Chapter 11

1.2K 175 8
                                    

"Apakah benar, keturunan dari anggota kerajaan Canvira memiliki ciri-ciri rambut dan mata emas?" tanya Miguel selangkah lagi yakin pada tebakannya.

"Ya."

Mata Miguel bersinar dengan cahaya berbahaya. Sudut mulutnya tak bisa menahan seringai seolah mendapat hadiah paling tak diduga.

"Sepertinya, saya tau dimana tunangan dan putri yang hilang itu."

•••

[3 hari kemudian]

Ibu kota sangat berwarna dan dipenuhi teriakan suka cita hari ini. Itu bukan tanpa alasan, mengenai arak-arakan prajurit yang dipimpin oleh Pangeran Kedua mulai terlihat memasuki gerbang ibu kota.

Jalanan dihias dengan ratusan lentera merah dan ada puluhan rakyat yang menunggu dengan antusias di muara gerbang yang terbuka lebar.

Di sekeliling latar meriah itu, Hugo juga perlahan terlihat menunggangi kudanya dengan postur tegap dan wajah datar. Sosoknya yang rupawan segera masuk ke ratusan pasang mata rakyat dan mengundang seruan kekaguman.

"Selamat datang kembali pangeran!"

"Selamat atas kemenangan Yang Mulia!!"

Dan masih banyak kalimat-kalimat pujian lainnya yang tak jelas terdengar, saking banyaknya yang berteriak.

Hugo tak acuh dan seolah tak mendengar apapun, pria itu terus melaju dengan kuda perangnya.

Sesampainya di Istana utama, Hugo disambut oleh Raja dan Ratu beserta selir-selirnya sendiri. Yang dimana ini adalah pengakuan terang-terangan bahwa Raja telah mengakui Hugo sebagai penerus kerajaan.

Hugo turun dari kudanya dan walau hatinya enggan, ia mengangguk pada raja dan memberi salam singkat.

"Yang mulia."

Raja Dalbert juga mengangguk dan ada senyum cemerlang di wajah keriputnya. Jelas orang tua itu sangat bahagia dengan berluasnya daerah kekuasaan berkat kemenangan yang dibawa Hugo kali ini.

"Bagus nak, kau berhasil. Kau memang putraku," ujar Raja Dalbert sembari maju dan memeluk Hugo.

Jika kalian melihat lebih dekat, ada rasa jijik luar biasa yang berputar di mata emas Hugo saat raja memeluknya. Untung saja pelukan itu hanya berlangsung sebentar, sehingga emosi Hugo belum banyak berubah.

Setelah penyambutan kecil di gerbang istana utama, Hugo enggan untuk mampir walau sejenak. Jadi raja sedikit tak puas pada Hugo yang meminta pulang ke istananya sendiri di Kota Ellen.

"Baiklah kalau begitu. Karena kau sudah sangat merindukan rumahmu sendiri, maka pulanglah dulu. Masih banyak kesempatan di masa depan untuk kau mampir ke sini," kata raja akhirnya mengalah.

"Terima kasih, yang mulia. Kalau begitu saya pamit," dengan wajah yang masih datar, Hugo segera mundur dari istana utama membawa ratusan prajuritnya.

Pada waktu yang sama di daerah kekuasaan Hugo. Kota Ellen tak kalah berwarna dibanding ibu kota.

Istana Hugo dihias sedemikian rupa, dan di setiap sudut istana diterangi oleh mutiara bercahaya membuat seisi istana terang benderang hampir menyilaukan mata.

"Ayo, kerja lebih cepat!" Kepala pelayan mengkomando pelayan-pelayan lain sambil berkeliling. Wanita 50 tahunan itu mempunyai ekspresi garang dan auranya seolah ingin memakan orang.

"Bagaimana makanannya? Sudah siap?" Kepala pelayan, Mona, bertanya pada koki istana.

"Sudah. Tinggal disajikan saja," kata koki istana.

I Refuse to be a Chess PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang