Hana menjauh darinya. Bagas tahu itu. Sejak kejadian ia keceplosan menyatakan perasaan karena terlanjur emosi kemarin, Hana enggan membalas pesannya, dibalas pun hanya balasan singkat. Hana juga menolak untuk pergi sekolah bersama, Hana sering berangkat lebih dulu. Bagas bingung sendiri bagaimana cara membuat situasi menjadi seperti semua. Alhasil ia membiarkan Hana menjauh, memberi Hana waktu sebanyak cewek itu butuhkan. Untung saja di kelas Hana tidak nekat pindah tempat duduk. Teman sekelas mereka bisa bertanya-tanya nantinya.
Interaksi Hana dan Bagas di kelas sangat minim, hampir tidak ada. Saat jam pelajaran berlangsung, cewek itu menatap lurus ke depan menatap guru yang sedang menerangkan pelajaran atau menulis di bukunya. Saat istirahat, ia akan bersama Litha. Saat pulang sekolah, Hana selalu ke rumah sakit untuk melihat Irfan.
Bagas yang sumpek dengan keadaan memilih ke taman belakang sekolah yang terbengkalai. Ia biasa di sana saat ingin sendiri. Ardan dan Ghani tadi hendak mengekori tapi diusir olehnya. Ia sedang malas mendengar perdebatan mereka yang tidak tahu pangkal-ujungnya itu.
"E ... eh, ada orang. Sorry." Bagas mengangkat kepalanya saat mendengar suara seseorang. Ia mendapati Maudy yang berdiri tidak jauh darinya, sedang menatapnya sungkan.
"Hai, Dy," sapa Bagas ramah. Senyumnya terbit.
"Maaf ngeganggu, Gas. Gue kira di sini kosong. Gue balik dulu, ya."
"Di sini aja," tahan Bagas saat Maudy hendak pergi. "Lo nggak ganggu kok. Taman ini juga bukan punya gue, lo bebas mau di sini meskipun ada gue. Duduk sini." Bagas menepuk sisi di sebelahnya, mengajak Maudy duduk di sebelahnya. Masih dengan perasaan sungkan yang menggelayuti perasaannya, Maudy duduk di sebelah Bagas.
"Lo ... beneran nggak keganggu?"
Bagas menggeleng yakin. "Gue lagi males aja ke kantin. Nggak tahu mau ke mana, malah nyasar ke sini." Bagas bohong. Ia tidak ingin menyebutkan alasan bahwa sebenarnya ia ingin menyendiri, nanti Maudy malah pergi. Ntah kenapa.
"Oke." Hening. Maudy bingung harus mengatakan apa lagi. Ia orang yang tidak pintar membangun obrolan.
"Lo baca apa?" Mata Bagas terarah pada buku bersampul kuning yang dipegang Maudy.
"Oh ini ...." Maudy mengangkat sekilas buku itu. "Resep kue. Tadi nemu di perpustakaan."
"Kok nggak baca di perpus?"
"Penjaga perpusnya mau pergi. Tadi aja gue diomelin karena gue sempet-sempetnya minjemin buku padahal dia buru-buru," cerita Maudy dengan kekehan di ujungnya.
"Nggak tahu aja dia kalau yang dia omelin anak kesayangannya Pak Zalan," goda Bagas yang membuat wajah Maudy memerah malu.
"Apa sih, Gas."
"Muka lo merah. Lucu banget kalau lagi malu. Mana gampang digodain." Wajah Maudy makin merah. Ia tidak biasa diusili seperti itu. Jantung Maudy bahkan berdetak sangat cepat, ntah karena apa.
"U ... udah, sih. Jangan usilin gue mulu. Gue pergi, nih?"
"Jangan dong. Baru aja gue ditemenin duduk cewek cantik, masa mau pergi aja." Bagas bingung sendiri dengan kalimat yang melompat keluar dari mulutnya. Biasanya ia tidak begini. Ia tidak hobi melemparkan godaan. Tidak tahu kenapa pada Maudy, ia refleks.
"Gue baru tahu kalau Ketos yang dikenal ramah ini juga suka gombal."
"Siapa yang gombalin lo coba? Gue bilang penunggu pohon jati itu, tuh." Di belakang sekolah ada sebatang pohon jati yang usianya sudah sangat tua. Tidak ada yang berani menebang pohon tersebut karena ada cerita turun-temurun yang menyebutkan ada penunggunya di sana. Jika pohon tersebut ditebang, sekolah bisa jadi sasaran amukan penunggu pohon jati. Katanya begitu, tapi sampai sekarang tidak ada yang tahu pasti kebenarannya.
"Gas, jangan aneh-aneh deh." Maudy mengerut takut. Ia tahu cerita tentang pohon jati tersebut tapi biasanya ia berani karena berada di sana saat matahari ada. Namun, ditakutkan seperti itu membuatnya mulai membayang hal yang tidak-tidak.
Tawa Bagas menguar melihat wajah Maudy yang tadinya merah kini sedikit pucat dengan ekspresi ketakutan yang kentara. Cewek itu sangat ekspresif ternyata. Raut wajahnya seperti buku terbuka yang mudah dibaca.
"Becanda." Bagas mengacak rambut Maudy. "Ajarin gue bikin kue dong."
"Eh, kok tiba-tiba?" tanya Maudy heran.
"Nggak tahu. Pengen aja setelah liat buku resep lo," cengir Bagas. "Mau nggak?"
"Boleh. Tapi bayar, ya?"
"Pake tanda tangan? Foto bareng? Gampang."
***
Wajah Bagas yang tadinya suntuk berubah bersinar cerah setelah menghabiskan jam istirahatnya bersama Maudy di taman belakang. Mereka banyak ngobrol, saling bercanda. Seperti sudah kenal dalam waktu yang cukup lama, padahal faktanya itu adalah interaksi mereka yang ketiga.
"Gas, bahaya," panik Ghani saat ia sampai di kelas. Kedua sahabatnya sibuk membuka dengan wajah panik.
"Kenapa?" tanya Bagas santai.
"Hari ini ulangan biologi." Mata Bagas melotot seketika. Ulangan biologi? Masa tiba-tiba begini?
"Serius lo?"
"Iya. Gue baru inget setelah liat Hana sama Litha belajar bareng tadi. Kunyuk Ardan juga nggak inget," kata Ghani yang sempat-sempatnya ngatain Ardan.
"Dapet nilai jelek mampus lo karena ngatain gue," kesal Ardan.
"Gue dapet nilai jelek karena nggak belajar, bukan karena lo. Heh, kenapa kita malah debat, sih. Ini kan ceritanya lagi panik. Aduh Gas, Dan, gimana nih nasib kita?" Ghani kembali ke mode panik.
Bagas sangat panik sebenarnya, tapi tidak selebay Ghani. Ia melirik Hana yang membaca buku dengan tenang. Sesekali mulut cewek itu berkomat-kamit, menghapal materi.
"Han." Bagas menyenggol bahu Hana. Tidak ada tanggapan. "Han," usahanya lagi. Masih sama. Lagi, Bagas menyenggol bahu cewek itu sampai Hana berdecak kesal. Bagas terkesiap takut.
"Apa sih?" sewot Hana.
"Kok lo nggak ingetin gue kalau hari ini ulangan bio?" lirih Bagas. Ketua Osis ini takut disewotin lagi.
"Udah," jawab Hana singkat.
"Hah? Kapan? Lo kan lagi ... ngambek." Bagas memelankan suaranya di akhir kalimat.
"Seminggu yang lalu, pas Pak Zalan ngumumin kita mau ulangan." Bagas menepuk dahinya. Itu sih beda cerita.
"Maksud gue kema–"
"Udah, ih. Gue mau belajar. Lo juga belajar kalau nggak mau remed." Bagas meneguk air liurnya sendiri kasar. Jangan sampai dia remedial, lagi. Bisa didamprat sama Pak Harto karena Pak Zalan pasti curhat ke Pak Harto kalau Ketua OSIS itu sering remedial biologi. Info sedikit, Bagas paling lemah dipelajaran hapalan seperti biologi. Ia lebih memilih matematika dan fisika.
"Han, nanti gue nyon–"
"Nggak ada nyontek. Lo mau ngasih nilai curang ke rapor lo?" Oke. Bagas tidak bisa berkutik lagi. Dengan lunglai, cowok itu duduk di kursinya. Membuka buku biologi, membaca bab respirasi yang ntah akan melekatkan di otaknya atau tidak. Bagas pasrah kalau harus remedial.
Maaf Pak Harto harus dengerin Pak Zalan curhat lagi. Bagas janji ulangan depan nggak remedial. Kita bawa kembali harga diri kita ke hadapan Pak Zalan, Pak.
1 Mei 2022
Love,
V
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagas
Teen FictionBagas tidak ingin melukai siapa pun. Dia tidak ingin melukai Maudy, tidak ingin pula melukai Hana. Namun, Bagas lupa. Di dunia ini, dia tidak bisa menggenggam keduanya sekaligus. Bagaimanapun dia mencoba, akan selalu ada satu yang disisihkan dan ter...