Tiga

24 5 0
                                    

"Han, ntar sebelum pulang, kita ke ruang OSIS bentar ya. Gue mau tanda tangan proposal dulu," kata Bagas. Hana yang sedang menyatat materi menolehkan kepalanya sebentar.

"Gue pulang sama Irfan hari ini, Gas. Gue lupa bilang sama lo, sorry."

"Emang Irfan udah masuk sekolah?" Hana mengangguk. Cewek itu kembali fokus pada buku dan papan tulis dihadapannya.

"Tangannya udah sehat? Dia udah bisa nyetir?" tanya Bagas lagi.

"Belum terlalu, sih. Dia diantar-jemput supir untuk sementara. Gue bakal pulang bareng supirnya. Irfan ngajak kencan bentar," jawab Hana ringan tapi efeknya dahsyat bagi Bagas. Lagi-lagi dada cowok itu berdenyut nyeri.

"Oh, ya udah, deh." Bagas berusaha menjawab dengan biasa saja, tapi dia tahu suaranya agak melemah. Semoga Hana tidak menyadari kejanggalan pada suaranya.

***

Bagas tidak menghabiskan waktu terlalu lama di ruang OSIS. Hanya sepuluh menit. Selain menandatangani proposal kegiatan, cowok itu sempat berbincang sebentar dengan temannya sesama pengurus OSIS. Mereka membicarakan acara ulang tahun sekolah yang akan dilaksanakan dua bulan lagi.

Bagas hendak memasang helmnya begitu mendengar ponselnya berbunyi. Ada panggilan masuk dari ibunya.

"Assalamualaikum, Ma," sapa Bagas sopan.

"Waalaikumsalam, Gas. Kamu di mana?"

"Di parkiran sekolah, Ma. Mau pulang. Kenapa?"

"Mampir ke super market dulu bisa nggak, Gas? Mama mau bikin brownies tapi ada bahan yang kelupaan Mama beli."

"Hah? Beli apaan, Ma? Bagas nggak tahu, ah, yang gituan. Ntar jadi salah beli," kata Bagas setengah menolak. Mana tahu cowok itu tentang bahan membuat brownies.

"Kamu tega ngeliat Mama yang lagi hamil muda gini balik ke super market lagi?" Jangan kaget kalau Bagas yang berumur enam belas tahun akan punya adik tujuh bulan lagi. Adik pertamanya setelah selama ini hidup sebagai anak tunggal.

"Enggak, sih. Ta–"

"Nanti Mama kasih tahu apa yang harus kamu beli. Bantuin Mama, ya?" bujuk sang ibu dari seberang sana.

"Ma–""

"Makasih anak Mama yang paling cakep. Assalamualaikum." Sambungan telepon mati setelahnya tanpa Bagas mampu menolak lagi. Bagas menghela napasnya kasar. Ibunya itu memang suka sekali bertindak semena-mena padanya.

***

Akhirnya dengan terpaksa, Bagas sudah menginjakkan kakinya di super market yang berada tidak jauh dari sekolahnya. Bagas sebelumnya hanya pernah membeli minuman di super market ini, sehingga ia kebingungan mencari rak khusus bahan untuk membuat kue dan teman-temannya. Tidak ingin kebingungan terlalu lama, Bagas memutuskan bertanya pada salah satu penjaga di sana. Penjaga tersebut mengarahkan Bagas ke lantai dua super market tersebut.

Bagas melangkahkan kakinya menuju lantai dua. Setibanya di lantai dua, ia menuju ke arah paling ujung kanan, di sana rak bahan untuk membuat kue tersedia. Bagas mengeluarkan ponselnya, membaca chat dari ibunya mengenai bahan apa saja yang harus ia beli. Coklat batang dan coklat bubuk. Tapi, ia harus memilih merek yang mana? Banyak sekali coklat batang dan coklat bubuk dengan berbagai merek di sana.

"Bagas?"

Bagas tersentak begitu ada yang memanggilnya. Bagas membalikkan badannya, mendapati seorang cewek dengan seragam yang sama dengannya yang dilapisi jaket berwarna putih.

"Eh, hai," kata Bagas bingung. Dia tidak mengenal siapa cewek dihadapannya ini tapi rasanya Bagas pernah melihat wajahnya.

"Gue Maudy, anak XI MIPA 2." Cewek bernama Maudy itu mengulurkan tangannya. Bagas membalas uluran tangan cewek itu, menyalami balik.

BagasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang