"Ngapain kamu deketin Zoya lagi?" Bae menolak melepaskan cengkeraman tangannya di kerah baju Peter.
"Sebentar, Bro. Aku bisa jelasin semua, kok. Ini nggak seperti dulu lagi." Peter berusaha membela diri. Hebatnya, ia tak terprovokasi untuk membalas perbuatan Bae yang mulai emosional. Pria itu lebih banyak menahan diri. Seolah dia sadar bahwa ia memang pernah salah.
"Udah dong, ah." Aku berusaha memisah dua pria tersebut tapi selalu saja gagal.
"Ini ada apaan, sih? Serius nanya, nih." Daniel menyahut lagi tetap dengan ekspresi bingung.
"Nggak sama seperti dulu apanya? Aku yakin tabiatmu nggak bakal berubah!" Bae mengeratkan cengkeraman.
"Baeeee...." Aku berteriak.
"Kamu pikir aku bisa lupa atas apa yang kamu lakukan ke Zoya?!"
"Iya, Bro. Aku tahu waktu itu aku salah. Aku udah minta maaf secara tulus pada Zoya." Peter kembali berusaha bersikap tenang.
"Aku nggak percaya!"
"Aku tulus."
"Baeee...." Teriakanku tak digubris.
"Ini ngeributin apaan, sih? Helloooww ...." Daniel bersuara, lagi.
"Pokoknya aku nggak bakal lupa. Kamu nyaris membuat Zoya cedera parah. Kamu buat dirinya babak belur, bibirnya robek, hidungnya nyaris patah. Lelaki macam apa yang tega memperlakukan wanita kayak gitu, hah?!" Bae nyaris hilang kendali lagi.
"Aku minta maaf." Peter menjawab pasrah.
"Wait, dia tadi bilang apa? Zoya diapain?" Kali ini suara Daniel terdengar kaget bercampur geram.
Aku menoleh ke arahnya, terlihat pria itu melempar bunga yang ia pegang ke sembarang arah lalu berjengit maju. Duh. Manusia satu ini kenapa lagi?
"Pria ini ngapain Zoya? Bikin dia ... cedera?" Ia menunjuk ke arah Peter untuk memastikan. "Serius?" Ia seolah meminta kepastian pada Bae.
Peter memutar bola mata lelah. "Itu dulu sekali ketika diriku masih muda. Dan aku sadar itu salah."
"Who the hell are you? Ini bukan urusanmu, kan? Ngapain ikut campur?" Kali ini Bae berujar sewot ke arah Daniel.
"Bro, kalo ini ada hubungannya dengan Zoya, aku bakal ikut campur." Daniel menjawab jengkel.
"Nggak ada yang minta kamu untuk ikut campur." Bae menjawab ketus.
"Bodo amat. Lagian aku nggak minta ijin dari kamu, kok."
"Teman-teman, please...." Peter mengerang.
"Kami bukan temenmu!" Bae dan Daniel kompak berteriak.
Entah bagaimana mulanya ketiga pria di hadapanku ini ribut sendiri-sendiri. Mereka saling berbalas kalimat ketus, lalu diakhiri saling dorong.
Kepalaku dilanda rasa puyeng. Menghimpun seluruh tenaga, akhirnya aku berteriak, "KALAU KALIAN TERUS RIBUT, AKU PULANG!"
Ajaibnya, keributan di antara mereka reda. Ruangan yang tadinya dipenuhi adu argumen seketika hening.
"Duduk sana!" perintahku.
***
"Gaes, ini aku lagi kerja, lho. Jangan ribut kayak anak kecil gini, dong." Aku berucap geram sembari menatap ketiga pria dewasa di ruanganku.
"Kita ini bukan anak abege yang pantes ngeributin hal-hal ginian, ya Gusti...." Aku mengerang lagi.
Daniel duduk di sofa, meletakkan bunga di sisinya. Kelopak bunga sudah nyaris berhamburan di mana-mana. Peter duduk di sofa yang berada di seberang dirinya. Sementara Bae, pria itu berdiri di samping jendela sambil bersedekap. Raut mukanya terlihat tak bersahabat. Sudah lama aku tak menemui ekspresi seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sexy Daddy
RomanceBersahabat dengan Abay Wesley sejak kecil, tak pernah terbersit sedikitpun di benakku bahwa aku akan menganggapnya istimewa. Bukan sekedar istimewa sebagai seorang sahabat, tapi istimewa sebagai ... lelaki. Ketika dia memutuskan menikah dan pindah...