Sepuluh

14 3 0
                                    

Sejak tahu Bagas menyukai Hana, ntah kenapa Maudy sering merasa khawatir pada cowok itu. Dia khawatir Bagas terluka dan sakit saat melihat Hana dengan pacarnya. Oleh karena itu, sebisa mungkin, jika Bagas mengajaknya bertemu atau pergi ke suatu tempat, Maudy mengiyakan.

Maudy juga bingung dengan perasaannya sendiri. Dia pernah jatuh cinta dan tahu bagaimana debaran yang selalu ada ketika dekat dengan orang yang dicintai. Tidak bisa dipungkiri, semakin lama dia dekat dengan Bagas, debaran itu semakin nyata adanya. Sebisa mungkin Maudy menekan perasaan dan meredam debarannya agar tidak makin tumbuh. Dia tahu, tidak ada harapan baginya. Bagas menyukai Hana, tidak menyukai Maudy.

Sore ini Maudy baru saja selesai pembinaan untuk lomba biologi yang akan diikutinya minggu depan. Dia bersama lima teman sepembinaannya yang lain menjadi perwakilan sekolah.

"Kali ini gue nggak akan kalah dari lo," sinis seorang cowok berkacamata pada Maudy. Dia adalah Dion, rekan seolimpiade sekaligus orang yang selalu menganggap Maudy saingannya. Cowok itu selalu merasa kesal tiap Maudy selangkah lebih di depan daripada dirinya.

"We'll see," balas Maudy singkat. Dia malas mencari perkara dengan cowok ambiusis itu.

Dion menatap Maudy jengkel lalu menjauh begitu saja. Maudy menghembuskan napasnya lelah. Dari kelas sepuluh, persaingan antara dirinya dan Dion tidak pernah berhenti. Maudy sebenarnya tidak mau bersaing sampai memperkeruh suasana antara mereka seperti ini, tetapi Dion yang selalu cari ribut membuat Maudy harus bertindak.

Tidak peduli lagi dengan Dion, Maudy mengambil ponselnya dari dalam tas untuk menghubungi Bayu. Tadi Bayu bilang kalau pembinaannya sudah selesai, telepon saja.

"Halo, Kak," sapa Maudy saat panggilannya diangkat.

"Ody, Kakak kayaknya nggak bisa jemput. Tiba-tiba ada rapat UKM. Kamu pulang sendiri nggak papa, ya?"

"Oke. Kakak jangan lama-lama pulangnya. Ody takut sendirian di rumah kalau malam." Orang tua Maudy sedang ke luar kota sedangkan kakak kembarnya yang lain—Biru—sedang mendaki gunung bersama komunitas pencinta alamnya.

"Siap. Kamu hati-hati pulangnya."

Setelah panggilan terputus, Maudy beralih ke aplikasi ojek online. Namun, baru saja dia mengetikkan alamatnya, seseorang muncul di hadapannya seraya menyodorkam es krim.

"Asupan energi setelah menguras otak." Bagas tersenyum manis. Ia menggerak-gerakkan tangannya, kode agar Maudy mengambil es krim tersebut.

"Makasih. Repot-repot banget beliin es krim segala."

"Gue nggak tahu lo sukanya apa selain bikin kue, jadi gue beliin es krim aja. Semua cewek kayaknya suka es krim, kan?" terka Bagas. Maudy terkekeh kecil lalu membuka bungkus kertas es krim cone tersebut.

"Lo nggak makan es krim juga?"

"Udah tadi. Nggak sabar soalnya," cengir Bagas. "Udah selesai pembinaannya?" Maudy mengangguk seraya menikmati es krimnya. "Mau pulang?" Maudy mengangguk lagi. "Sendiri?" Anggukan yang Bagas dapat. "Pulang sama gue, yuk?"

"Eh?" Maudy hampir saja mengangguk lagi sebelum menyadari pertanyaan Bagas.

"Jok motor gue suka dingin kalau nggak diisi penumpang. Kesepian katanya," kelakar Bagas.

"Miris banget nasib lo, Gas. Jomblo," ledek Maudy.

"Ya udah, kita jadian aja supaya gue nggak jomblo lagi."

BagasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang