Revan membuka pintu dengan pelan. Pundaknya terasa begitu pegal sedari tadi digunakan untuk menggendong Tasya yang cemberut saja sedari tadi. Geby yang berdiri di belakangnya cemberut melihat Tasya yang menjulurkan lidah, mengejek kekalahannya. Anak itu lama-lama begitu mengesalkan.
"Turun bentar, Sya. Abang mau ke kamar mandi." Revan menurunkan Tasya kemudian segeralah membalikan tubuh menghadap Geby. "Ayo pergi!" Revan mengangkat tubuh Geby sekali hentakan kemudian segera berlari membuat Tasya menghentakkan kaki kesal. Abangnya membohongi dirinya!
Geby menjulurkan lidah mengejek Tasya yang menatapnya datar.
"Adek siapa sih?" Febri berbisik kemudian terkekeh pelan sembari mengeratkan genggaman pada tangan Vani.
"Nggak tau, aku nggak kenal," balas Vani ikut tertawa. "Ayok, masuk!" Vani menarik Febri pelan memasuki ruang rawat sahabat ayahnya itu.
"Ayah ...."
"Kamu nggak papa?" Pria itu segera merengkuh tubuh putrinya. Sedari tadi ia cemas. "Mereka belum sempat ngapa-ngapain kamu 'kan? Ka--" Rafa menghentikan perkataannya kala melihat leher putrinya.
Bajunya sudah basah yang ia yakini disebabkan oleh air mata Vani. Ia tak mampu lagi berkata. Karma memang tidak akan salah alamat. Dulu, sewaktu ia masih muda, tepatnya di masa SMA, menghalalkan segala cara ia lakukan untuk memiliki Febi, bahkan ingin merebut kegadisan istrinya saat itu hampir ia lakukan jika saja ayahnya tak datang menghalangi.
"Maafin ayah, gara-gara ayah, kamu yang nanggung semuanya." Air mata itu menetes. Sedari tadi ia tak bisa tenang saat mendapat kabar dari Revan. Bahkan Febi sudah tak sadarkan diri lebih dulu, perempuan itu sudah menyerah akan takdir yang tertulis untuk putrinya itu.
"Aku nggak papa kok." Vani mengangkat wajahnya kemudian tersenyum, mengusap pipi dengan gerakan cepat membuat Febri memejamkan mata menahan dadanya yang tiba-tiba sesak. Semua memang salahnya, jika saja ia tak menuruti permintaan gadisnya, hal seperti itu tak akan terjadi pada Vani.
Kedua tangan Febri terkepal kuat. Ia mengeluarkan ponsel untuk mengirimkan pesan kepada Daven.
[Suruh mereka melakukan pengobatan sebaik dan secepat mungkin, aku tak sabar untuk membuat mereka cacat secara perlahan]
Febri mendekati Vani, menarik gadis itu pelan ke dalam dekapannya. "Don't cry, Baby," bisiknya lembut, mengecup pelipis gadis itu pelan.
"Iya ...." Vani menjawab parau, ia tersenyum kala Febri mengusap pipinya lembut menggunakan lengan bajunya yang panjang.
Jadi kangen Ican.
Dalam hati Van mengeluh kemudian melepaskan diri dari dekapan Febri. Ia beralih mencium punggung tangan kedua pria yang ada di dalam ruangan itu.
Gevin melirik Febri sinis. Gara-gara pemuda itu ia haru terbaring di rumah sakit seperti ini.
"Jaga matamu, Tuan, jika tak ingin pisauku mencongkel mata tak berguna itu!" Febri mendesis tajam, membuat Gevin meneguk ludahnya kasar. Baru ancaman tubuhnya sudah panas dingin. Mimpi apa Rafa bisa punya calon menantu gila seperti Febri.
"Kalau ngomong nggak boleh kayak gitu! Setidaknya punyalah sedikit etika ketika berbicara pada orang yang lebih tua!" Rafa menyentil dahi Febri keras, mendorong laki-laki itu pelan tapi pasti hingga terduduk di atas sofa.
Febri hanya diam tak perduli. "Itu bukanlah hal penting."
Vani menggelengkan kepalanya. I duduk di samping Febri mengusap lembut tangan Febri yang mengepal. Febri bukan marah pada Rafa, tapi ia marah pada tiga bedebah yang hampir menyentuh gadisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]
Teen FictionFollow sebelum membaca "Keluarlah, Sayang! Percuma kau bersembunyi, aku akan menemukanmu!" Febri menendang meja tempat persembunyian Vani dengan kuat hingga membuat meja itu jatuh memporak porandakan hati Vani yang bergemuruh. "Ketemu juga." Vani...