Satu

82 12 0
                                    

Bagas memerhatikan jam tangan berwarna hitam yang melingkar dipergelangan tangannya. Sudah pukul tujuh kurang seperempat, tapi Hana sama sekali belum selesai dengan ritual bersiapnya sebelum berangkat sekolah. Padahal lima belas menit lagi gerbang sekolah akan ditutup. Bagas khawatir mereka akan terlambat.

"Masih belum selesai Hananya, Gas?" tanya ibu Hana.

"Belum. Tan. Padahal sebentar lagi gerbang mau ditutup," keluh Bagas.

"Itu anak kebiasaan emang. Pergi ke sekolah aja dandannya lama. Bentar, Tante panggilin dulu." Tepat ketika itu, Hana datang sembari menenteng tas sekolah berwarna hijau lumutnya dengan cengiran lebar.

"Cengar-cengir kayak kuda aja lo. Udah jam berapa ni? Kita bisa telat. Lo lupa ya kalau kita kultum pagi?" omel Bagas panjang-pendek. Hana hanya tertawa lalu mengambil kotak bekal dari tangan ibunya, lalu pamit menyalami wanita itu.

"Hana berangkat ya, Ma. Bos besar udah ngamuk," kikik Hana. Ibunya hanya bisa menggeleng pasrah melihat kelakuan anak gadisnya itu.

"Kamu kebiasaan banget dandan lama. Untung Bagas sabar mau nungguin kamu. Kalau nggak, udah ditinggal kamu dari tadi sama dia," kata ibunya.

"Nggak bakal dia berani ninggalin Hana, Ma," kata Hana. Lalu dia melihat ke arah Bagas. "Yok, Bang Ojek. Kita berangkat."

"Bang Ojek pala lo," omel Bagas. Lalu dia menyalami ibu Hana. Pamit pada wanita itu. Setelahnya, kerah seragamnya sudah ditarik begitu saja oleh Hana .

"Jangan ditarik, Han. Putus leher gue," ronta Bagas. Hana baru melepaskan Bagas setelah mereka sampai di motor Bagas.

"Ayo. Telat nih kita," kata Hana ringan tanpa dosa. Bagas menggerutu panjang pendek. Cowok itu menaiki motornya, lalu membantu Hana. Tubuh Hana yang terbilang mungil itu cukup kesusahan menaiki motor sport miliknya. Harus selalu dibantu.

"Tukar motor bisa nggak sih, Gas? Susah nih gue kalau mau nebeng sama lo," kata Hana dibalik bahu Bagas. Hana melingkarkan lengannya di pinggang Bagas, memeluk Bagas seperti kebiasaannya karena takut jatuh. Tapi Hana tidak pernah tahu efek yang ia berikan pada Bagas setiap ia melingkarkan lengannya di tubuh Bagas.

"Nggak usah nebeng lagi kalau gitu. Sama Irfan aja yang pake mobil," balas Bagas pendek. Hana merenggut lalu memukul pundak Bagas pelan.

"Ih ngambekan! Lo nggak ikhlas ya jemput gue?"

"Kalau nggak ikhlas, nggak bakal lo duduk di jok motor gue sekarang."

"Bagas emang terbaik." Hana menyandarkan kepalanya yang berbalut helm pink ke bahu Bagas dengan nyaman. "Irfan ada tanding basket pagi ini. Makanya nggak bisa jemput. Padahal gue mau bolos supaya bisa liat dia main, malah nggak dibolehin."

"Lo jangan coba-coba buat bolos ya. Gue aduin Tante Marta baru tahu rasa lo."

"Bagas, ih, ancamannya. Ntar gue nggak dikasih uang jajan seminggu sama Mama kalau lo aduin."

"Minta jajanin pacar lo lah. Pacar lo kan kaya."

Hana memukul lagi bahu Bagas. "Lo kira gue cewek matre."

Bagas hanya berdehem, tidak tertarik untuk melanjutkan pembicaraan. Cowok itu memacu motornya lebih cepat agar sampai di sekolah tepat waktu. Selain memang malas meladeni Hana lebih lanjut., dia sedang mempertaruhkan reputasinya saat ini jika dia terlambat.

Lima menit kemudian motor Bagas sudah mengisi salah satu lahan parkir SMA Lazuardi. Cowok itu membiarkan Hana turun duluan dengan bertumpu pada bahunya. Setelah itu, dia baru melepas helm dan ikut turun juga. Hana memberikan helm pinknya pada Bagas.

"Pulangnya barengan lagi?" tanya Bagas. Hana mengangguk singkat. "Ya udah. Yuk ke kelas."

Bagas dan Hana berjalan beriringan menuju kelas. Kedekatan keduanya tidak lagi menimbulkan tanda tanya bagi orang-orang. Semua orang tahu jika Bagas dan Hana hanya sebatas sahabat, meskipun tentu saja ada gosip-gosip aneh dibelakangnya. Banyak yang berasumsi salah satu dari mereka pasti saling menyukai. Mereka benar. Memang ada hal seperti itu di antara mereka.

BagasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang