[Baru pulang?] Pesan singkat dari Bae kuterima sesaat setelah aku sampai di kamar. Melirik ke arah rumah Bae, terlihat mobilnya sudah terparkir di garasi, sementara lampu kamarnya juga masih menyala.
Mungkin dia sedang mengawasiku dan tahu bahwa aku baru saja pulang.[Ya.] Aku memilih untuk menjawab singkat.
[Aku ada di kolam renang.] Seolah itu adalah kode untuk memintaku datang ke sana. Mungkin ia ingin nanya-nanya hasil pertemuanku dengan Daniel?
Terdiam sejenak, akhirnya aku memilih untuk membalas:
[Besok aja ya ketemuan lagi. Aku capek. Mau cepet-cepet tidur.]Lalu ponsel kumatikan. Kulempar benda pipih itu ke atas meja. Setelah sempat mengacak-acak rambut karena frustrasi, aku menghempaskan tubuhku ke kasur kemudian menutup kepala dengan bantal. Malas membersihkan muka, malas ganti baju, malas ngapa-ngapain.
***
Aku bangun dengan megap-megap, nyaris kehabisan napas, sementara Mas Aron yang berada di sisiku cuma terkikik geli. Lagi, hari ini ia membangunkanku dengan memencet hidung.
"Maasss!" teriakku jengkel sembari memukul punggungnya. Pria itu menatapku dengan saksama. Mungkin heran karena aku tidur masih menggunakan baju kerja. Bahkan mungkin masih ada sisa-sisa Make-Up di wajah. Foundation luntur, maskara belepotan, lipstick pudar, ah, sudah bisa kubayangkan bagaimana keadaanku. Pasti mengerikan.
"Capek banget ya kayaknya. Atau suntuk? Bingung? Merana? Sakit hati? Atau justru udah patah hati?" Menanggapi bibirnya yang nyerocos, sebuah pukulan kembali kusarangkan ke pundaknya. Ia malah terkikik geli.
"Mas sendiri, cerah banget mukanya. Terapi pake lampu neon seratus watt, ya?" ucapku sebal sembari bangkit. Memeriksa wajahku sendiri sekilas ke cermin, astaga, tepat seperti dugaanku. Ditambah dengan sisa-sisa iler di pipi. Ya, Gusti. Gini kok mimpi jadi istrinya si Bae.
"Aku udah baikan dengan Elsa. Hubungan kami udah kembali mesra, dan tambah lengket." Mas Aron menjawab. Aku berbalik menatapnya dengan perasaan lega. "Syukurlah. Terus?"
"Kami sudah banyak berdiskusi, bicara dari hati ke hati, dan yeah, tetap semangat meraih restu dari sang papi. Uyey." Kali ini ia berbicara dengan sangat ekspresif.
Melihat ekspresinya yang seperti itu, entah kenapa aku ikut merasa lega.
"Jadi kalau andai orang tuanya Elsa tetep nggak setuju kalian nikah dalam waktu dekat, Mas bersedia nunggu?" ucapku, sembari menyapukan kapas berisi Micellar Water ke wajah.
"Yang penting kami tetap berusaha untuk meraih restu Papinya agar bisa menikah cepet. Tapi andaikan nggak bersedia, ya nggak apa-apa. Aku bersedia menunggu seumur hidup demi Elsa. Tubuhku mungkin makin menua, tapi cintaku tetap menggelora layaknya anak muda."
"Heleh," jawabku.
"Kamu sendiri?"
Aku buru-buru membuang muka mendengar pertanyaan itu.
"Lea gimana? Udah ada kemajuan?"
Aku berjingkat. "Mau mandi dulu." Buru-buru berlalu.
"Zoya...." Mas Aron memanggil. "Ih, curang. Aku kan udah curhat."
Dan aku tetap ngacir tanpa menghiraukan teriakannya.
***
Aku melambaikan tangan ketika bocah itu terlihat keluar dari pintu gerbang.
Lea sempat tertegun sejenak, tapi akhirnya ia melangkah mendekatiku."Papi nggak bisa jemput lagi, ya? Ada rapat mendadak lagi, ya?" Ia bertanya polos.
Aku mengangguk. "Papimu nitip maaf. Besok, janji dijemput, deh. Yuk." Aku menjawab sabar sembari membantunya membawa tas sekolah yang lumayan berat. Lagi-lagi hari ini aku berinisiatif menjemput Lea setelah sebelumnya memberi tahu Bae akan hal ini.
Terinspirasi dari Mas Aron yang tak lelah memperjuangkan restunya, aku pun begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sexy Daddy
RomanceBersahabat dengan Abay Wesley sejak kecil, tak pernah terbersit sedikitpun di benakku bahwa aku akan menganggapnya istimewa. Bukan sekedar istimewa sebagai seorang sahabat, tapi istimewa sebagai ... lelaki. Ketika dia memutuskan menikah dan pindah...