Empat Belas

12 0 0
                                    

Sesuai janjinya dengan Bagas, Maudy menunggu cowok itu untuk pulang bersama. Bel pulang sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu, tapi belum ada tanda-tanda kelas Bagas akan bubar. Maudy yang awalnya menunggu di parkiran, berpindah ke depan kelas sebelah Bagas mulai merasa bosan. Iya, dia tidak seberani itu menunggu pacarnya di depan kelas langsung. Masih ada rasa malu-malu didiri cewek itu.

"Maudy."

Maudy menoleh pada orang yang memanggil namanya. Disana berdiri Irfan dengan baju basket yang menempel di badannya, menggantikan seragam sekolah.

"Hai, Fan."

Maudy mengenal Irfan. Si kapten basket sekaligus anak pemilik sekolah. Mereka satu kelas saat kelas sepuluh.  Naik ke kelas sebelas mereka pisah kelas.

"Ngapain lo di depan MIPA 5? Bukannya lo MIPA 2?"

"Eh itu ...." Maudy bingung mau menjawab apa. Masa dia bilang kalau sedang menunggu pacarnya bubar kelas?

"Lo–"

"Fan, dipanggil pelatih!" Panggilan untuk Irfan menyelamatkan Maudy. Irfan yang hendak membuka mulut untuk bertanya, membatalkan niatnya. Cowok itu berbalik pergi setelah berpamitan pada Maudy.

"Huft, untung ada yang manggil Irfan. Ini kelas Bagas masih lama kah? Makin lama gue disini, makin banyak ketemu orang. Males ditanya-tanya," dialog Maudy pada dirinya sendiri. Cewek itu berulang kali mengecek jam di ponselnya.

Tepat lima menit kemudian, kelas Bagas bubar. Berbondong-bondong siswa keluar tidak sabaran.

Maudy sontak berdiri saat melihat Bagas keluar dengan kedua sahabatnya. Tangannya yang hendak melambai ke Bagas, ditariknya kembali ke sisi tubuhnya saat melihat Pak Zalan ikut keluar dari XI MIPA 4.

Duh, mati gue. Kenapa harus Pak Zalan sih?

"Maudy? Kenapa belum pulang?" tanya Pak Zalan pada salah satu murid favoritnya itu.

"Ini mau pulang, Pak," jawab Maudy dengan senyum canggung. Matanya bersitatap dengan Bagas yang berdiri di belakang Pak Zalan. Dia memperingati Bagas lewat tatapannya agar tidak melakukan hal aneh.

"Hati-hati pulangnya," pesan Pak Zalan sebelum berlalu. Maudy hendak menghampiri Bagas tapi terhalangi karena tiba-tiba Pak Zalan memanggilnya.

"Oh iya, Maudy."

"Iya, Pak." Maudy membalikkan badannya ke arah Pak Zalan.

"Minggu ini kita nggak pembinaan dulu, ya. Saya ada urusan mendadak. Tolong sampaikan ke teman-teman yang lain. Kita lanjutkan minggu depan seperti jadwal biasanya."

"Baik, Pak," angguk Maudy patuh.

"Ya sudah. Saya duluan, ya."

Setelah memastikan Pak Zalan bena-benar pergi, Maudy baru berbalik ke arah Bagas yang tersenyum jahil padanya.

"Sepanik itu, ya, ketahuan Pak Zalan?" goda cowok itu.

"Males aja ntar ditanya-tanya. Pak Zalan kadang suka kepo sama urusan gituan. Yang cinlok di pembinaan aja suka digodain sama si Bapak."

"Eh, ada yang cinlok, Dy?" Ardan tiba-tiba nimbrung diantara dua sejoli itu,

Maudy mengangguk, "ada. Kak Qia sama Kak Rinto."

"Gue kira mereka pacaran karena dicomblangin kembaran Kak Qia. Kak Qio kan satu club ekskul sama Kak Rinto." Kali ini Ghani yang ikut nimbrung. Dua cowok itu memang belum pulang. Katanya sih mau menunggu Bagas yang aslinya tidak perlu ditunggu. Toh Bagas bakal pulang sama Maudy.

"Kata Kak Qia sih emang awalnya dicomblangin Kak Qio. Tapi dia baru merhatiin Kak Rinto setelah mereka satu pembinaan olim."

"Wah, lo harus hati-hati, Sob. Jangan sampai Maudy diembat sama teman satu pembinaannya. Yang lebih ganteng dari lo kan banyak disana," kata Ardan hendak menjahili temannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 28, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BagasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang