23. Kissing 🔪

46.7K 3.8K 654
                                    

Febri membuka matanya, menatap Vani yang masih terlelap nyaman di dalam pelukannya. Rasanya, ia sangat ingin membunuh Ican. Ia begitu kesal pada laki-laki itu. Kenapa baru memberitahunya di saat ia berniat meninggalkan Vani?

Dilarang kayak disuruh, disuruh kayak dilarang

Tapi apa itu benar? Apa dengan cara menyuruh gadis itu pergi dari kehidupannya sama dengan melarang gadis itu pergi dari kehidupannya?

Febri memejamkan mata. Kenapa ia harus memikirkan itu sekarang? Sekarang lebih baik ia memanfaatkan waktu untuk menikmati wajah gadisnya. Ia tersenyum lembut, mengelus wajah cantik itu dengan gerakan perlahan.

Vani akan terlihat lebih cantik dari biasanya saat gadis itu menangis, tetapi saat tertidur cukup membuat Febri merasa nyaman.

"Jika tau begini, aku lebih memilih tak mempunyai seorang sahabat." Febri memejamkan matanya kemudian menyeringai. "Bagiamana jika aku mengizinkannya memilikimu hanya untuk sementara waktu. Selepas kelulusan sekolah, kamu kembali menjadi milikku. Sungguh, aku merasa sangat berat untuk melepaskanmu, sayang ...."

Febri melirik jam dinding sekilas kemudian kembali menatap Vani yang semakin nyaman saja di pelukannya.

"Aku mencintaimu ...." Febri mengecup pipi Vani pelan. Ia mulai beranjak dari atas ranjang itu.

Helaan napas kembali terdengar, untuk sesaat ia menatap wajah gadisnya, berjalan menuju balkon hingga suara Arkan membuat langkah kakinya terhenti.

"Keluarlah lewat pintu, jangan melompat!" Pria tua itu menarik lengan Febri pergi dari kamar Vani. "Aku tak percaya, cucu Algi selemah ini." Arkan mencibir tetapi Febri tetap diam. Ia mendengar semuanya, bahkan dengkuran halus dari sepasang manusia yang tadi tengah tertidur ia juga mendengarnya. Alat sadap suara yang ia pasang berfungsi dengan baik.

"Tapi ya sudahlah. Dari pada kau terus menyakiti Vani, lebih baik kau memang pergi." Arka menatap sekilas Febri yang sama sekali tak bergeming.

***

[Datang ke rumah gua, ambil baju seragam sama buku pelajaran Vani hari ini. Jemput di rumah kakeknya!]

Daniel meremas rambutnya kemudian menghembuskan napas kasar. Semua gara-gara mulutnya yang sangat senang membohongi orang. Jadinya gini kan!

Kesal juga dengan Febri lama-lama. Niatnya kan baik, supaya Febri sadar. Masak iya, Vani disiksa terus. Ia sebagai seorang lelaki tak tega melihatnya.

Ia juga tak mau membawa Vani kabur dari Febri untuk waktu yang cukup lama. Ia cuma ingin Febri sadar, bahwa selama ini, laki-laki itu telah membuang waktu hanya untuk memberi Vani hukuman untuk kesalahan kecil yang perempuan itu lakukan.

Di mana-mana. Saat kekasihnya ingin bunuh diri itu dicegah, dibaik-baikin, minta maaf, atau apalah. Lah, ini, malah ingin membunuh. Kan gila itu namanya.

Ok, waktu itu Febri bilang tidak mau memperlakukan Vani lembut dengan alasan, takut gadis itu pergi begitu saja saat tahu sifat aslinya, tapi apa masih belum cukup perkenalan yang Febri lakukan antara pisaunya dan gadisnya?

"Sekarang mau gimana?" Alex menyesap batang rokoknya kemudian menghembuskannya secara perlahan. Menatap Daniel yang tampak frustrasi. Laki-laki itu kini berusaha untuk menghubungi Febri, tetapi tidak bisa.

"Nyesel gua ngomong gitu anjir. Gua kan nggak beneran suka sama Vani. Ya kali sih, gua rebut punya sahabat sendiri." Daniel menggeram merutuki kebodohannya. Kepalanya mendongak menatap langit-langit apartemennya yang dipenuhi asap rokok dari Alex.

Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang