Vani mundur beberapa langkah, menghindari Febri yang terus berjalan mendekat. Ia hendak berlari, tetapi kedua tangan Febri lebih dulu mengurung tubuhnya.
"Bukankah yang salah harus dihukum, Baby?" Febri memainkan jarinya di rahang Vani sembari menatap gadingnya dengan tatapan polos.
Ia menyeringai membuat Vani memejamkan mata takut. Seringai Febri masih tetap menjadi hal yang ia takuti.
"Sayang ...." Febri berujar dengan suara rendah, tangannya menyusup masuk ke dalam baju Vani, menyentuh punggung polos itu dan mengelusnya lembut membuat tangis Vani pecah. Bukan karena elusan itu, tetapi ketika sesuatu yang tajam menyentuh punggungnya.
"Sakit, Feb ...." Ia mulai terisak hebat, kedua tangannya mencengkram punggung Febri menyalurkan rasa sakit yang kini menguasai punggungnya.
"Tenanglah." Febri mengecup pipi Vani yang basah kemudian kembali menyeringai. "Aku hukum kamu, biar kamu ingat, kamu nggak boleh ngelakuin apapun tanpa persetujuan aku." Febri memperdalam pisaunya di kulit Vani membuat gadis itu mau tak mau mempererat pelukan dan cengkramanya di punggung Febri.
"Maaf, Febri. Nggak aku ulangi lagi, tapi tolong berhenti, ini saki--argh!" Pekikkan kesakitan terdengar nyaring saat Febri semakin menekan pisaunya. Bau anyir tercium jelas di hidung.
Laki-laki itu hanya tersenyum tanpa beban apalagi rasa bersalah. Perlahan, ia melepaskan pelukan Vani, menyuruh gadis yang tengah terisak itu duduk di sofa. Vani hanya patuh dan tak terlalu ingin banyak protes, atau hukumannya akan semakin bertambah.
"Mau diulangi lagi?" Febri menatap Vani lembut. Ia bertanya sembari melepaskan sepatu yang semula melekat di kaki Vani.
Gadis itu segera menggeleng polos membuat Febri tertawa pelan. Tawa yang membuat Vani tak sadar jika Febri kembali mengeluarkan pisau dan ....
Jlep!
"Argh! Sakit, Feb!" Vani memekik histeris, dengan tangis yang semakin kuat ia mencengkram bantal sofa dan langsung meraung di sana.
Febri menarik kaki Vani kuat, tanpa perduli Vani yang kini terbaring dan memeluk bantal sembari meraung kesakitan, ia dengan wajah dinginnya mengeluarkan silet dan menggores telapak kaki Vani secara abstrak.
Tak ada yang bisa Vani lakukan selain menangis dan menggigit bantal sekarang. Dadanya mendadak sesak sangat sulit untuk di isi udara.
"Aku izinin kamu di rumah sama Ican, bukan berarti kamu bebas keluar sama dia, ngerti?" Febri meremas telapak kaki Vani dengan tangan kekarnya membuat Vani berteriak meminta maaf dan mengatakan bahwa ia mengerti.
Febri bangkit dari posisi jongkoknya kemudian berjalan menjauh, meninggalkan Vani yang menenggelamkan wajahnya di bantal. Sakit sekali rasanya. Hanya tangis yang kini mewakili perasannya.
Ia hanya jalan-jalan dengan Ican, kenapa harus dihukum seperti ini. Rasa perih dan sakit pada punggung dan juga telapak kaki membuat Vani akan terus mengingat ini.
"Satu lagi, ok?" Febri kembali dengan dua jeruk nipis di tangannya yang membuat Vani benar-benar lupa caranya bernapas. Tatapan permohonan dan permintaan maaf tak membuat Febri mengasihinya.
Laki-laki itu meraih kaki Vani dan mulai memeras jeruk nipis itu di atas luka yang baru saja Febri ciptakan.
"ARGH, SAKIT. AYAH!"
"Nggak usah cengeng!" Febri menarik Vani ke dalam pelukannya. "Jangan diulangi." Dua kecupan ia berikan di pipi gadisnya sebelum tangannya bergerak memukul tengkuk Vani hingga membuat gadis itu kembali kehilangan kesadaran.
"Aku mencintaimu, Baby."
Cup
Kecupan penutup ia berikan pada bibir gadisnya yang merah merekah karena digigit untuk menahan rasa sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]
Teen FictionFollow sebelum membaca "Keluarlah, Sayang! Percuma kau bersembunyi, aku akan menemukanmu!" Febri menendang meja tempat persembunyian Vani dengan kuat hingga membuat meja itu jatuh memporak porandakan hati Vani yang bergemuruh. "Ketemu juga." Vani...