Follow dulu dong ah! 😂
***
"Mau jari mana yang dipotong, Sayang ...?" Febri menyeringai melihat Vani yang ketakutan.
Vani menggeleng kuat, ia berigsut mundur berusaha menjauhi Febri. Air matanya sudah banjir membasahi wajah dan juga bajunya. Tangannya bergerak untuk membuka pintu tapi tangan Febri sudah lebih dulu menariknya kembali mendekat. Tubuhnya bergetar takut melihat seringai Febri yang terus menatapnya.
"Jangan, Feb!" Gadis itu menangis histeris mencoba menarik kembali tangannya saat gunting itu sudah mulai mengapit jari tengahnya. "Jangan ...!" Vani menyembunyikan tanganya dengan isak tangis yang semakin kencang.
"Pilih satu jarimu hilang atau lumpuh?" Febri menggeram kesal dan kembali menarik tangan Vani secara paksa. "Aku ingin jarimu menjadi isi toplesku, Sayang ...." Febri berbisik kemudian mengecup pipi Vani yang basah. Laki-laki itu tertawa melihat Vani yang semakin tak bisa berkutik. "Ayo jawab! Pilih satu jari hilang atau lumpuh?" tanyanya kembali menatap wajah Vani dengan begitu dekat.
Vani memejamkan matanya erat-erat tak ingin menatap Febri. Tubuhnya semakin bergetar ketakutan. Kedua telapak tangan dan kakinya mengeluarkan keringat dingin yang membuatnya semakin gelisah. FEBRI BENAR-BENAR GILA! Vani menjerit saat gunting itu kembali menghimpit jarinya. Satu tangannya mencengkram sandaran kursi dengan kuat. Wajahnya ia sembunyikan pada sandaran kursi agar Febri tak bisa kembali untuk menciumnya. Vani bersumpah, jika benar Febri memotong jarinya, ia lebih memilih mati saja. Lebih baik bunuh diri dari pada hidup dalam siksaan Febri. Masa bodo dengan neraka yang akan menyambutnya. Ia tak sanggup.
Febri melemparkan guntingnya kemudian segera memasuki mobil. Ditariknya Vani yang tengah menangis tersedu-sedu ke dalam pelukan. Vani sama sekali tak berontak, tubuhnya telah lemas hanya karena ketakutan. Ia hanya pasrah saat Febri merengkuh tubuhnya dengan santai tanpa wajah berdosa.
"Tenanglah! Aku tak akan menyakitimu, untuk apa aku menyakitimu jika ada objek yang lebih menyenangkan dan memuaskan?" Febri terseyum miring membayangkan betapa senangnya untuk membasmi tubuh Ican. Nyatanya, laki-laki itu masih berani menemui gadisnya setelah ia ancam.
"Nggak! Jangan sakiti, Ican! Jangan ...!" Vani memberontak membuat rasa ingin membunuh Ican semakin besar.
"Jalan!" bentaknya pada sang supir yang sedari tadi hanya diam mendengar tuannya.
"Baik, Tuan." Laki-laki dengan baju berwarna hitam itu langsung melajukan mobilnya tak ingin menjadi pelampiasan tuan mudanya.
"Diam, Van! Atau jari kamu benar-benar aku potong?" Laki-laki itu semakin mengeratkan pelukannya. Vani diam tak lagi memberontak. Tubuhnya lemas dalam kurungan Febri.
Vani langsung mengangkat kepalanya saat Febri mendorong tubuhnya pelan tapi pasti hingga tersudut. Napas Vani tercekat tangan Febri sudah berada di atas pahanya dengan menyeringai. Satu tangan pemuda itu tak tinggal diam, menarik punggung Vani hingga wajah mereka berjarak begitu dekat.
"Kamu mau apa, Feb?" Vani langsung menyentakan tangan Febri saat tangan itu hendak menyusup memasuki rok sekolahnya.
Febri menaikan sebelah alisnya dengan menyeringai menatap kepanikan Vani. "Mau apa? Kamu masih nanya aku mau apa?" tanyanya kembali meraba paha Vani.
"Berhenti, Feb!" Vani semakin menangis sesegukan. Mendorong tangan Febri hingga kembali menjauh dari pahanya. Air matanya semakin mengalir dengan deras tanpa bisa ditahan.
Febri berdiri, mengurung Vani dengan kedua tangannya. "Kalau aku nggak mau berhenti gimana?" tanya Febri dengan sangat santai. Kakinya bergerak menendang kursi supir saat tahu bahwa supir itu sedikit melirik. "Sekali lagi kau melirik, jangan harap semenit setelahnya kau akan tetap bisa melihat!" bentak laki-laki itu tanpa menatap lawan bicaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]
Roman pour AdolescentsFollow sebelum membaca "Keluarlah, Sayang! Percuma kau bersembunyi, aku akan menemukanmu!" Febri menendang meja tempat persembunyian Vani dengan kuat hingga membuat meja itu jatuh memporak porandakan hati Vani yang bergemuruh. "Ketemu juga." Vani...