan kita sih. Tapi kalo posisinya bingung, lo juga bakal bingung buat mastiin perasaan lo sendiri. Lagian siapa sih yabg nggak bingung sama orang yang tiba-tiba ungkapin perasaan padahal kita pun nggak terlalu kenal sama mereka." ucapnya yang nggak membantu sama sekali.
"Bukannya nggak kenal sih. Udah kenal lama, banget malahan. Tapi tanpa ada sinyal apapun dia tiba-tiba ungkapin perasaannya." ujar gue yang masih kurang puas akan penjelasannya.
"Daniel udah nembak elo!? Eh." ucap Reno yang dengan cepat membungkam mulutnya dengan tangannya sendiri yang ngebuat gue bingung sekaligus curiga dengan apa yang barusan keluar dari mulutnya.
"Reno...." ucap gue sambil memicingkan mata gue curiga sambil mendekatkan wajah gue dengan niat mengintimidasinya yang kayaknya berhasil karena saat ini Reno terlihat panik dengan mata yang enggan menatap langsung ke arah gue.
"Lo tau sesuatu yaa..." tambah gue yang membuatnya bertambah gerah dengan keringat yang sudah keluar di dahinya.
"WOY! GUE PUNYA BERITA PENTING!!" teriak seseorang tiba-tiba. Membuat gue langsung menjauh dari Reno dan menoleh ke asal suara yang terdapat seorang siswa yang berdiri di ambang pintu dengan napas yang tersengal-sengal.
"Apa?" sahut salah satu murid yang ada di kelas.
Murid yang berdiri itu mengatur napasnya perlahan lalu kemudian berkata dengan lantang dan keras.
"AZNAN SAMA DION RESMI JADIAN!!! MEREKA BERDUA HOMO GAES!!" teriaknya yang membuat jantung gue hampir berhenti mendengar berita itu yang tepat mengenai hati gue setelah mendengar kata homo yang di ucapkan murid itu.
Iya! Kenapa gue nggak sadar kalo semua yang Daniel lakukan itu menjurus ke arah sana? Dan malah gue dengan mudahnya tergoda dan merasa senang dengan ciuman itu padahal udah jelas itu sesuatu yang salah dan nggak seharusnya terjadi!
"Seriusan!?" balas Reno di samping gue yang dengan cepat keluar dari kursinya dan menghampiri murid itu bersamaan dengan murid lainnya dengan rasa penasaran yang mereka punya.
Gue pun sebenarnya penasaran juga. Tapi mengingat kondisi gue yang nggak jauh beda sama berita yang baru aja gue dengar ngebuat gue nggak semangat dengan otak gue yang beban pikirannya bertambah berat. Sehingga membuat gue diam ditempat dan murung seharian sampai pulang sekolah dan gue hanya mendep di kamar tanpa ingin di ganggu siapapun. Termasuk Daniel yang tadi berusaha masuk dengan mengetuk pintu kamar gue dan juga dari pintu balkon yang udah gue kunci rapet.
Ini nggak benar! Perasaan Daniel nggak benar! Bahkan semua yang gue lakukan kemarin itu nggak benar!
Gue mengutuk diri gue sendiri karena telah melakukan hal bodoh yang membuat gue sangat pusing saat ini. Perasaan bingung yang gue rasakan beberapa jam yang lalu kini tergantikan dengan rasa takut kalo-kalo keluarga gue mengetahui semua fakta yang udah gue lakuin sama Daniel semalem.
Ciuman?
Itu membuat gue bergetar sekarang. Gue yang sedari tadi mendep di kamar dengan posisi miring dengan selimut yang sepenuhnya menutupi tubuh gue kini membuat gue memiliki sindrom ketakutan berlebih. Entahlah gue nggak tau sebutan yang bener apa, tapi yang jelas gue takut menemui orang-orang diluar sana mengingat semua cemoohan yang beberapa murid di sekolah berikan pada pasangan gay yang baru saja jadian karena surat cinta yang nggak gue tau apa isinya. Yang jelas itu membuat heboh satu sekolah.
Tapi beberapa menit berlalu gue merasa pengap dan akhirnya menyibakkan selimut yang menutupi tubuh gue dan menghirup napas banyak-banyak karena rasa sesak yang gue rasakan. Setelah itu pikian gue tertuju pada satu orang yang saat ini mungkin bisa membantu gue untuk keluar dari masalah yang membuat gue hampir gila sekarang.
Siapa lagi kalo bukan Bang Dirga. Gue butuh pencerahannya sekarang, apapun yang dia katakan nanti, mencela gue lah, memaki gue lah, apapun itu. Gue akan menerimanya, asalkan dirinya bisa membantu gue yang udah nggak tahan memikirkan segala kemungkinan jika perasaan Daniel ke gue terus berlangsung.
Jadi dengan begitu gue dengan cepat membuka pintu kamar gue dan keluar dari sana untuk menuju kamar Bang Dirga yang jaraknya beberapa meter dari samping kamar gue. Gue mencoba mengetuk pintunya, tapi nggak ada jawaban apapun disana. Karena gue udah merasa kalo Bang Dirga nggak menyembunyikan apapun di kamarnya, gue dengan mudah membuka kamarnya yang ternyata nggak terkunci.
Gue membuka sedikit pintu itu dan melihat isi dalam pintu kamar Bang Dirga yang terlihat gelap dan hanya terdapat sedikit cahaya yang terpancar dari arah meja belajarnya yang mana cahaya itu berasal dari laptop miliknya.
Awalnya gue pikir Bang Dirga nggak ada dikamarnya dan turun ke bawah dan gue pun berniat kembali menutup pintu kamar itu. Tapi setelah gue mendengar suara yang aneh yang berasal dari laptop dengan suara orang yang gue kenal, membuat gue mengurungkan niat gue dan malah masuk ke dalam dengan rasa penasaran tinggi untuk menuju laptop itu.
Dan saat gue udah sampai tepat di depan laptop Bang Dirga gue melotot kaget begitu melihat layar laptopnya yang menampilkan sosok orang yang sangat gue kenal.
"Ayy, udah kencingnyahh??" ucap Reno dengan suara yang dibuat mendesah dengan dirinya yang telanjang bulat di layar laptop milik Bang Dirga.
• • •
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Me and That Fakboy [END]
Fiksi RemajaIntinya, gue benci sama cowok yang namanya Daniel. Si Fakboy sialan yang hobinya nikung gebetan gue! Anjing kata gue teh! • • •