Do'ain semoga bisa sampai 40 part ya, aku usahain ini cerita tamat di bulan ini kalau nggak bulan depan, semoga bisa sesuai rencana.
Jangan lupa vote dan komen, karena dua hal itu berdampak besar bagi mood aku buat ngetik wkwkwk
Happy reading
.
.
.Angin berhembus kencang membuat rambut gadis yang tengah Febri perhatikan itu terus terbang terbawa angin. Segaris senyumnya terbit melihat sang kekasih asik menikmati air kelapa muda dengan satu tangan yang terus menggenggam tangannya.
"Nggak mau dilepas?"
Vani mendongak kemudian menggeleng polos. "Nggak mau, nanti kalau kamu kabur gimana?" ujarnya membuat Febri tertawa renyah.
"Aku nggak bakal kabur, apalagi pergi dari sisi kamu, dan aku juga nggak bakal biarin kamu kabur apalagi pergi dari sisi aku. Ingat, Sayang ... pisau punyaku nggak suka jadi pendiam," balas Febri membuat Vani langsung menunduk dan mengigit kuat sedotan yang masih menempel di bibirnya.
"Ka--mu bisa nggak usah main pisau lagi, Feb? Buat aku." Vani bertanya ragu.
"Pisau lebih berharga dari pada kamu."
Vani menghembuskan napas kasar, ia memalingkan wajah menatap hamparan pasir dengan tatapan kosong.
Febri yang melihat hanya mengidikkan bahu acuh. Barang peninggalan dari almarhum ibunya tentu saja lebih berharga dari apapun. Lagi pula, jika ia membuang pisaunya, lalu dengan apa ia menghukum Vani jika gadis itu membuat kesalahan?
Dengan ciuman? Ck, jangan bercanda! Itu tidak akan membuat Vani kapok. Dengan pisau saja masih sering membangkang, apalagi jika hanya dengan ciuman.
"Mau main air?"
Pertanyaan Febri membuat Vani kembali menatap laki-laki dengan mata berbinar. "Mau," jawabnya dengan antusias.
"Tapi masih panas, nanti aja, tunggu agak sorean," balas Febri tanpa dosa. Dia mengacak rambut Vani kemudian mulai mengalihkan dunia pada game.
"Kalau gitu ngapain nanya." Vani mencibir pelan, dia kembali memalingkan wajah menatap manusia yang tengah lalu lalang.
"Kalau main game, main game aja, nggak usah pegangan," kata Vani kesal saat kekesalannya sama sekali tak dihiraukan oleh Febri, laki-laki itu terlalu asik dengan gamenya.
"Sst, jangan brisik." Febri mengeratkan genggamannya pada tangan Vani sembari asik bermain game. Dia takut Vani kabur.
Febri sedikit menyesal tidak membawa borgol saat ini, harusnya ia membawa barang itu tadi agar ia tak perlu khawatir Vani akan kabur.
"Ck." Febri berdecak sebal kala Vani berusaha melepaskan tangan yang ia genggam, ditatapnya Vani dengan tajam tapi tak membuat Vani ketakutan.
"Aku mau makan." Vani menjawab tatapan Febri yang penuh ancaman dan kemarahan.
Febri menghembus napas kasar kemudian melepaskan tangan Vani membuat gadis itu menerbitkan segaris senyum.
"Senyum sekali lagi, aku robek mulut kamu," desis Febri tajam tanpa menatap gadis itu membuat Vani menelan ludah susah payah. Aura gelap dari tubuh laki-laki itu menguar membuat ketakutan di diri Vani kembali hadir.
"Ke--napa?" Vani bertanya hati-hati membuat Febri kembal menatap Vani dengan tajam.
"Senyum kalau aku lagi natap kamu, selain itu awas aja, aku robek mulut kamu. Senyum kamu cuma punya aku,aku nggak suka berbagi. Ingat itu!"
Vani memejamkan mata takut, mencoba tenang, dia menarik napas panjang kemudian menghembuskan secara perlahan.
"Ngerti?" Kelopak mata Vani semakin terpejam erat saat merasakan sapuan halus di pipinya yang membuat buku kuduknya meremang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]
Teen FictionFollow sebelum membaca "Keluarlah, Sayang! Percuma kau bersembunyi, aku akan menemukanmu!" Febri menendang meja tempat persembunyian Vani dengan kuat hingga membuat meja itu jatuh memporak porandakan hati Vani yang bergemuruh. "Ketemu juga." Vani...