Chapter 15

251 50 6
                                    

Setelah apa yang diucapkan Count Fredrick semalam, Adelyn diberikan sebuah kamar indah nan mewah di kediaman Fredrick.

Walau terkesan melayani dengan baik, Adelyn tak bodoh dan sangat menyadari bahwa Count Fredrick juga menurunkan banyak penjaga untuk mencegahnya kabur.

Namun bodohnya Fredrick, ia tak mengikutsertakan Miguel dalam menjaganya. Puluhan penjaga biasa seperti ini sama sekali tak dapat menahannya dalam sangkar tak terlihat seperti sekarang.

Jadi saat hari telah berganti, langit yang masih gelap dimanfaatkan oleh Adelyn untuk membekuk semua penjaga yang menjaganya.

Pastinya tanpa sihir, karena ia tak mau Miguel dan tuan iblisnya sadar dan menangkapnya kembali.

Setelah entah kapan lolos dari kediaman Fredrick, Adelyn hanya mencuri dua kantung besar emas dari sana dan pergi memesan penginapan.

Di kamar penginapan, Adelyn segera memanggil Ginger dan mulai menggerutu.

"Huh! Dia pikir dia siapa? Aku, Adelyn, paling tidak suka dijadikan sebagai bidak!"

Ginger juga melolong setuju dan mendusel-dusel kearah perut Adelyn.

Adelyn yang sudah kembali rasional, kembali memikirkan satu suara saat ia disekap oleh Miguel.

Sial. Benar-benar ada iblis yang berani Adelyn katakan adalah pembunuh dari Aster! Jika dipikir-pikir, Miguel ini pasti penghianat yang harusnya dibasmi oleh Aster, namun gagal lantaran iblis yang menjadi tuan Miguel.

Miguel ini juga sangat menjijikkan. Bukan hanya berkhianat pada Delred dan menjadikan manusia sebagai sekutu, ia juga tak lepas hubungan dengan iblis yang menjadi musuh alami kaum penyihir sejak dahulu.

Jika ia ingin mengalahkan iblis yang berada dibelakang layar Miguel, pertama-tama tentu saja Adelyn memerlukan kekuasaan.

Walau ia masih dendam dengan ayahnya yang bermain api, namun Adelyn mau tak mau memanfaatkan ayahnya itu demi kelangsungan hidup Aster.

Adelyn melihat langit yang mulai cerah, dan segera mengambil keputusan. Ia kembali menyuruh Ginger bersembunyi dan mulai mempersiapkan diri seperti mandi dan lain sebagainya.

Untungnya pakaiannya masih dibilang layak pakai dan tak terlalu robek setelah perkelahiannya dengan penjaga. Jadi ia masih bisa keluar dan mendatangi salah satu butik untuk membeli sebuah gaun pesta.

Pemilik butik yang beberapa hari ini sepi pengunjung, membuka toko pagi-pagi buta dengan malas-malasan. Jadi saat mendengar pintu toko berbunyi, pemilik butik sangat senang.

"Selamat datang-- ah!" Pekik pemilik butik saat melihat penampilan mencolok Adelyn.

Untuk menyamarkan rambut dan matanya, Adelyn mengenakan jubah hitam kebesaran yang memang terlihat mengerikan.

Pemilik butik sempat mengira Adelyn adalah perampok, namun untungnya bukan karena Adelyn segera melemparkan sekantung penuh emas.

"Aku ingin membeli sebuah gaun."

Pemilik butik yang melihat sekantung besar emas matanya langsung menyala. Ia segera mengambil meteran pengukur untuk mengukur tubuh Adelyn.

"Gaun jenis apa yang diinginkan nona? Saya akan berusaha menjahitkan sebuah gaun paling indah untuk nona." Kata pemilik butik antusias.

"Tidak usah dibuat. Aku hendak memakai gaun itu sekarang. Apakah kira-kira ada gaun pas yang sudah jadi? Apa saja. Yang penting cocok untuk pesta besar."

Pemilik butik paham dan buru-buru berlari membawa dua buah gaun indah satu berwarna peach dan satunya lagi berwarna biru langit.

Adelyn tak terlalu menyukai gaya gaun peach yang terlalu mengembang  dan pinggang yang dibuat sangat kecil. Jadi walau jauh lebih sederhana, pilihan Adelyn jatuh pada gaun berwarna biru langit.

***

Di istana, pesta akan segera dimulai. Telah banyak orang yang berkumpul, tak hanya raja dan ratu yang telah hadir, bahkan Putra Mahkota pun telah hadir di pesta tersebut.

Hugo sebagai pemeran utama juga telah lama datang dan saat ini tengah berbincang-bincang bersama para bangsawan di sisinya.

Di ruangan itu sangat jelas terasa perbatasannya. Karena Arthur sang putra mahkota turut hadir, para pendukungnya juga tak berani menyanjung Hugo dan membuat lingkaran sendiri dibelakang Arthur.

Arthur ini mungkin sudah merasa terancam, jadinya ia harus menebalkan muka untuk datang ke pesta yang merupakan apresiasi sang raja terhadap Hugo yang menang perang.

Setelah raja Dalbert mengisyaratkan bahwa pesta bisa dimulai, Hugo maju di depan banyak pasang mata dan mulai melakukan pidato pembuka.

Selama pidato itu berlangsung, Hera yang berada di kumpulan para wanita bangsawan seolah merak yang merekahkan ekornya. Wajahnya sangat sombong saat menatap para wanita bangsawan disekitarnya, seolah mengatakan bahwa ialah pemenangnya.

Sebenarnya banyak yang sudah geram akan sifat Hera yang minta di pukul itu, namun apalah daya. Hera memang pantas untuk berlaku sombong dengan kuatnya kekuasaan keluarga dan suaminya sekarang.

"... mungkin hanya itu yang dapat saya sampaikan, terima kasih."

Setelah Hugo selesai berbicara, Raja Dalbert bangkit dan segera bertepuk tangan begitupun seisi aula.

Harusnya setelah itu Hugo perlu mengajak sang istri untuk berdansa sebagai pembuka, namun jangankan berdansa, melihat Hera saja Hugo enggan. Alhasil dansa hari ini dibuka oleh raja dan ratu, barulah yang lain bisa berdansa.

Hugo memilih untuk tak peduli. Ia malah duduk di balkon dan menjauhi keramaian.

Saat ia menikmati cerahnya hari, tangan kanannya, Therens menghampiri dengan terburu-buru. Wajahnya terlukis kekejutan serta kepanikan sekaligus.

"Pangeran! Gawat!" Hugo menoleh dan mengernyit heran.

"Ada apa?"

Therens menunjuk-nunjuk ke tempat aula berada dan dengan heboh menarik Hugo tanpa dapat menjelaskan.

Hugo yang ditarik tentu semakin bingung. Saat ia akan meraung marah, ia juga menjadi seperti Therens yang saat ini diam terpaku sambil menganga.

Ruang aula yang tadinya dipenuhi sorak-sorai juga menjadi hening, dan semua mata hanya tertuju pada pintu aula.

Adelyn, yang masuk dengan cantiknya tersenyum dan menghampiri Hugo yang ternganga ditempatnya.

"Selamat atas kemenangan yang mulia. Saya mewakili keluarga saya, dengan segala hormat memberikan hadiah yang tak sepadan ini."

Adelyn memberi hormat dan menyerahkan sebuah kotak yang tak tau apa isinya.

Hugo tentu tak peduli apa isi kotak itu. Yang ia pedulikan saat ini adalah yang membawa kotaknya! Bagaimana bisa gadis cilik di depannya ini memiliki mata dan rambut emas? Ditambah wajah yang sangat mirip dengan Hugo.

"Siapa namamu?" tanya Hugo dengan jantung yang bertalu-talu.

Adelyn tersenyum dan dengan manis menjawab. "Saya Adelyn. Adelyn Yvette."

.

.

.

To be Continued

I Refuse to be a Chess PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang