Elsa datang terlambat sekitar tiga puluh menit. Padahal biasanya anak itu selalu tepat waktu. Ketika memasuki ruangan, raut mukanya kusut. Rambut yang biasanya dikuncir rapi, ia biarkan terurai berantakan. Dugaanku, ini berkaitan dengan rencana pernikahannya dengan Mas Aron yang belum mendapatkan restu.
“Udah sarapan?” tanyaku.
Elsa menatapku sekilas lalu menggeleng. Gadis itu bergerak ke mejanya untuk menaruh tas punggung kesukaannya. “Maaf ya, Mbak. Hari ini agak telat. Semalam gak bisa tidur.” Ia berujar.
“Gak apa-apa. Yuk, makan dulu. Aku juga belum sarapan,” ajakku. Ia menggeleng. “Mbak Zoya sarapan sendiri aja ya. Aku lagi nggak selera.” Ia menjawab.
Aku meraih tasku lalu bangkit. “Udah, pokoknya ayo sarapan dulu.” Aku menghampiri Elsa lalu menggamit bahunya.
“Tapi, Mbak ….” Ia protes.
“Menolak ajakan calon ipar itu nggak sopan, lho.”
Mendengar kalimatku, Elsa tertegun. Kedua matanya merebak, nyaris membuncahkan seluruh emosi di jiwa. Aku mengangguk. “Iya, gak apa-apa. Ntar kamu bisa cerita semuanya. Yang penting makan dulu. Oke?”
Dan akhirnya gadis itu menurut. Mengikuti langkahku menuju kantin yang berada di lantai satu.
***
Elsa menghabiskan makan paginya dengan baik walau tampak tak lahap. Gadis itu makan dalam diam. Padahal biasanya ia akan sangat berisik menceritakan banyak hal.
“Aku udah denger cerita dari Mas Aron. Soal rencana kalian untuk secepatnya nikah. Beberapa waktu lalu ia juga sudah mengobrol sama Mami dan Papi. Cuma ya gitu, kayaknya masih belum dapat titik temu.” Aku membuka obrolan.
Kepala Elsa tertunduk lesu. “Iya, Mbak. Papa nggak setuju kalau aku nikah dalam waktu dekat ini. Katanya suruh nunggu beberapa tahun lagi gitu. Selain karena aku masih terlalu muda, karirku juga masih gini-gini aja, Mbak. Suruh ngurusin kerjaan dulu katanya.” Ia bersuara. “Aku sih gak apa-apa, Mbak, andai menikah dalam waktu dekat ini. Siap lahir batin pokoknya. Cuma kalau Papa nggak ngasih restu, aku nggak bisa apa-apa. Papa orangnya kaku, gak bisa dibantah. Aku ‘kan jadi bingung, Mbak. Sekarang malah aku dan Mas Aron yang berantem.”
Aku mengernyitkan dahi. “Lah, kenapa?”
“Aku minta Mas Aron untuk mengundur rencana pernikahan kami, Mbak. Demi bisa dapat restu dari Papa. Tapi ….” Elsa terdiam sejenak. “Mas Aron salah sangka, dikira aku nggak serius dengan hubungan kami. Padahal aku serius banget, lho, Mbak. Umurku emang belum genap dua puluh satu, tapi aku nggak ada niat main-main.”
Aku menggigit bibir. Kesal dengan sikap Mas Aron. Kok bisa-bisanya dia bersikap kekanak-kanakan kayak gini.
“Aku harus gimana, Mbak?” Kedua mata Elsa berkaca-kaca. “Aku bingung sekali. Di satu pihak, aku pengen cepet-cepet nikah. Tapi di lain hal, restu Papa itu juga sangat penting.”
Aku menelan ludah. Untuk pertama kalinya aku tak mampu memberi saran apapun pada gadis itu. Kerena sejujurnya, aku seolah berkaca dengan diriku sendiri.
Masalah kami sama; restu.
Elsa tak dapat restu dari Sang Papa, dan aku tak dapat restu dari Lea.
“Mbak, tolongin dong. Aku harus bagaimana?” Elsa kembali bersuara.
Aku menarik napas berat. “Sebentar ya, El. Aku juga sedang berpikir.” Aku memijit pelipisku pelan.
Ya, aku juga sedang berpikir bagaimana caranya agar Lea mau menerima Mami baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sexy Daddy
RomanceBersahabat dengan Abay Wesley sejak kecil, tak pernah terbersit sedikitpun di benakku bahwa aku akan menganggapnya istimewa. Bukan sekedar istimewa sebagai seorang sahabat, tapi istimewa sebagai ... lelaki. Ketika dia memutuskan menikah dan pindah...