21. Menemani Aruna

922 95 6
                                    

Kandisya duduk termenung disamping Aruna yang tengah terbaring lemah di atas hospital bed. Wajah cantik milik putrinya itu berubah memucat. Tubuh aktif yang terbiasa bergerak kesana kemari itu kini tampak tak berdaya. Hatinya menangis melihat bagaimana kondisi Aruna saat ini, apalagi dia melewati semuanya tanpa Daniel disampingnya.

Andai Daniel masih hidup, dia pasti tidak akan memikulnya seorang diri. Suaminya pasti akan mengambil alih semua beban itu. Daniel pasti tidak akan membiarkannya menangis sendirian.

Kandisya terisak dalam diamnya. Bibirnya ingin sekali menyuarakan relung pilu yang tengah dia rasakan. Namun dia tak punya tempat berkeluh kesah. Meski banyak orang disekelilingnya tapi dia selalu merasa sendirian.

"Apa panasnya sudah turun?"

Kandisya yang baru tersadar dari lamunannya langsung memandang lekat wajah pria yang baru saja mengajaknya berbicara itu.

"Sya....Disya?" Panggil Rengga saat melihat tatapan kosong milik Kandisya.

"Ahhh iya, maaf tadi kamu tanya apa?"

"Apa kamu baik-baik aja?" Tanya Rengga menjadi sedikit khawatir karena Kandisya yang terus melamun.

"Aku nggak apa-apa kok."

Rengga balik menatap Kandisya, meyakinkan dirinya bahwa wanita itu baik-baik saja. "Apa Runa panasnya udah turun?"

"Masih sama."

"Hasilnya lab-nya udah keluar belum? Aruna sakit apa?"

"Typus."

Helaan napas terdengar dari mulut Rengga. "Sudah kuduga." ucapnya sambil menyentuh dahi Aruna menggunakan punggung tangannya.

"Kamu udah makan?"

Kandisya mengangguk pelan. "Gimana caranya kamu bisa masuk kesini? Ini bukan jam besuk, loh."

Rengga kemudian menunjukan acces card yang diberikan Arjuna yang biasa digunakan penunggu pasien supaya bisa keluar masuk dengan mudah tanpa pemeriksaan.

"Aku bawakan makanan kesukaan kamu."

Tahu kalau Kandisya belum menyentuh nasi sejak tadi pagi, Rengga pun mengeluarkan sesuatu dalam kantung kresek yang dia bawa.

"Nggak usah repot-repot, Ga. Ada banyak makanan disini, sayang kalau nggak dimakan." Tolak Kandisya.

"Nggak apa-apa. Kamu itu belum makan nasi dari pagi."

Menyadari tubuhnya yang lemas, Kandisya pun menerima makanan tersebut. Lagipula ini masih belum terlalu malam, jadi masih aman jika dirinya mengkonsumsi nasi.

"Kamu sebaiknya istirahat aja, biar aku yang jagain Aruna." Ucap Rengga setelah Kandisya menyelesaikan makan malamnya.

Kandisya menolak. Tentu saja dia tidak akan mengizinkan pria itu berada disampingnya. "Lebih baik kamu pulang aja. Aku bisa mengurus Aruna sendirian."

Rengga kemudian mendekati Kandisya. "Ijinkan malam ini aku ikut menjaga Aruna. Aku nggak mau kamu sakit karena siang malam terus menerus jagain dia. Kamu juga harus kuat dan sehat demi putrimu."

"Jangan. Kalau mbak Kenanga tahu bagaimana?" tolak Kandisya.

"Kenanga nggak akan tahu. Yang tahu aku disini cuma kita berdua. Kamu tenang aja."

"Aku nggak mau dia jadi salah paham soal perhatian kamu ke Runa. Tolonglah Rengga, sebaiknya kamu pulang aja sekarang."

"Please, untuk malam ini aja." Pinta Rengga seraya memohon.

Kandisya menghela napas lelahnya. Sepertinya dia sudah kehabisan kata untuk mencegah pria itu.
"Kenapa kamu peduli sama Runa? Dia itu anakku bukan anakmu."

Sang Mantan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang