Chapter 5

1.6K 268 15
                                    

Terimakasih yang sudah vote dan komen🥺🙏
Ini eps last pendahuluan nya 😄.

Happy reading~

• • •

Di sebuah kastil mewah di tengah ibukota, duduk seorang wanita muda yang tengah berbadan dua yang bersantai di taman penuh bunga. Rambut ungunya yang panjang berkibar dengan indah saat diterpa angin sejuk musim panas.

"Lady, cuaca cukup berangin hari ini. Anda bisa masuk angin jika terus duduk di sini." Seorang pelayan yang cukup berumur mengingatkan wanita muda yang cantik tersebut.

Namun ekspresi wajah wanita tersebut masih acuh, saat ia menyesap tehnya dengan tenang.

"Apakah dia pergi ke hutan lagi?" Tanya wanita cantik yang tak lain adalah Hera Levon, putri bangsawan berstatus Marquis yang juga merupakan tunangan sah dari Pangeran Hugo sekarang ini.

Pelayan tua yang tadi mengingatkan, dengan perhatian mengangguk. "Ya, nona. Mata-mata kita yang menjaga di istana pangeran kedua, mengatakan bahwa yang mulia rajin pergi ke hutan tersebut setiap minggunya."

Jari-jari Hera mengepal. Giginya menggertak, saat mata indahnya jatuh ke perutnya yang sudah sangat besar. Ia ingin marah! Tapi segera ditenangkan. Tidak apa, dia masih punya anak ini. Jika ia bisa melahirkan seorang pangeran kecil untuk kerajaan, bahkan raja pun tak bisa menghentikannya untuk menikahi Hugo.

"Ibu pengasuh, kapan bayiku lahir?" Tanya Hera sambil mengelus-elus perutnya.

"Perkiraan tabib, bayi nona akan lahir dipertengahan musim gugur." Pelayan tua bernama Meri tersebut menjawab.

Ah, pertengahan musim gugur. Itu artinya tak sampai sebulan lagi.

Hera menyeringai, matanya dipenuhi teror saat menantikan hari kelahiran bayinya tersebut. Jika ia berhasil melahirkan seorang bayi lelaki, maka dapat dipastikan bahwa Hugo harus segera menikahinya. Bahkan jika Hugo tak ingin, ia harus!

"Hugo...!" Gumam Hera penuh obsesi.

Ia telah mencintai Hugo semenjak pertama kali bertemu. Tepatnya saat debutante pria tersebut. Saat itu ia begitu terpesona pada Hugo yang menari dengan indah bersama Aster. Mata Hugo hanya menatap Aster disepanjang jalannya acara, seolah Aster adalah cahaya dan ia adalah penjaga cahaya tersebut.

Hera yang jatuh pada pesona Hugo tak dapat menerima hal itu. Mengapa yang dijaga oleh pangeran bukan dirinya? Melainkan seorang gadis miskin seperti Aster? Jelas status Hera lebih tinggi daripada Aster yang hanyalah putri terbuang.

"Rene. Ambilkan aku kertas dan pena!" Ketus Hera.

Pelayan yang lebih muda, Rene, dengan cekatan mengambil seperangkat alat tulis.

Seringaian nakal kembali mengembang disudut bibir ranum Hera. "Sudah waktunya untuk membasmi bunga busuk!"

Lama Hera menulis, sampai akhirnya ia menyerahkan pesan yang sudah teramplop dengan segel keluarganya pada Rene.

"Kirim pada wanita itu. Pastikan jangan sampai ketahuan oleh pangeran." Rene mengangguk mengerti sebelum pergi dengan senyum sama liciknya dengan sang majikan.

•••

Sementara itu di menara, Aster tengah bermain bersama Adelyn. Adelyn sudah berumur 6 bulan lebih, tapi seolah bernyali besar, Adelyn terus menerus berusaha untuk merangkak menjauh dari Aster. Aster merasa bahwa Adelyn tak menyukainya.

"Adelyn, ibu khawatir. Bagaimana jika kau terjatuh? Lebih baik kau tiduran saja di ayunan." Aster menggendong Adelyn yang memberontak.

"Adelyn, jangan bergerak-gerak. Nanti jatuh," walau lelah, suara Aster masih terdengar lembut. Tak ada rasa kesal sama sekali menghadapi kelakuan nakal putrinya.

Ditengah pergelutan mereka, angin tiba-tiba menerjang, menyebabkan jendela yang tertutup terbuka lebar. Dibarengi itu ada beberapa daun dan selembar kertas amplop menerjang ke arah Aster dan Adelyn.

"Ah! Anginnya nakal sama seperti Adelyn." Ujar Aster menyindir Adelyn yang sudah tergeletak di dalam ayunan.

Aster tersenyum main-main pada Adelyn yang tak berdaya. Karena angin kencang, tataan rambut Aster sedikit berantakan. Ia menutup jendela dan dengan bantuan seorang pelayan memungut daun-daun yang masuk.

"Apa ini?"

Aster memungut sepucuk amplop dan menatap tanda segel bangsawan di amplop tersebut. Karena penasaran, Aster membuka surat tersebut dan membaca kata demi kata.

Awalnya ia biasa saja. Tapi semakin Aster membaca, semakin jelek ekspresi yang ditampilkan. Sampai di akhir kalimat yang tertulis, Aster meremas surat tersebut hingga menjadi bola. Walau wajahnya kembali datar, namun tidak dengan hatinya.

Aster menghampiri ayunan, dan mengambil Adelyn ke pelukannya. Seolah patung, Aster hanya diam memeluk Adelyn yang kebingungan.

Ada apa dengan ibunya? Kenapa tiba-tiba suasana menjadi sedikit kelam?

"Adelyn... coba katakan, apakah ibu harus egois atau mengalah?" lirih Aster sambil menggendong Adelyn seperti koala.

"Oh ibu, tentang apa dulu percakapan kita ini?" Batin Adelyn menyahut Aster.

"Lupakan... semua bergantung pada pilihan ayahmu."

•••

Beberapa minggu setelahnya, Aster berusaha untuk terlihat biasa seolah tak terjadi apa-apa. Biarlah ia pura-pura bodoh sampai Hugo mengatakan secara langsung padanya.

Walau begitu, Ina yang memuja Aster menyadari bahwa ada yang salah pada nonanya. Ina yang telah menyelesaikan hukumannya mendapat luka lumayan parah di lututnya, jadi ia terpaksa memulihkan diri selama beberapa hari. Setelah tak berjumpa nonanya selama berhari-hari, entah mengapa Ina merasa Aster sedikit berbeda.

"Aster!"

Aster menoleh dan mendapati Hugo yang terlihat terburu-buru. Musim sudah berganti menjadi musim gugur, dimana udara terasa lebih dingin di malam hari. Melihat lelaki tersebut mengenakan pakaian tambahan dan syal, sudah jelas bahwa ia ingin pergi keluar.

"Kau ingin kembali ke istana?" Tanya Aster dengan senyum hangat.

Hugo mengangguk dan memeluk Aster sejenak.

"Aku harus menyelesaikan sesuatu terlebih dahulu, jadi mungkin minggu depan aku tak bisa datang."

"Oke. Kenakan jubah lagi. Pastikan jangan sampai membeku," Aster tak bertanya sesuatu apa yang akan dikerjakan oleh Hugo. Ia hanya dengan perhatian memasangkan Hugo sebuah jubah hangat, berharap lelaki tersebut tetap hangat di malam dinginnya musim gugur.

"Sebenarnya cuaca tak terlalu dingin, tapi baiklah." Hugo tertawa akan perlakuan berlebihan Aster. Ia malah merasa panas dibandingkan dingin.

"Aku pergi." Hugo mengecup dahi Aster dan melambai pergi.

Saat kuda Hugo tak terlihat lagi, barulah wajah Aster kembali datar. Tangannya yang melambai perlahan terkepal.

Sudah musim gugur, waktu dimana bayi Hugo dan Hera lahir. Ya, ia tau dari surat tersebut. Surat yang berisi pesan provokatif yang ditulis sendiri oleh Hera.

Selama beberapa minggu ini Aster berharap agar Hugo mengatakan tentang hal tersebut padanya. Namun seolah tak bersalah, Hugo tetap diam dan hanya terus memanjakannya dan Adelyn.

Semua perlakuan Hugo hanya membuat Aster merasa digantung. Ia bingung apakah Hugo akan memilih Hera atau dia? Seperti yang diketahui, saat ini Aster di cap sebagai wanita pendosa. Sedangkan Hera adalah bangsawan terhormat berstatus tinggi. Siapapun akan memilih Hera daripada Aster.

"Sejak kau pergi malam ini, dan belum juga menjelaskan padaku. Itu artinya kau lebih memilih wanita itu." Lirih Aster sambil membawa Adelyn yang terlelap di pelukannya.

Aster meninggalkan sebuah liontin sapphire dan sepucuk surat.

"Aku pergi, Hugo."



To Be Continued




Okeh, mulai dari chapter depan, ceritanya bakal benar-benar berfokus ke Adelyn (^^)

I Refuse to be a Chess PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang