"Bangun, Sayang. Aku minta maaf."
Samar-samar ia mendengar bisikan kata-kata itu di telinganya. Hembusan napas yang terasa hangat menerpa wajahnya di susul dengan sesuatu yang hangat menempel di pipinya yang terasa dingin.
Kelopak matanya perlahan terbuka, ia menatap sosok laki-laki yang tengah memeluknya erat menyalurkan kehangatan pada tubuhnya yang terasa dingin dan remuk. Sesaat ia termenung hingga air matanya kembali jatuh, ia memilih memejamkan mata, enggan menatap sosok laki-laki yang masih belum sadar akan dirinya yang telah sadar dari pingsan.
"Sialan!" Febri menggeram kesal saat Vani tak kunjung tersadar dari pingsannya. Ia sudah uring-uringan sedari tadi, tetapi kenapa Vani tak kunjung membuka mata?! Ia takut gadisnya tak lagi membuka mata untuk selama-lamanya. Daven memang benar-benar minta dimusnahkan dari dunia ini. Bisa-bisanya anak itu mendorong gadisnya hingga terjatuh dari balkon.
Sejenak ia memejamkan mata. "Satu menit lagi kamu nggak sadar, jangan salahin aku semisal tubuh Tasya tercincang," bisik Febri di telinga Vani membuat dada gadis itu bergemuruh hebat sekarang.
Febri meraba nakas tanpa melepas pelukannya di tubuh Vani. Ia mulai menghidupkan stopwatch di ponselnya. Dalam hati ia berkata jika ancamannya bukan main-main. Satu menit lagi Vani tak kunjung sadar, ia cincang habis tubuh Tasya di depan Daven.
"Feb ...."
Suara lirih itu. Febri segera menatap wajah gadisnya. Sejenak ia tertegun melihat gadis itu kembali menangis di depannya, tetapi tak lama senyum lega sekaligus seringai terbit di wajahnya membuat tubuh Vani mendadak ngilu.
"Lama banget pingsannya, padahalkan hukuman kamu belum siap." Tangan Febri mendarat lembut di kepala Vani membuat Vani memejamkan mata, tinggal hitung mundur saja, pasti setelah ini Febri akan menarik rambutnya kuat seperti di sekolah tadi. Ia tahu dan cukup sadar jika dirinya bersalah, tetapi apa harus hukuman se-sadis itu yang Febri berikan.
"Maaf." Vani terisak menumpahkan air matanya di dada Febri yang masih senantiasa mendaratkan tangan di kepala Vani.
"Nggak lapar? Makan yuk," ajak Febri sembari menghadiahi kecupan hangat di puncak kepala Vani yang terus menangis, padahalkan dirinya hanya bercanda, tidak serius.
"Hukumannya?" Vani mendongak dengan wajah sembabnya yang terlihat cantik di mata Febri. Sudah ia katakan, Vani terlihat berkali-kali lipat cantiknya ketika menangis, apalagi sekarang ada namanya yang terukir indah di pipi gadis itu, semakin terlihat cantik dan tentu saja begitu membuat dirinya bahagia. Sudah lama ia menahan hasrat mengukir namanya di pipi Vani dan akhirnya hasratnya itu terpenuhi sekarang.
Ia tersenyum mengelus ukiran itu dengan gerakan lembut membuat Vani kembali memejamkan mata.
"Hukuman itu tergantung kamu. Kalau sampai besok pagi kamu nggak buat aku marah lagi, nyawa Ican aman, kalau kamu gagal ya, jangan salahin aku kalau kepala Ican jadi sasaran anak panah aku nantinya."
"Kamu kejam, Feb!"
"Kalau udah tau aku kejam, harusnya kamu bisa ngerti aku. Jangan buat kesalahan walaupun kecil, karena pisau aku nggak suka jadi pendiam."
Vani diam membalikan tubuh membelakangi Febri membuat laki-laki itu menggeram kesal tetapi sebisa mungkin ia membuang jauh-jauh pikiran sadisnya yang tiba-tiba hadir tanpa diundang.
"Kamu mau punggung kamu berdarah lagi hm ...?" Febri mulai mendaratkan tanganya di punggung Vani. Mengusap punggung itu dengan gerakan lembut setelah tanganya menyusup masuk ke dalam baju Vani.
"Jangan kurang ajar, Feb!" teriak Vani semakin menangisi kehidupannya yang terasa begitu mengenaskan. Ia berusaha menjauhkan tangan Febri tetapi ia tak sanggup.
![](https://img.wattpad.com/cover/237876442-288-k934466.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]
Teen FictionFollow sebelum membaca "Keluarlah, Sayang! Percuma kau bersembunyi, aku akan menemukanmu!" Febri menendang meja tempat persembunyian Vani dengan kuat hingga membuat meja itu jatuh memporak porandakan hati Vani yang bergemuruh. "Ketemu juga." Vani...