Chapter 2

13.5K 1.4K 16
                                    

• • •

Malem ini rumah gue lagi rame.

Ya seperti yang gue bilang sebelumnya. Bang Dirga punya kabar bahagia yang udah disebarluaskan ke seluruh warga komplek, yang akhirnya membuat semua orang berdatangan untuk merayakan hari pertama buku Bang Dirga masuk best seller di gramedia.

Gue nggak tau Bang Dirga bisa jadi penulis handal kayak gitu, gue juga pun nggak mau tau. Tapi yang jelas, saat ini gue nggak mau keluar kamar dan ikut bergabung sama Ibu-ibu atau Bapak-bapak yang dari kamar gue aja kedengaran pembicaraan apa yang mereka lakukan.

Apalagi kalo bukan banding-bandingin anak-anak mereka. Gue yang tadinya ambil air minum di dapur sempet denger cowok-cowok yang umurnya sama kayak Bang Dirga pada di bandingin, kalo mereka harusnya kayak Bang Dirga yang bisa jadi penulis best seller selagi dirinya kuliah yang sudah menginjak semester 6.

Gue yang dengernya aja udah males banget. Apalagi para Abang-abang yang ucapan itu mengarah langsung ke mereka. Pasti jleb banget tuh.

Bukan cuma itu sih alasan gue ngurung diri dikamar dan nyanyi-nyanyi nggak jelas. Tapi karena Daniel juga disana. Mereka sekeluarga ikut kumpul dan ngobrol-ngobrol nggak jelas yang nggak mau gue tau omongan apa yang mereka bahas.

Daniel sempet ngeliat gue pas gue ke dapur tadi. Dan dia juga yang bikin gue di panggil Emak untuk memberi salam ke tetangga-tetangga yang tentu aja mandang gue sebelah mata.

Gue pernah sekali denger percakapan mereka waktu mau berangkat sekolah yang nyindir gue nggak ada bakat sama sekali padahal keluarga gue semuanya memiliki bakat yang ngebuat nama mereka di kenal. Misalnya Emak. Emak gue punya bakat ngerancang baju. Baju-baju yang di rancang  pun udah masuk iklan dan peminatnya banyak.

Sedangkan Bapak gue seorang guru vokal. Yang mana namanya udah di pake untuk mengajar peserta-peserta karantina yang ikut ajang pencarian bakat di tv. Dan terakhir Abang gue, sekarang dia udah keliatan bakatnya jadi penulis dengan bukti bukunya yang masuk best seller di toko buku yang katanya bakal di lirik untuk dijadikan film.

Nah gue? Gue nggak bisa apa-apa cuy.

Sakit emang. Tapi gue menerima diri gue apa adanya. Gue nggak mau ambil pusing dan memaksakan diri agar gue memiliki bakat. Lagian keluarga gue pun nggak ada yang masalahin kok. Tetangga aja yang ribet. Jadi dengan begitu gue memilih mengabaikan mereka dan menjalani hidup gue dengan nyaman. Selagi keluarga gue punya bakat, gue bisa menikmati hasil mereka. Toh gue salah satu dari golongan darah yang mereka punya.

Ketukan pintu yang kuat membuat gue mengecilkan volume musik yang gue putar. Setelah itu gue beranjak dari kasur gue untuk berjalan kesana dan membuka pintu yang ternyata adalah sosok Bang Dirga yang mengenakan pakaian rapi yang sayangnya nggak ada keliatan muka-muka seorang penulis sama sekali.

"Kenapa?" tanya gue. Dengan nada malas tentu saja.

Bang Dirga nggak menjawab. Dia malah merogoh saku celananya, lalu kemudian menyerahkan secarik kertas ke arah gue yang mengerutkan dahi gue melihatnya tanpa berniat mengambilnya.

"Apaan tuh." ujar gue curiga.

Bang Dirga meraih tangan gue untuk membuka telapak tangan gue dan akhirnya menaruh kertas tersebut disana.

"Ini. Tadi Angga ngasih gue nomor cewek cantik. Dia bilang, cewek itu seumuran sama elo. Jadi gue pikir lo bakalan butuh ini untuk gantiin gebetan lo yang direbut." ujarnya dengan suara berbisik.

Gue menaikkan satu alis gue menatapnya.

"Cewek cantik? Lebih cantik dari Fina?" tanya gue padanya. Bang Dirga mengangguk.

Me and That Fakboy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang