Prolog

367 32 4
                                    

"Berita terbaru hari ini, seorang siswi berinisial AKC, usia 13 tahun, ditemukan tewas bunuh diri di rumahnya. Penyebab kematian belum dipastikan, namun dalam kamar milik korban sempat ditemukan beberapa butir obat tidur. Diduga korban mengalami overdosis ..."

***

"... saat ini, jenazah AKC tengah diotopsi di Rumah Sakit A. Hasil otopsi dipastikan akan keluar beberapa hari lagi ..."

***

"Kepolisian menduga AKC melakukan aksi bunuh diri akibat depresi yang ia derita. Bukti screenshot Whatsapp dan Instagram telah dianalisa. Terungkap bahwa korban mengalami perundungan di lingkungan sekolah ..."

***

"... pihak SMP Bangsa Utama enggan memberi keterangan lebih lanjut mengenai kasus bullying yang dialami AKC. Namun kami mendapatkan fakta bahwa beberapa teman sekolahnya sempat menyinggung fisik korban ..."

***

"Semua gara-gara lo, Zee!"

Gadis itu berseru keras, menimbulkan pusat perhatian untuk orang-orang disekitarnya. Wajahnya terlihat merah padam dengan air mata berlinang di pipinya. Dadanya kembang kempis menahan emosi yang sudah memuncak.

Plak!

Tangannya menampar orang yang ia sebut "Zee" tadi. Semua orang terkejut melihat tindakannya itu. Dengan segera, orang-orang menghentikannya sebelum keadaaan semakin memburuk.

Sementara Zeva, ia mematung di tempat. Refleks matanya membelalak karena terkejut. Ia masih belum bisa mencerna apa yang terjadi. Bekas tamparan keras tercetak merah pada pipinya yang putih. Terlihat kontras. Untuk beberapa detik kemudian ia mulai merasakan panas menjalar pada bekas tamparan itu. Ditambah telinganya berdenging. Terasa pedih.

"Jihan, sadar! Lo tenang dulu!" seru Natha sambil menahan kedua lengan Jihan, gadis yang menampar Zeva tadi, dengan sekuat tenaga. Namun kekuatannya tidak sebanding sehingga Jihan lolos. "Kita masih di pemakaman. Turunin emosi lo! Kasian Zee!"

"Kenapa lo nggak pernah bilang sama gue? Kenapa lo nggak bilang soal Kiran di-bully? KENAPA?!" tanya Jihan dengan nada tinggi. Matanya menatap Zeva dengan tajam. "LO SENGAJA NGEBIARIN DIA DIOMONGIN, DIHINA? LO SEKELAS AMA DIA, LO ADA DI SANA! KENAPA LO NGGAK BANTU DIA?"

Zeva tetap tak bergeming. Ia mengusap pipinya yang semakin terasa perih. Matanya kian memanas. Rongga dadanya serasa sesak. Degup jantungnya berpacu dengan cepat.

Jihan mengigit bibir bawahnya untuk menahan tangis yang semakin deras. Kedua lututnya tak mampu menumpu tubuhnya lagi. Ia jatuh bersimpuh di tanah.

"Dari kita bertiga ... cuma lo ... cuma lo yang paling deket ama dia. Bahkan gue aja nggak ...," ucapnya sedikit tertahan dengan isakan. "... lo ... lo harusnya tahu apa yang dia rasain. Setidaknya lo ngasih tahu kita ... atau cegah dia. Kiran ... dia sakit, Zee ...."

Mata Zeva mulai berkaca-kaca. Isak tangis tak dapat ia tahan lagi. "G-gue ... gue ...," ucap Zeva terbata-bata. "... maaf ...."

"Gue benci lo!" kata Jihan setengah berbisik.

Sesaat kemudian beberapa orang datang melerai mereka. Natha ikut dengan Jihan. Mereka membawanya ke tempat lain. Sementara Zeva tak punya kekuatan lagi untuk berdiri. Tungkainya terasa lunglai sekali. Namun seorang laki-laki dengan sigap menumpu bahunya sebelum ia jatuh.

"Kak ... Reza?"

Kak Reza mengangguk pelan. "Kita pergi dulu dari sini, Zev."

Kini ia memapah Zeva keluar dari kerumunan. Membawanya ke tempat yang lebih tenang, jauh dari pusara Kiran.

***

"Minum dulu, biar lo lebih tenang," kata Kak Reza sambil menyodorkan sebotol air mineral yang masih tersegel pada Zeva.

Zeva menggeleng tak mau. Tatapannya kosong, raut mukanya kacau. Bekas air mata masih ada di pipinya, tetapi bekas tamparannya mulai memudar. Kini ia hanya terduduk di depan pagar pemakaman seraya memeluk kedua lututnya.

"Zeva?"

"Aku nggak mau, kak," jawab Zeva dengan suara sengau. "Biarin aku sendiri ...."

Kak Reza menghela napas panjang. Ia memilih duduk di sebelah Zeva. "Kalo gitu gue temenin lo sampe mendingan."

Zeva tak berkutik. Ia membenamkan wajahnya di kedua lengannya. Sementara Kak Reza setia di sebelahnya. Entah berapa menit lagi mereka akan terus berdiam diri.

"Kakak nggak masuk lagi?" Pada akhirnya Zeva bertanya. "Nanti ... Kiran kecewa kalo pacarnya kabur ke sini."

Kak Reza terkekeh pelan. Namun air mukanya berubah sesaat kemudian. "Setidaknya gue lega karena udah lihat pemakaman Kiran. Jadi ... nggak papa," jawabnya. "Justru dia bakal lebih kecewa kalo sampe tahu sahabatnya ditinggal sendirian. Gue yakin, dia khawatir sama lo dari sana."

Kata-kata Kak Reza membuatnya kembali teringat akan wajah Kiran. Sosoknya terlihat tidak apa-apa dari luar, namun rapuh dari dalam. Hal yang Zeva sesali adalah ketidaktahuannya kalau Kiran setertekan itu sampai mengonsumsi obat tidur. Entah apa yang selama ini dipendam oleh sahabatnya. Apakah ada hal lain yang ia sembunyikan? Apakah ada suatu yang tidak pernah diceritakan Kiran padanya?

"Kak ... apa Kiran pernah cerita sesuatu ke kakak?"

Mata Kak Reza melebar seketika. Ia mengalihkan pandangannya ke atas. Seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.

"Selama ini, dia pasti cerita. Tapi ceritanya selalu seputar hal menarik atau yang bikin dia seneng. Kiran jarang curhat ke gue ...," cerita Kak Reza. Ia termenung sesaat. "... gue rasa, dia memang nggak mau orang terdekatnya cemas, ya?"

Pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya. Karena itu Zeva hanya mengangguk dan kembali diam. Ditatapnya Kak Reza lamat-lamat. Entah kenapa cowok itu terlihat tegar meski tahu orang tersayangnya pergi. Sosok itu masih tetap di sampingnya untuk beberapa menit lagi.

Dreett! Dreett!

Ponsel Zeva bergetar dalam saku celananya. Ia segera membukanya dan mendapati pesan masuk dari Natha.

"Kak, aku pulang dulu, ya," kata Zeva setelah membaca pesan itu. Ia langsung tegak berdiri. "Makasih udah nemenin di sini. Apapun yang terjadi besok, aku harap kakak nggak sedih lagi soal Kiran. Aku tahu, dia sayang banget sama kakak."

Kak Reza menyungging senyum. Entah kenapa Zeva merasa aneh dengan senyuman itu.

"Ya. Kalo gitu sampai jumpa lagi, Zeva!"

Sampai jumpa?

Sejenak Zeva mengerutkan keningnya. Ia merasa aneh dengan dua kata itu, seperti ada yang berbeda. Ia menatap lurus ke mata Kak Reza. Terasa kosong dan misterius. Seketika ia merasa tak nyaman. Namun, ia menepis pikiran itu untuk saat ini. Lagipula, ia yakin Kak Reza itu orang yang baik.

"Sampai jumpa, kak!"

***

"Saat ini, orang tua ACK melaporkan tindakan bullying ini ke pihak kepolisian ..."

***

"... para pelaku bullying merupakan teman sekelas korban. Kelima pelaku telah diamankan beserta barang bukti. Mengenai hukuman akan ditindaklanjuti lagi karena para pelaku masih di bawah umur ..."

***

"... kepala SMP BU mengatakan bahwa para pelaku sudah dikeluarkan dari sekolah."

***

"Enam bulan sudah berlalu, kasus bunuh diri seorang siswi SMP berusia 13 tahun, ACK, resmi telah ditutup oleh pihak kepolisian." []

What If [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang