42. Janji 🔪

22.1K 2.8K 1.1K
                                    

"Pisau atau silet?" Pertanyaan itu kembali dilayangkan membuat Vani menggeleng lemah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Pisau atau silet?" Pertanyaan itu kembali dilayangkan membuat Vani menggeleng lemah. Febri yang melihatnya menaikan sebelah alisnya dengan wajah bingung.

"Kenapa? Apa pertanyaan-ku salah?" tanyanya membuat Vani benar-benar tak mengerti apa isi kepala Febri.

Berulang kali Vani memaksa dirinya untuk berpikir bagaimana caranya kabur dari Febri yang benar-benar gila, tapi setengah ide pun tak muncul di kepalanya.

"Apa pertanyaan-ku menyakitimu?" tanya Febri lagi. "Aku cuma menyuruhmu memilih antara pisau dan silet, apa susah hm? Ayolah, Sayangku."

"Nggak mau. Maaf, Febri ...." Tak tahu apa yang bisa ia lakukan selain menangis. Tangisnya bahkan kini sudah bertambah kuat. Air mata itu tak dapat dibendung walau hanya satu detik saja.

Dalam hati gadis itu menjerit. Apa seperti ini cara Febri mencintainya?! Kenapa sangat tidak manusiawi?! Kenapa?!

Ia membenci takdir ini. Kenapa harus dia yang merasakan ini?! Kenapa? Kenapa dari sekian juta manusia, kenapa harus dirinya? Ia benar-benar tak sanggup lagi. Ia tak sanggup lagi ....

"Jangan menangis, Sayangku. Jika kau terus menangis aku jadi semakin ingin melihatmu menangis lebih hebat lagi dari ini. Aku ingin melihatku menangis dengan meraung sampai kau sendiri pun akan tak tahu bagaimana cara menghentikannya."

"Lo gila! Lo gila, Febri! Cari cewek lain, jangan gua. Gua mohon ...." Vani menyatukan keduanya tangannya di depan wajah Febri. Ia memohon pada Febri. Ia sudah lelah dengan ini. Sungguh! Ia ingin semua ini berakhir sekarang. Ia tak ingin lagi bersama Febri. Ia tak kuat lagi menahannya sakit dari setiap goresan yang Febri berikan.

Fisiknya sudah lelah menerima semua ini. Ia mohon, tolong akhiri semuanya sekarang. Jika perlu, biarlah Frengky membawanya pergi saja. Laki-laki itu lebih baik dari Febri yang tak memiliki hati.

Sementara Febri diam tak bergeming menatap Vani yang memohon di depannya. Air mata gadis itu sudah membasahi pipi sang empu sedari tadi.

Ia mendekatkan wajahnya pada wajah Vani membuat Vani sontak mundur, tapi Febri lebih dulu menarik tengkuknya dan mencium bibirnya kasar dan penuh tuntutan.

"Pergi jika kau bisa," desis Febri di sela ciumannya yang membuat hati Vani mati rasa.

Jeritan kesakitan keluar dari mulut Vani saat Febri menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia bahkan dapat merasakan rasa sakit yang tiada Tara. Bau anyir tercium pekat. Tangis Vani semakin kuat. Bibirnya sudah dilumuri oleh darah. Ia merintih kesakitan tapi Febri malah tertawa kesenangan.

Vani tak mengerti. Terbuat dari apa hati manusia di depannya ini?

"Bunuh aja aku, Feb."

Febri tak mendengarkan perkataan Vani. Ia menatap darah di bibir Vani dengan mata berbinar. Selanjutnya ia memagut bibir itu kembali dengan penuh kelembutan.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang