Delapan

6 3 0
                                    

Sesuai perkiraan, Bagas remedial ulangan biologi. Nilainya jangan disebut. Bagas malu sekali. Yang pasti di bawah KKM. Nasibnya tidak jauh beda dengan Ghani dan Ardan. Dua sahabatnya itu juga remedial. Berbeda dengan Hana yang mendapat nilai bagus. Meskipun tidak tahu berapa nilai cewek itu, terlihat jelas di wajah Hana yang tersenyum senang melihat kertas ulangannya.

"Gas," colek Ghani dari belakang. Bagas curi-curi kesempatan melihat kebelakang. Pak Zalan sedang menerangkan materi baru sambil menggambar indah di sebelah layar power point-nya.

"Apa?" bisik Bagas.

"Nilai lo berapa? Remed?" Bagas mengangguk. "Sama, gue juga. Ardan juga."

"Itu aja?"

"Iya," angguk Ghani polos. Bagas mendengkus kesal. Tidak penting sekali yang dilakukan sahabatnya. Bagas kembali memerhatikan Pak Zalan. Meskipun harus menahan kantuk dan rasa malas, ia mendengar dan melihat dengan fokus apa yang guru killer itu ajarkan. Bagas bertekad untuk memerbaiki nilai biologinya yang selalu pas-pasan.

"Ardan dan Ghani, maju ke depan. Gambar ulang apa yang saya jelaskan tadi dan kalian jelaskan ke teman kalian." Suara Pak Zalan menggema indah membuat tubuh seluruh siswa menegang, tidak hanya Ardan dan Ghani yang ketahuan ngobrol saat laki-laki paruh baya itu mengajar. Bagas merutuki kebodohan sahabatnya yang selalu hobi mencari masalah dengan Pak Zalan.

"A ... anu, Pak ...." Ghani gagap seketika. Sedangkan Ardan menunduk dalam, ketakutan.

"Nggak ada anu-anu. Maju!"

Bagas menoleh singkat pada dua sahabatnya, mengepalkan tangan dan memberi semangat bahwa dunia mereka tidak berakhir hanya karena disuruh Pak Zalan maju ke depan kelas.

***

"Gas, gue nggak sanggup. Gue nggak ngerti," rengek Ghani frustrasi. Mereka bertiga sedang berada di perpustakaan. Gayaannya mau belajar biologi untuk remedial minggu depan. Namun, baru satu halaman baca materi, otak mereka sudah ngepul dan meronta tidak sanggup.

"Ada nggak, sih, cara belajar biologi yang mudah dan menyenangkan? Mata gue nggak betah liat tulisan semua," keluh Ardan. Cowok itu menutup buku biologinya. Belum apa-apa tapi dia sudah menyerah.

"Gue juga nggak tahu harus gimana." Setali tiga uang dengan temannya, Bagas juga menyerah.

"Ke kantin dulu, deh. Mau beli minuman dingin buat nyegerin otak. Ikut nggak?" tawar Ghani yang direspon gelengan oleh Bagas dan anggukan oleh Ardan.

"Nggak mau nitip, Gas?" tanya Ardan. Bagas menggeleng. Dia tidak mood karena pusing memikirkan biologi.

"Nggak usah dipaksain. Kalau otak lo kebakar, nggak ada gantinya," kelakar Ghani sebelum beranjak bersama Ardan.

Sepeninggal Ghani dan Ardan, Bagas kembali memulai perjuangannya. Dia menghela napas sebentar, baca doa, lalu membuka buku keramat itu. Dengan penuh niat dan tekat, Bagas mulai membaca kalimat per kalimat. Tapi, belum sampai lima menit, ia mengacak kasar rambutnya dan ingin berteriak kalau dia sudah menyerah.

"Kenapa, sih, baca doang susah banget?" geram Bagas tertahan. Dia rasanya mau ngeblender buku biologi terus diminum dan berharap semua kalimat di buku itu pindah menempel ke otaknya.

"Bagas?" Di tengah kekalutannya, Maudy muncul dengan wajah heran. Cewek itu memegang buku di tangannya. Sepertinya Bagas sering ketemu Maudy pas lagi sama buku.

"Hai, Dy," sapa Bagas lesu. Maudy heran melihat teman barunya itu tidak sesemangat biasanya.

"Kok lesu?"

"Nih." Bagas menunjuk buku biologinya dengan cemberut. Mata Maudy mengikuti tangan Bagas lalu ber-oh ria.

"Oh, biologi."

BagasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang