Minta pisau dulu dong 🔪🔪
Selamat membaca
***
"Bisa nggak usah main pisau?" Wanita paruh baya itu menatap pemuda di depannya dengan tajam.
"Nggak," jawab Febri dengan santai membuat Febi menggeram di tempat.
"Jangan main pisau! Kalau mau main pisau di dapur, jangan di tubuh Vani! Kamu kira dia kayu, bisa kamu ukir-ukir?!" Jiwa bar-bar yang telah lama dipendam akhirnya keluar tanpa bisa ditahan.
"Baik, aku akan membawanya ke dapur jika ingin bermain pisau di tubuhnya."
Febi menghembuskan napas panjang untuk berbicara pada calon mantu gilanya itu. Setengah jam ia bernegosiasi, tapi Febri sama sekali ingin mengalah. Laki-laki itu pikir, tubuh Vani kayu bisa diukir-ukir? Tidak tahu apa perjuangan melahirkan Vani itu sangat besar. Rasa sakit yang ia rasakan tak tanggung-tanggung dan apa yang dilakukan Febri?! Menggores kulit Vani sesuka hatinya. Sedari anak gadisnya itu di dalam rahim, sudah ia rawat baik-baik. Ia obati setiap luka di tubuh Vani agar kulit putrinya itu tetap mulus, tapi sekarang Febri dengan seenak jidat merusak kemulusan kulit anaknya. Otaknya di mana?! Kesal juga lama-lama.
"Jangan sakiti fisik dan hati Vani kalau kamu mau dapat restu!" Febi menekan setiap katanya membuat sebelah sudut bibir Febri terangkat.
"Saya tidak perlu restu kalian," jawabnya membuat Febi hampir putus asa.
Febi kembali menghembuskan napas secara perlahan, kemudian menatap Febri dengan serius. "Kamu pernah denger nggak 'Ridho Tuhan tergantung ridho orang tua'? Kalau saya dan suami saya tidak merestui kamu, maka Allah juga nggak bakal ngerestuin kamu. Kamu bisa aja ambil Vani secara paksa tanpa kami bisa berkutik untuk kembali mengambil Vani, tapi ingat! Tuhan juga bisa mengambil Vani secara paksa tanpa kamu kuasa menolak. Atau, kalian akan dipisahkan dengan cara apa saja, yang jelas kamu tidak akan bisa menolak."
Febri menatap Febi tajam. "Jangan berbicara sembarang!"
"Saya tidak berbicara sembarangan."
"Saya tidak akan menyakiti dia, jika dia menurut dan tidak membantah."
"Kamu mikir dong ...! Sebesar apa sih, dia bantah kamu? Cuma masalah kecil. Satu hari dia sama kamu, lukanya udah banyak banget, gimana kalau sampai sebulan? Setahun? Jadi apa tubuh putri saya? Vani nggak sekuat itu, Feb. Kalau kamu kayak gini terus dia bisa gila tau nggak? Sedikit kesalahan kamu kasih luka. Kalau dia selingkuh, pacaran sama laki-laki lain, berusaha bunuh kamu. It's oke. Dia yang salah, tapi ini masalah kecil. Apa kamu nggak bisa lembut sedikit aja sama Vani? Dia perempuan, dia lemah."
Febri mengacak rambutnya kasar. Laki-laki itu kembali menatap Febi. "Apa Anda bisa menjamin, jika Vani tidak akan melunjak saat saya perlakukan dengan baik?" tanyanya dengan tatapan tajam.
Febi diam.
"Baik, sebisa mungkin, saya akan memperlakukannya dengan baik, tapi sekali lagi dia mencoba kabur, saya tidak akan segan-segan memotong kakinya. Saya tidak akan melukai Vani, jika dia tidak mencoba kabur dan tidak membuat saya cemburu." Febri bangkit dan berjalan meninggalkan Febi.
"Nggak bisa gitu dong, kalau cemburu itu kan di luar kendali Vani!"
Febri membalikan tubuhnya. "Aku tak kan melukainya lagi, tapi aku tak berjanji. Do'akan saja agar aku tak khilaf."
***
Mata Vani perlahan terbuka ketika merasa seseorang terus saja mencium pipinya. Bibir bawahnya maju sedikit saat melihat Febri yang tengah berusaha mengusik tidurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]
Ficção AdolescenteFollow sebelum membaca "Keluarlah, Sayang! Percuma kau bersembunyi, aku akan menemukanmu!" Febri menendang meja tempat persembunyian Vani dengan kuat hingga membuat meja itu jatuh memporak porandakan hati Vani yang bergemuruh. "Ketemu juga." Vani...