04. Partner of crime

17.1K 1.4K 39
                                    

September, 2005

"Pake celana dalam, kan?" Bae bertanya seraya menatap sekitar dengan gusar, seolah takut aksi kami akan ketahuan.

"Ya pake lah," jawabku sewot.

Bae menoleh dan kali ini menatap rok seragamku yang panjangnya 2 cm di atas lutut.

"Maksudku, bukan celana dalam biasa, Zoya. Itu, Safety Pants, atau apa sih namanya, yang lebih panjang dari celana dalam, yang__"

"Iya, iya, pake kok." Aku makin sewot.

Bae mengerutkan bibirnya. "Aku nggak mau disebut tukang ngintip lagi," keluhnya.

Aku mendengkus.
Terakhir kali kami melakukan ini, aku memang sempat meneriakinya tukang ngintip gara-gara dia mengomentari celana dalamku yang terlalu seksi.
Dia bahkan membahasnya selama tiga hari berturut-turut.
"Serius deh, yang kamu pake itu Thong, kan? Aku pernah lihat itu di majalah dewasa. Emang anak es-em-a udah boleh pake Thong, ya? Seksi banget sih," omelnya waktu itu.
Asyem.

"Udah deh, cepet jongkok. Keburu ketahuan, nih," titahku ketus.

Bae sempat ngedumel lirih sambil melepaskan tas ransel di punggungnya kemudian menyodorkannya padaku.
Aku menerima tas tersebut lalu menggantungkannya di bahu sebelah kiri. Ringan. Dugaanku, Bae hanya membawa tiga buku tulis dan sebuah pulpen. Seperti biasanya.

Bae jarang membawa buku dan mencatat pelajaran bukan karena malas.
Walau memang terkadang sifat malasnya muncul, tapi ia siswa yang cerdas.
Ia tak perlu repot mencatat karena semua pelajaran yang diterangkan guru selalu ia ingat dengan baik.

Taruhan deh, andaikan Bae jadi murid rajin dan penurut, dia pasti bakal jadi siswa populer dan kesayangan semua guru.

Sayangnya, ya begitulah. Bae adalah Bae. Murid urakan, sering bikin onar, tukang bolos, dan langganan ke ruang BP.

"Cepetan dong," desis Bae jengkel. Cowok itu sudah jongkok menghadap tembok, membelakangiku.

Hari ini kami berencana kabur dari sekolah, lagi. Teknisnya, aku akan naik ke pundak Bae, lalu pemuda itu akan berdiri agar aku bisa menjangkau bagian atas pagar dan setelah sampai di sana, aku akan membantu Ia naik, lalu kami meloncat keluar. Selesai.

Biasanya kami memutuskan kabur karena bosan dengan pelajaran-pelajaran tertentu. Tapi untuk kali ini, kami memutuskan kabur di jam kelima karena berniat menonton musik indie.

The Pumpkins, grup indie yang sedang naik daun sedang mengadakan konser di sebuah gedung olah raga dekat alun-alun kota. Dan kami tak ingin melewatkan kesempatan menikmati pertunjukkan tersebut.

"Siap?" tanyaku.
"Hm." Ia menjawab singkat. Aku beranjak, berpegangan pada dinding, lalu menginjakkan sepatuku di kedua bahunya. Setelah keseimbanganku terjaga, Bae perlahan berdiri sehingga aku dengan mudah menjalankan skenario kami.

Mula-mula, kulemparkan tasku dan juga tas Bae ke seberang. Menjangkau puncak pagar, perlahan aku naik ke sana. Dan dengan mudah, aku membantu Bae naik.
Kami baru saja sampai di atas ketika terdengar bunyi peluit.
Hanya satu orang yang punya kebiasaan itu. Meniup peluit nyaring tanpa jeda.
Adalah Pak Guru Anton, Sang guru piket.

Aku dan Bae perpandangan. "Gawat," desisku.

Dan teriakan itu terdengar.
"BAEEE! ZOYAAA! BAPAK HITUNG SAMPAI TIGA, TURUN DARI SANA! JIKA TIDAK___"
Pak Guru sudah berteriak heboh dari bawah sana sambil mengayun-ayun tongkat baseball. Tongkat itu biasa beliau gunakan untuk menakut-nakuti siswa yang bikin onar.

"Loncat!" seru Bae. Dan belum sempat aku menjawab, cowok itu sudah melesat turun ke sisi di luar tembok.

Melihat ulahnya, kemarahan Pak Guru makin meledak. "BAEEE!" teriaknya. Tatapannya beralih padaku. "Zoya, jika kamu nggak turun ke sini, maka Bapak akan memanggil orang tuamu!"

Sexy DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang