Empat

20 6 0
                                    

Gas, gue ke kantin bareng Irfan ya.

Bagas sudah biasa ditinggalkan Hana seperti ini. Cewek itu menghabiskan waktu bersama kekasihnya, meninggalkan Bagas sendirian. Bagas hanya bisa pasrah menerima. Tidak bisa protes karena statusnya hanya sebagai sahabat. Bagas tahu diri kalau dia itu bukan prioritas Hana, meskipun dirinya selalu menjadikan Hana prioritas.

"Dan, Ghan, ke kantin nggak?" tanya Bagas pada Ardan dan Ghani. Dua cowok itu merupakan sahabatnya selain Hana. Mereka sama-sama hobi futsal dan berkecimpung di organisasi yang sama.

"Iya, lapar gue. Mau makan siomay Bu Atik," kata Ghani seraya mengelus perutnya.

"Ayo ke kantin. Gue juga mau ngisi perut."

Tiga cowok itu berjalan beriringan menuju kantin. Sepanjang jalan, tidak sedikit yang curi-curi melirik mereka. Mereka bertiga memang mempunyai paras yang tampan. Apalagi Bagas, cowok tinggi beralis tebal itu memiliki pesona yang tidak bisa dilewatkan oleh cewek manapun. Kecuali Hana.

"Ini selalu terjadi kalau kita jalan bareng. Apalagi kalau ada Bagas," celutuk Ghani. Sesekali cowok itu melambaikan tangannya genit pada adik kelas yang mereka lewati.

"Maksudnya gimana?" tanya Bagas tidak mengerti.

"Cewek-cewek itu. Lo nggak sadar mereka ngeliatin kita?"

Bagas memerhatikan sekelilingnya. Benar kata Ardan, banyak yang memerhatikan mereka walaupun hanya sekilas ataupun curi-curi pandang. Pesona tiga cowok ganteng itu memang tidak bisa diragukan

"Gue baru sadar," lirih Bagas.

"Santai aja, Gas." Ghani merangkul bahu Bagas. "Cuek aja. emang susah kalau jadi orang ganteng. Gue merasakan apa yang lo rasakan."

"Ye, kocak lo! Kepedean," cibir Ardan.

Tiga cowok itu sampai di kantin dan duduk di bangku tengah. Kantin terlihat ramai, seperti biasanya. Tidak ada sejarahnya kantin sepi ketika jam istirahat. Semua siswa dan siswi pasti berbondong-bondong ke tempat ini untuk mengisi tenaga mereka yang sudah terkuras ketika belajar sebelumnya.

"Kalian mau apa? Biar gue yang pesan," tawar Ardan.

"Gue siomay sama es teh," kata Ghani.

"Gue bakso, nggak usah pake mie sama air mineral." Bagas dan Ghani memberikan uang mereka pada Ardan. Ardan segera berlalu menuju bagian kantin yang dipenuhi oleh para penjual.

Sembari menunggu Ardan, Bagas dan Ghani memainkan ponsel masing-masing. Tapi Bagas tidak bertahan lama dengan aktivitasnya. Cowok itu bosan karena tidak menemukan hal yang menarik. Matanya menjelajahi seisi kantin untuk mengisi waktu. Kantin terlihat penuh dan riuh dengan berbagai suara. Mata Bagas tiba-tiba berhenti di salah satu titik. Tidak jauh dari mejanya, Bagas melihat Hana dan Irfan. Kedua sejoli itu sedang menikmati makanannya dan sesekali bercengkrama. Hana bahkan membantu Irfan menyuapkan makanannya karena tangan Irfan yang masih belum sembuh. Hati Bagas teriris melihatnya. Sesering apapun dia melihat interaksi antara Hana dan Irfan, sakit yang dia rasakan tidak pernah berkurang. Rasa sakitnya selalu sama, terkadang bertambah.

Bagas memutuskan untuk berhenti menyakiti dirinya dengan tidak memperhatikan Hana dan Irfan lagi. Hatinya sudah cukup berdarah melihat dua orang itu. Bagas mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tapi ternyata yang dia lihat adalah Maudy dan dua orang temannya.

Ah, Bagas tidak lagi bertemu maupun berkomunikasi dengan Maudy sejak mereka bertemu di super market itu. Bagas sempat meminta nomor ponsel Maudy, tapi sampai saat ini dia masih belum berniat dan menemukan alasan untuk menghubungi cewek itu. Jadilah nomor ponsel Maudy masih nganggur di kontaknya.

BagasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang