Sudah tiga hari semenjak kejadian Daniel nggak sadarkan diri di gedung tempat apartemen Erick berada.
Dan udah tiga hari juga gue jadi pengurus segala sesuatu kebutuhan Daniel selama dia sakit karena paksaan Emak yang menyuruh gue mengurusnya dengan alasan kalau gue lah penyebab dirinya demam dan nggak masuk beberapa hari.
Gue sih oke-oke aja awalnya. Daniel pun nggak minta yang muluk-muluk selama gue ngurusin dia. Paling yang dia minta cuma makan, minum obat, bantuin ke wc dan hal-hal kecil lainnya. Ya itu saat hari pertama gue jadi baby sitter dia. Di hari kedua sifat aslinya udah kembali muncul dan niat awal gue untuk ngurusin dia berubah menjadi babu yang selalu dia suruh setiap menitnya.
Gue nggak ngerti apa maksud dia jadiin gue babu kayak gitu. Nyuruh gue masaklah, nyuci bajunya lah, ngepel lah, apa segala macem yang bikin gue capek dan ngeluarin keringat berlebih. Gue tau kalo orang tua dia tuh lagi pergi dan nggak tau kapan pulang. Tapi seenggaknya nggak bikin gue capek yang mungkin berakhir trauma nanti.
Ya tapi untungnya hal itu terjadi selama hari kedua Daniel sakit aja. Karena di hari ketiga ini Daniel kembali menjadi Daniel yang lemah karena demam yang tadinya sempat membaik kembali parah dan menyebabkan dirinya hanya bisa terbaring lemah di kasurnya dengan mata yang terpejam.
Melihatnya kayak gitu ngebuat kasihan dan akhirnya hanya duduk di sampingnya sambil memandangi wajahnya yang sedikit pucat.
"Makanya kalo udah mendingan tuh jangan banyak tingkah. Kena akibatnya kan." ucap gue pelan, masih merasa kesal walaupun melihatnya terbaring lemah kayak gitu.
Tidak ada balasan darinya. Hanya deru napas yang teratur yang terdengar jelas di kamarnya yang sunyi. Menyadarinya ngebuat gue menghela napas lalu melihat kesekitar kamar Daniel yang terlihat aneh karena ada beberapa bagian dinding yang terlihat terang seperti bekas sesuatu yang tertempel disana.
Nggak mau banyak pikiran untuk memikirkan apa saja yang sudah tertempel disana. Gue pun memutuskan untuk berdiri dari duduk gue setelah merasa lapar menyerang di tambah dengan leher gue yang terasa kering.
Tapi baru aja gue mau berbalik untuk meninggalkan kamar Daniel. Tangan gue tiba-tiba ditahan oleh tangan Daniel yang saat ini sudah membuka matanya menatap gue dengan tatapannya yang sayu.
"Lo mau kemana?" tanya dengan suara yang serak. Dari genggamannya pada tangan gue, gue bisa merasakan hangat tubuhnya hanya dengan genggaman itu.
"Gue mau balik dulu. Mau makan, abis itu gue kesini lagi. Nggak lama kok." ucap gue padanya dan melepaskan genggamannya perlahan.
"Makan disini aja, Vin." ucapnya pelan, sambil memasukkan kembali tangannya ke dalam selimut.
"Iya. Itu maksud gue. Gue mau ambil makanan di rumah, terus gue bawa kesini." balas gue padanya. Namun dia membalasnya dengan gelengan kepala.
"Kenapa geleng-geleng?" tanya gue nggak paham.
"Jangan pergi. Gue nggak mau sendirian disini. Makannya nanti aja ya, kalo gue udah pules tidurnya." ucapnya dengan suara yang sangat membuat gue prihatin.
Gue yang mendengar itu pun akhirnya kembali duduk dan memandangnya yang juga turut memandang gue.
"Kenapa ngeliatin gue? Tidur gih. Udah malem juga ini." ujar gue padanya.
Daniel kembali menggeleng pelan. "Gue takut lo pergi nanti pas gue tidur." ucapnya yang ngebuat gue bingung.
"Gimana sih. Tadi lo bilang nunggu sampe lo pules tidurnya, sekarang malah takut gue pergi kalo lo udah tidur. Jadi maksud lo gue nggak boleh makan gitu?" ucap gue yang mulai terbawa emosi dengan segala keinginannya.
"Bukan gitu maksud gue, Vin." ujarnya.
"Udah lah. Males gue. Gue mau pulang." ucap gue akhirnya memilih untuk beridri dari duduk gue dan berjalan dengan langkah cepat untuk pergi dari sana.
Gue mencak-mencak sambil memaki Daniel yang seenaknya memerintah gue yang bahkan itu merugikan gue. Gue udah capek-capek ngurusin dia, eh pas gue mau izin makan dia nggak izinin. Manusia macam apa dia. Nggak ada rasa terima kasihnya sama sekali.
Gue menghembuskan napas gue kasar begitu merasakan tangan Daniel yang kembali menahan gue sat hendak menekan knop pintu rumahnya. Gue berbalik dengan cepat lalu dengan sedikit amarah gue berkata.
"Apa!?" ucap gue padanya.
"Jangan pergi." balasnya dengan wajah lemas dan tatapannya yang masih sayu.
"Nggak bisa, Niel. Gue laper. Lo tau nggak artinya laper?" Daniel mengangguk menjawabnya.
"Nah makanya! Nggak lama kok, paling 10 menit atau paling lama 20 menit. Udah lah. Emang kenapa sih lo sampe ngelarang gue!?" geram gue padanya.
"Gue nggak mau lo pergi ninggalin gue sendirian disini." ucapnya.
"Dih, apaan lo. Kayak nggak pernah sendirian aja. Udah ah, jangan bikin gue emosi beneran dan berakhir nggak mau ngurusin lo lagi." ujar gue lalu segera melepaskan genggaman tangannya pada lengan gue, setelahnya gue memegang daun pintu tersebut sebelum akhirnya mendengar ucapan Daniel yang berkata.
"Gue mau minta permintaan terakhir gue, Vin." ucapnya yang ngebuat gue menarik napas dan menghembuskannya perlahan mencoba sabar karena untuk kesekian kalinya gue menunda niat gue untuk makan.
Gue berbalik untuk menghadapnya lalu menatapnya malas sambil berkata.
"Kalo lo minta gue untuk nggak makan dan nemenin lo semaleman. Maaf gue nggak bisa, gue lebih mentingin perut di banding permintaan lo yang nggak ada apa-apanya." ucap gue yang udah menduga permintaan yang akan diucapkannya.
Daniel menggeleng pelan yang ngebuat gue menaikkan satu alis gue menatapnya.
"Bukan itu, Vin." ujarnya dengan saru langkah mendekat ke arah gue sehingga saat ini jarak antara dengannya hanya beberapa sentimeter aja.
"Permintaan gue adalah, gue mau elo nyium gue selama 3 menit di bibir." ucapnya memajukan sedikit bibirnya.
Mendengarnya, entah kenapa ngebuat jantung gue berdebar. Apalagi Daniel lebih memperpendek jarak antara wajahnya dan wajah gue dan hanya beberapa senti lagi bibirnya menyentuh bibir gue sebelum akhirnya gue mendorong tubuhnya menjauh untuk kemudian menggeleng pelan sambil menutupi mulut gue.
"Kenapa, Vin?" tanya Daniel terlihat bingung namun terdengar kecewa.
"G-gue belum makan! Mulut gue pasti bau." ucap gue cepat.
Daniel tertawa kecil mendengar alasan gue barusan yang berbalik jadi gue yang bingung menatapnya dan sedikit tersinggung karena berpikir Daniel mengejek gue dengan tawaannya itu dan permintaannya adalah candaannya saja.
"Nggak lucu tau nggak!" marah gue yang udah kembali membuka tangan gue yang menutupi mulut gue tadi, lalu setelahnya dengan perasaan kesal gue berbalik untuk menekan kenop pintu yang membuat pintu itu terbuka sedikit
"Gue pikir lo bakal nolak permintaan gue. Ternyata alasan cuma itu." ucapnya sambil dengan tangannya yang menarik gue kuat sehingga membuat gue langsung berbalik kembali padanya dan membuat tubuh gue menempel pada tubuhnya yang terasa hangat dengan wajah yang jaraknya sangat dekat. Dan detik berikutnya bisa gue rasakan benda kenyal menyentuh bibir gue dan melumatnya perlahan.
Sementara gue yang menerima perlakuan itu merasakan jantung gue yang berdetak kencang sambil memperhatikan Daniel yang kini sudah memejamkan matanya dengan bibir yang terus melumat bibir gue sampai beberapa detik kemudian Daniel melepaskan tautan bibirnya untuk mengucapkan kalimat yang membuat wajah gue panas mendengarnya.
"Gue suka sama elo, Vin." ucapnya yang kemudian kembali mencium gue dan melumat bibir gue dengan gerakan yang lebih cepat dan terasa sangat sensual yang menimbulkan perasaan menggelitik di perut gue. Membuat gue yang merasakannya terhanyut hingga akhirnya ikut terpejam untuk membalas ciuman itu dan melumatnya mengikuti permainan Daniel yang terasa menyenangkan.
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me and That Fakboy [END]
Fiksi RemajaIntinya, gue benci sama cowok yang namanya Daniel. Si Fakboy sialan yang hobinya nikung gebetan gue! Anjing kata gue teh! • • •