__Tetap mencintai, meski dia tak merasa dicintai__
Vani berusaha memberontak saat Febri menariknya keluar dari kamar. Jantungnya lagi-lagi berdegup kencang. Kenapa Febri sudah seperti guru saja! Dikit-dikit hukum!
"Lepasin, Feb!"
"Lepas?" Febri menatap Vani dengan satu alis terangkat. Ia tersenyum remeh, sedetikpun kemudian, tubuh Vani ia dorong hingga jatuh di lantai dengan kuat.
Vani meringis kesakitan hingga hitungan detik tangisnya pecah saat bahunya yang terdapat luka tusukan Febri membentur sisi pintu membuat luka itu kembali berdarah.
Vani tak bangkit dari jatuhnya, ia malah menangis meringkuk di sama sembari menyentuh bahunya membuat Febri mengusap wajahnya kasar. Dia berjongkok di depan Vani yang masih setia menangis.
"Bangun!"
Vani tetap diam sembari menangis.
"Bangun!"
Sekali lagi, Febri memerintah, tetapi Vani tetap diam tak perduli. Ia sudah cukup lelah dengan Febri.
"Vani, bangun! Nanti kamu masuk angin!"
"Nggak mau!" teriak Vani. Dia memukul tangan Febri kuat saat laki-laki itu mengulurkan tangan membantunya untuk berdiri.
"Sial!" Febri meringis saat luka bekas peluru di lengannya Vani pukul dengan kuat. Luka itu kembali berdarah. Sekarang sudah sama bukan? Tapi yang dirasakan Febri lebih sakit.
"AKU BILANG BANGUN!"
"KAMU BANGUN SENDIRI ATAU PAKAI PISAU AKU?!"
Vani memejamkan matanya mendengar bentakan Febri yang membuat nyalinya menciut. Dia bangkit dan langsung berlari menuju kasur yang memberi kenyamanan, tidak seperti Febri yang selalu menyiksanya.
Dia terisak hebat di sana. Meremat bad cover yang berada di bawahnya. Sungguh, ia lelah dengan kehidupan yang terasa memuakkan dan menyakitkan ini. Ia ingin bebas dari Febri. Ia ingin pergi jauh dari laki-laki gila yang kini menyandang status sebagai pacarannya.
Untuk lari dari kehidupan Febri, rasanya begitu mustahil Vani lakukan. Satu-satunya jalan agar dia terbebas dari Febri hanya dengan bunuh diri, tetapi Vani takut, takut tidak berhasil dan Febri semakin menyiksa dirinya dengan hukuman gila dari laki-laki itu.
Febri menghela napas. Ia bangkit dan mengunci pintu dengan membanting pintu itu terlebih dahulu. Vani selalu saja membuatnya marah. Lama-lama jika begini, ia rantai tangan dan kaki Vani, bila perlu ia potong lidah perempuan itu agar tak bisa lagi membantahnya.
Kenapa perempuan itu sangat susah hanya untuk menurut padanya?!
Laki-laki itu berjalan mendekati kasur dan merebahkan tubuhnya di samping Vani. Dia memejamkan mata berusaha melupakan segala kemarahannya. Febri tahu dan cukup sadar, dirinya ini begitu kelewatan, tetapi untuk merubah sikapnya itu, sangat sulit Febri lakukan, jika Vani tak menurut padanya.
Masalah ponsel. Ia melarang Vani menyentuh ponsel itu lantaran cemburu, bayangkan saja, malam-malam saat ia tengah terlelap dalam tidurnya, Vani diam-diam mengamati foto kedua mantannya dengan mata berbinar. Jelas-jelas, masalah tampang dirinya jauh di atas segalanya.
Febri menghela napas pelan. Diliriknya lengannya yang sedikit berdarah kemudian kembali memejamkan matanya. Biarkan untuk sejenak ia istirahat, ia harap, Vani tak mempunyai niat kabur darinya lagi. Jika saja gadis itu mencoba kabur lagi, ia benar-benar akan memotong kaki gadisnya. Persetan jika Vani akan menangis, depresi, ataupun gila! Yang terpenting adalah, Vani tetap di sisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive and Psycho Boyfriend [REPOST]
Teen FictionFollow sebelum membaca "Keluarlah, Sayang! Percuma kau bersembunyi, aku akan menemukanmu!" Febri menendang meja tempat persembunyian Vani dengan kuat hingga membuat meja itu jatuh memporak porandakan hati Vani yang bergemuruh. "Ketemu juga." Vani...