13. Rahasia yang terungkap

1.2K 121 4
                                    

"Bokapnya udah meninggal. Mereka bertiga mengalami kecelakaan di Jakarta."

Sontak, informasi yang diberikan Rama membuat ketiga sahabatnya serempak menatap Aruna dengan iba. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan gadis kecil itu ketika harus kehilangan ayahnya.

"Dia pasti mengalami trauma?"

Rama mengangguk membenarkan. "Trauma banget, bahkan sampai sekarang."

"Kondisi ibunya bagaimana?" Tanya Rengga.

"Ibunya sempat nggak bangun lagi pasca operasi. Tapi syukurlah setelah beberapa minggu kemudian akhirnya dia sadar kembali meskipun sempet nggak bisa jalan dan harus memakai kursi roda untuk beberapa bulan."

"Apa sekarang kondisinya udah membaik?" kembali Rengga bertanya.

"Seperti yang kalian liat sekarang. Walaupun terlihat baik-baik saja tapi sebenarnya dia itu rapuh. Makanya waktu lo bilang lagi butuh desainer untuk ModaFash, gue langsung rekomendisikan dia. Karena setelah kecelakaan itu, dia sama sekali nggak melakukan apapun. Gue cuma pengen dia bangkit, sembuh dari traumanya dan berkarya lagi."

Rengga seperti kehilangan napas untuk beberapa saat. Fakta yang baru saja diungkap oleh sahabatnya itu membuat dadanya terasa sesak. Walaupun Rama tidak menyebutkan namanya, namun sudah sangat jelas kalau wanita yang sedang dibicarakannya adalah Kandisya.

"Dia Kandisya?" Rengga memastikan kembali dan berharap kalau kenyataan yang barusan dia dengar itu salah.

"Iya, dia Disya."

Seketika hatinya mencelos. Kekasih hati yang selama ini masih menempati ruang hatinya ternyata sudah menikah dengan pria lain. Bahkan sekarang mereka sudah memiliki seorang anak.

"Lo deket ama dia, Ram?"

"Deket banget."

Rengga langsung menatap Rama penuh curiga, menduga kalau Rama punya perasaan khusus pada Kandisya.

Seolah mengerti dengan apa yang dipikirkan temannya, Rama langsung memberikan penjelasan. "Jangan mikir yang aneh-aneh. Kandisya itu anak boss gue dan udah gue anggap kayak adek sendiri."

Lagi-lagi Rengga dibuat terkejut. Ternyata begitu banyak sisi dari Kandisya yang belum banyak dia ketahui, termasuk siapa ayah kandungnya. "Jadi Kandisya itu anak pak Bagaskara Juniko?" Tanya Rengga.

"Tepatnya, anak bungsunya pak Bagas."

Rengga menarik napas panjang untuk menormalkan kembali ekspresinya. Tentu dia mengenal dengan baik siapa Bagaskara Juniko. Gedung Biru Fesyenindo miliknya adalah salah satu hasil karya terbaik dari arsitek senior itu.

"Lo kenapa?" tanya Rama, heran dengan ekspresi Rengga yang tidak seperti biasanya.

"Nggak apa-apa. Gue cuma terbawa suasana aja denger cerita tentang Aruna dan keluarganya." Jawab Rengga.

Suasana hati Rengga saat ini benar-benar kacau. Sulit rasanya menyembunyikan ekspresi kekecewaan yang tengah dia rasakan. Semua begitu kentara. 

Namun semua menjadi terselamatkan saat makanan yang sudah mereka pesan tiba, sehingga Rengga bisa mengalihkan kesedihannya sejenak. "Sebaiknya kita makan dulu, Aruna sepertinya udah lapar."

Naluri kebapakan Rengga tiba-tiba muncul saat melihat Aruna hendak makan. Dia tidak sampai hati melihat gadis kecil itu makan sendiri padahal biasanya juga begitu. Aruna sudah besar dan bisa melakukannya sendiri.

"Aruna, mau paman suapin?" tawarnya.

"Mau, paman."

Rengga mengambil alih piring dan sendok milik gadis kecil itu kemudian mulai menyuapinya dengan sabar. Perhatian dan perlakuan yang Rengga berikan padanya membuat Aruna senang. Dia seperti mendapatkan kembali kebiasaan yang hilang setelah kepergian Daniel. Dengan perasaan bahagia Aruna menikmati suapan demi suapan yang diberikan Rengga dengan lahap.

Rengga pun takjub akan kemampuan dirinya sendiri karena menyuapi anak kecil adalah kegiatan yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Rengga refleks melakukanya karena dia tahu betul kalau gadis kecil yang ada dihadapanya itu tidak akan pernah mendapatkan suapan lagi dari ayah kandungnya. Dan entah kenapa Rengga menginginkan Aruna tidak kehilangan moment itu.

Rengga menyuapi Aruna sampai makanan yang ada didalam piringnya benar-benar tak bersisa. Setelah itu dia baru memakan makanannya sendiri. Pemandangan itu tidak luput dari perhatian Rama yang sedikit heran dengan sikap dan perhatian Rengga yang berlebihan pada Aruna. Padahal mereka berdua baru saja bertemu.

"Ihh asem.." protes Aruna saat mencoba minuman pesanannya.

"Masa sih?" tanya Rengga sambil mencoba minuman yang kata Aruna asam itu. "Nggak terlalu asam sih. Tapi ini nggak baik buat perut Aruna. Aruna minum jus punya paman aja yaa, biar yang ini buat paman."  Rengga rela menukar minumannya demi gadis kecil itu agar jangan sampai sakit perut ketika sampai rumah nanti. Kasihan Kandisya kalau sampai Aruna sakit. 

"Lo mau langsung balik?" tanya Rengga setelah mereka menyelesaikan makan siangnya.

"Gue mau ke toko buku dulu, ada beberapa buku yang harus gue beli."

"Sama Aruna?"

"Iya, sekalian juga nyari buku cerita buat dia."

"Lo nggak repot bawa-bawa Aruna?"

"Nggak lah. Justru gue ngerasa aneh kalau nggak direpotin anak itu." Jawab Rama sambil terkekeh.

"Oh ya, gimana kalau Aruna ikut gue aja, jadi lo bisa bebas dan santai milih-milih bukunya."

"Jangan deh, lo belum tahu Aruna. Dia itu aktif dan bawel loh. Gue takut ganggu nanti."

"Nggak masalah, lagian ada Sindy juga. Banyak yang jagain dia dikantor."

Rama tampak mempertimbangkan saran dari Rengga. Dia tidak hanya memikirkan tentang dirinya sendiri saja tapi juga memikirkan bagaimana nasib Rengga nantinya apabila Aruna bertingkah menyebalkan. "Lo yakin?" Tanya Rama. "Apa sebaiknya kita tanya dulu anaknya soalnya dia nggak gampang deket sama orang yang baru dia kenal."

Rama menoleh ke Arah Aruna yang sedang asik memainkan gadgetnya sambil duduk dipangkuan Rengga. Dia tersenyum melihat Aruna yang sepertinya nyaman berdekatan dengan Rengga. Padahal mereka baru saja bertemu.

"Aruna mau nggak kalau ikut sama paman Rengga? Soalnya paman ada perlu dulu sebentar. Nanti paman jemput lagi kalau urusan paman sudah selesai."

Aruna yang sedang fokus pada layar gadgetnya beralih menatap Rama, berpikir sejenak kemudian mengangguk mantap. Dia tampak tidak keberatan karena sejak pertama bertemu, gadis kecil itu memang sudah tertarik dengan Rengga.

"Anak pintar." Rengga mengacak pelan rambut Aruna dengan gemas. "Kalau begitu udahan dulu ya main game-nya, nanti kita lanjutkan lagi kalau udah sampai dikantor Paman." bujuknya.

Rama menatap tidak percaya akan kedekatan Rengga dan Aruna yang terjadi begitu cepat. "Lo nggak bermaksud pdkt kan?"

Rengga mengernyitkan dahi. "Pdkt? Pdkt gimana maksud lo?"

"Lo nggak lagi ngerencanain sesuatu kan? Semacam deketin dulu anaknya, setelah itu baru lo deketin nyokapnya."

Rengga langsung mendelik ke arah sahabatnya itu. "Lo tuh kebanyakan nonton drama. Ya nggak lah. Ada-ada aja." ucap Rengga sambil geleng-geleng kepala.

"Tapi si Biru selangkah lebih maju loh, daripada elo." Sela Arjuna.

"Ish..kenapa jadi gue sih. Kita kan lagi ngomongin dia." tunjuk Rama pada Rengga. "Lagian dalam jodoh itu nggak ada istilah kata terlambat. Lebih baik tepat meskipun telat, daripada cepat tapi berakhir kilat."

"Halah bisa aja. Elo tuh bisanya cuma teori doang tapi sampe sekarang nggak ada cewek yang mau sama lo." cibir Arjuna.

"Bukan nggak ada yang mau, tapi belum ada yang beruntung dapetin gue."

"Hueekkk."

Rengga yang sejak tadi memperhatikan keduanya langsung tertawa terbahak-bahak. Seolah-olah seperti sedang menonton sebuah acara komedi saat menyaksikan Perdebatan kedua sahabatnya itu.

---------------------------♥️♥️♥️♥️♥️---------------------------------------

Hahaha... bisa aja.
Mas Rama rupanya pinter ngeles juga yaa...

Jangan lupa untuk terus kasih vote dan komen yaa..

Penarika♥️

Sang Mantan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang