Chapter 6

1.6K 252 11
                                    

"Kecemerlangan adalah melakukan hal yang biasa dengan cara yang sangat luar biasa"

John William Gardner

•••

[7 tahun kemudian]

"Aiden, tangkap!" Sebuah bola berukuran kecil bergegas menuju Aiden. Namun karena tiba-tiba, lelaki kecil bersurai biru tersebut tak sempat menangkap. Alhasil bola yang dilempar sekuat tenaga itu sukses mengenai wajah mungilnya.

"Ah!" Aiden tumbang, membuat sang pelempar bola menghampirinya dengan khawatir.

"Maaf, Aiden. Aku tak bermaksud," seorang gadis kecil bersurai emas sepantaran Aiden mengusap kepala bocah lelaki tersebut.

"Dasar! Kenapa tiba-tiba melempar, sih?" Kesal Aiden masih mengaduh sakit di dahinya yang memerah.

Adelyn hanya terkikik tak menganggap serius kekesalan Aiden. Mungkin karena mereka sudah berteman semenjak balita, membuat keduanya sangat klop satu sama lain.

"Maaf, aku janji tak akan begitu lagi, hihi." Adelyn membantu Aiden bangkit dari tanah. Baju mereka tertutupi debu, namun masih tak menutupi kecantikan keduanya.

Adelyn dan Aiden, mereka terkenal seantero kota berkat wajah dan keserasian mereka. Dimana ada Adelyn, di situ ada Aiden. Begitupun sebaliknya.

Saat ini mereka bersekolah di sekolah khusus penyihir, yang dimana adalah sekolah rahasia. Mengingat penyihir adalah komunitas ilegal di kerajaan Canvira, membuat para penyihir harus bersembunyi dan membuat sebuah kota tersembunyi. Kota Delred, kota ajaib yang hanya bisa dimasuki dengan portal buatan penyihir. Tak mudah untuk keluar masuk di Kota Delred, karena perlu banyak izin yang lumayan ribet dan menyusahkan.

Saat hari dimana Aster membawanya lari dari menara, mereka sempat menjadi gelandangan sampai akhirnya mereka ditemukan oleh seorang penyihir hebat. Penyihir tersebut terlihat kaget saat melihat Aster. Katanya Aster adalah keturunan murni dari seorang penyihir legendaris yang ikut mendirikan Kota Delred. Jadi Aster berhak untuk tinggal di Delred, dan yah begitulah bagaimana mereka dapat lolos selama 7 tahun tanpa ketahuan oleh ayahnya, Hugo.

"Waw, dahimu lumayan merah dan benjol." Adelyn berusaha untuk tak tertawa melihat wajah tampan Aiden menjadi seperti ikan louhan, benjol tepat di tengah-tengah dahi.

"Ketawa saja kalau mau!" Aiden mempoutkan bibir, menambah kesan menggemaskan miliknya.

"Haha, aku tak sejahat itu. Ayo aku antar pulang." Adelyn sudah siap pergi, saat Aiden masih diam terpaku ditempatnya.

"Ada apa? Gak mau pulang nih?" Tanya Adelyn kembali menghampiri Aiden.

"Aku lebih tua darimu. Harusnya aku yang mengantarmu pulang, bukan sebaliknya." Jawab Aiden sambil menyilangkan lengan. Wajahnya terlihat tegas, seolah tak mau diganggu gugat.

Memang Aiden lebih tua dari Adelyn, tapi hanya setahun. Adelyn sendiri hanya tubuhnya yang muda, tapi jiwanya sudah hampir setengah abad! Bagaimana ia bisa berlaku lebih kecil daripada Aiden yang benar-benar masih 'kecil'. Jika dia bisa pun, maka Adelyn harus berwajah tebal dan memutuskan urat malunya dulu.

"Apa sih, kan sesekali aku yang mengantarmu pulang. Lagipula kau terluka karena perbuatanku," sanggah Adelyn tak mau mengalah.

Dua anak kecil berdebat, menarik perhatian para pejalan kaki yang hanya dapat terkekeh geli. Di ujung jalan, seorang wanita berumur akhir 20-an menghampiri keduanya yang masih berdebat.

"Aiden, Adelyn. Ini sudah sore, kenapa belum pulang?" Tanya Aster sambil melepaskan tudung jubah penyihirnya.

"Ibu?"

I Refuse to be a Chess PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang