“Kok bisa?” tanyaku lagi. Jemariku gemetar karena ikut panik.
“Lea ada di jam pagi. Tapi setelah istirahat pertama, ia tak muncul di kelas. Dicari di seluruh sekolah juga nggak ada. Sekarang aku sedang meluncur ke sana.” Suara Bae gemetar lagi, membuat diriku semakin khawatir.
“Aku ke sana juga.” Menutup pembicaraan dengan cepat, aku tergesa melangkah.
“Ada apa?” Daniel bertanya sembari mengikuti langkahku.
“Lea hilang dari sekolah,” jawabku cepat. Dan pria itu di sisiku itu tampak syok. “What?”
Kami bergegas menuju lift dengan tak sabarn, menanti benda itu membawa kami ke lantai satu. Setelah pintu terbuka, kami menghambur, berlarian menyusuri koridor menuju lobi. Kami nyaris mencapai pintu keluar ketika panggilan itu terdengar.
“Tante!”
Aku dan Daniel menoleh sambil menghentikan langkah. Dan sekian detik kemudian, kami terbelalak, kaget. Di salah satu kursi ruang lobi, bocah itu berdiri dengan air mata berderaian dan sesenggukan. Seorang pria paruh baya ada di sisinya, menggandeng tangannya dengan sikap protektif.
“Lea!” Aku memekik. Tanpa menunggu lebih lama, aku yang berlari dan menghambur lebih dulu ke arahnya. Tanpa tahu apa yang terjadi padanya, tangis bocah itu melengking.
“Ya Tuhan, kamu kenapa? Kok bisa sampai di sini? Ada apa, Sayang?” Aku memeluknya erat, lalu menatapnya haru dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Kamu nggak apa-apa, kan? Ada masalah? Ada yang sakit? Ada yang luka?” tanyaku berturut.
“Tanteeee, tolongin Papiii!” tangis Lea masih meraung.
Aku menelan ludah. Menatap Lea dengan ekspresi cemas. “Papimu kenapa?” Aku nyaris berteriak histeris. Membayangkan hal buruk menimpa lelaki itu.
“Papi nangisin Tante terus. Setiap malam dia nangis sambil ngelihatan poto tante di layar komputer. Tolongin Papi, Tanteee...! Aku nggak mau Papi begitu terus. Kasihaaann....”
Tangis Lea kembali meledak, membuat suaranya terdengar jelas bagi orang-orang yang sedang ada di ruang lobi.Aku ternganga. Heh?
Menatap sekeliling, tampak orang-orang tengah memperhatikan kami. Daniel nyaris terbahak. Aku sendiri bingung antara mau menangis haru atau tertawa.“Saya sopir taksi, Mbak. Tadi saya menemukan anak ini menangis sendirian di pinggir trotoar.” Pria yang berdiri di sisi Lea menjawab. “Saya tanya ada apa? Katanya dia ingin ketemu tantenya. Terus minta di antarkan ke sini. Tadi sempat muter-muter lama, Mbak. Dia nggak hafal jalan. Untung dia hafal nama Tantenya dan tempat kerjanya. Akhirnya dibantu teman-teman sopir taksi lain, saya bisa mengantarkan sampai sini.” Ia melanjutkan.
Aku bangkit. “Makasih ya, Pak, sudah mengantarkan keponakan saya sampai di sini.” Aku berucap tulus dengan penuh rasa syukur. Membayangkan andai Lea bertemu orang jahat, entah apa jadinya diriku.
“Ongkosnya habis berapa, Pak?” Aku mengambil dompet di tas dan mengambil beberapa lembar uang ratusan. Ketika Pak Sopir mengungkapkan besarnya tarif, aku berniat membayarnya dua kali lipat. Sebagai ungkapan terima kasih karena ia telah mengantarkan Lea ke sini sampai selamat. Sayangnya, Pak Sopir menolak dengan sopan. “Nggak apa, Mbak. Yang penting anak ini sudah ketemu keluarganya. Saya lega.” Ia menolak dengan sopan lalu pamit.
Aku kembali memeluk Lea dengan haru lalu membawanya ke ruanganku. Melihat diriku yang keapayahan, Daniel meraih Lea lalu menggendongnya. “Kamu habis sakit. Biar aku saja yang gendong,” ucapnya.
Dalam perjalanan menuju kantorku, aku mengirimkan pesan pada Bae, memberitahunya bahwa sekarang Lea aman bersamaku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sexy Daddy
RomanceBersahabat dengan Abay Wesley sejak kecil, tak pernah terbersit sedikitpun di benakku bahwa aku akan menganggapnya istimewa. Bukan sekedar istimewa sebagai seorang sahabat, tapi istimewa sebagai ... lelaki. Ketika dia memutuskan menikah dan pindah...